I. Pengantar
Perkawinan merupakan titik awal kehidupan berkeluarga bagi Wina Rona (pasangan suami istri) dan menjalani kehidupan bersama baik dalam ruang lingkup ca kilo (sebuah keluarga utuh), Ase-Kae (sanak saudara), Iname –Woe (pihak orang tua istri-pihak orang tua suami), maupun kehidupan ca natas labar komong iko (hidup bermasyarakat dalam satu kampung).
Untuk mencapai titik puncak perkawinan, neki ca weki data sua (menyatukan dua insan) harus melewati beberapa tahapan, meliputi baro nai (meminang); tuke mbaru / kaping sekang (menghadap Orang Tua pihak perempuan), toto ranga (perkenalan), taing kila (cincin pengikat) dan kawing (akad nikah).
Dalam perkawinan adat lama tahap-tahap tersebut dilaksanakan dalam waktu yang berbeda dan diatur sedemikian rupa sesuai dengan tata cara perkawinan adat yang dianut oleh orang Kempo.
II. Pengertian
Perkawinan adat data Kempo dengan segenap liku, wiku agu ciku (perangkat aturannya), kadang keluar dari jalur nunga agu laseng (kebiasaan).
Berbagai upaya pun dilakukan berupa lonto cama neki ca reweng (duduk membicarakan sesuatu hal yang telah terjadi untuk mencari jalan keluarnya), sehingga akan terlihat dimana letak penyimpangannya dan bagaimana mencari jalan keluarnya, serta memutuskan bentuk sanksi adat.
Bentuk penyimpangan perkawinan adat, ada yang sifatnya tidak merugikan atau dalam bentuk pengalihan, dan ada pula yang merusak tatanan nilai kehidupan berbudaya.
Meski hanya berupa penyimpangan perilaku atau tata cara, namun penerapan sanksi tetap dilakukan, bahkan jika perlu dilakukan sebuah restorasi berupa ritual adat yang besar.
Dilihat dari akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan maupun kelalaian, penyimpangan perkawinan adat data Kempo dibagi dalam beberapa bentuk antara lain;
Meski hanya berupa penyimpangan perilaku atau tata cara, namun penerapan sanksi tetap dilakukan, bahkan jika perlu dilakukan sebuah restorasi berupa ritual adat yang besar.
III. Bentuk-bentuk penyimpangan Perkawinan Adat Kempo - Manggarai
Dilihat dari akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan maupun kelalaian, penyimpangan perkawinan adat data Kempo dibagi dalam beberapa bentuk antara lain;
A. Wendo / wa lusi (membawa lari anak gadis orang)
Wendo terdiri dari dua kata yaitu we’e (pulang ke rumah; biasanya setelah bekerja seharian di kebun) dan ndo’o (disini; dirumah laki-laki). Sedangkan wa (membawa), lusi (kabur).
Wendo atau wa lusi adalah membawa pulang ke rumah seorang Molas (gadis) oleh seorang Reba (pemuda) setelah masa pelarian dari rumah orang tua si gadis.
Wendo merupakan tindakan penyimpangan yang ringan dari segi tata cara perkawinan adat di tahap awal yaitu tidak mengindahkan restu Orang Tua si gadis atas rasa saling suka antara Reba dan Molas.
Tahap sebenarnya yang harus dilewati dulu adalah baro nai, namun karena suatu kondisi maka pasangan Reba-Molas mengambil keputusan sepihak yaitu wendo.
Wendo bisa juga diartikan sebagai sebuah kesimpulan untuk menjawab segala tata cara yang terlalu panjang lewat sebuah tindakan yang instant.
Wendo menunjukan betapa cinta kasih menembus batas dan ruang, sekaligus menyimpulkan segala bentuk penjabaran tentang rasa dan perasaan.
Meski wendo merupakan sebuah bentuk penyimpangan yang disengaja atau terencana, namun tetap memiliki aturan didalamnya, yaitu;
- Di pihak keluarga perempuan / Molas,
biasanya salah satu anggota keluarga entah paman, bibi, kakak atau nenek pasti telah mengetahui hal tersebut dan merestui ikatan kasih sayang mereka. Sehingga Wendo/wa lusi diatur sedemikian rupa, artinya informasi yang telah diketahui oleh salah satu anggota keluarga, tidak serta merta dilaporkan ke Orang Tua si gadis, tetapi ditahan sementara sambil memperkirakan jauhnya jalan yang mereka tempuh menuju kampung si pemuda. Hal ini dilakukan untuk menghindari upaya pencegatan oleh Orang Tua si gadis yang tidak setuju dengan hal tersebut. - Sedangkan jika tak ada satupun anggota keluarga yang mengetahui hal tersebut, Reba atau Molas akan menitipkan pesan kepada orang lain yang dijumpai dalam perjalanan dan akan melewati kampung Orang Tua si gadis bahwa anak gadis mereka dalam perjalanan wendo.
Dan setelah mengetahui peristiwa tersebut, pihak Orang Tua si Molas beberapa hari kemudian akan mengutus satu atau dua orang ke kampung si Reba untuk mo tulak (mencari) dan memastikan kebenaran berita tersebut. Jika sesampainya di kampung si Reba, hal itu memang benar maka akan dibicarakan hal selanjutnya sesuai pesan Orang Tua si gadis, yaitu segera menghadap Orang Tua si Molas dan melakukan lamaran secara resmi. - Di pihak keluarga laki-laki / Reba,
kadang upaya wendo sudah direncanakan sehingga ketika si Reba pulang bersama si Molas, sesegera akan dilakukan penyambutan oleh pihak Orang Tua berupa wedi ruha (menginjak sebutir telur yang diletakan di depan pintu masuk rumah) sebagai tanda menjadi bagian dari keluarga si Reba. - Namun jika wendo yang terjadi tidak diketahui oleh kedua Orang Tua dari Reba dan Molas, maka sesampai di kampung si Reba, setelah acara penyambutan selesai maka pihak Orang Tua si Reba menanyakan proses wendo yang terjadi. Jika Orang Tua si Molas belum mengetahui hal itu, atau sudah mengetahui tetapi belum juga muncul pihak keluarga yang mencari si Molas, maka sesegera seorang anggota keluarga dari si Reba akan diutus ke kampung Orang Tua si gadis untuk memberitahukan peristiwa tersebut. Dan membawa pesan Orang Tua si Reba mengenai kapan mereka akan datang melamar secara resmi.
Semua hal ini dilakukan untuk mencegah agar wendo tidak terkesan sebagai sebuah pemaksaan kehendak atau seperti sebuah penculikan.
Weong weleng bisa diartikan sebagai pengganti rasa sedih dan kelelahan mencari anak gadis yang telah wendo bersama si Reba. Bagi pihak keluarga si Reba pun akan menyadari hal itu, dan mempersiapkan segala sesuatunya.
Jika di tahap awal telah terjadi wendo dan wedi ruha maka di tahap akir nanti yaitu padong (menghantar si gadis ke rumah laki-laki) tidak dilakukan lagi, karena telah tergantikan oleh denda berupa weong weleng.
B. Kope Nggabang (Tak Mampu Melunasi Paca / Mas Kawin)
Kope nggabang terdiri dari dua kata kope (parang) dan nggabang (ukuran yang lebih besar). Kope nggabang berarti parang yang ukurannya sangat besar yang penggunaannya sangat jarang.
Dalam adat perkawinan, kope nggabang adalah suatu situasi dimana seorang pemuda yang kawin dengan seorang gadis, namun pemuda atau Woe (pihak Orang Tua pemuda) belum mampu melunasi permintaan paca (mas kawin), dari pihak Iname (pihak Orang Tua gadis), sehingga sebagai jaminan untuk pelunasan paca maka pemuda tersebut diharuskan tinggal dan bekerja pada keluarga Orang Tua si gadis, hingga keluarga pemuda tersebut melunasi kekurangan paca tersebut.
Dalam perkawinan adat Kempo dan Manggarai umumnya dikenal istilah paca yaitu mas kawin berupa sejumlah nilai (uang), atau barang pengganti, atau hewan ternak yang diminta oleh pihak Iname kepada Woe. Paca adalah penentu awal (pengujian yang dilakukan oleh pihak Iname) kepada seseorang laki-laki, apakah ia telah mampu menghasilkan dalam kerja atau belum.
Dalam menentukan paca ada batasan yang wajar, dan selalu ada negosiasi antar kedua belah pihak untuk dirundingkan secara kekeluargaan, dan ada tawaran sebagai solusinya.
(untuk detailnya akan dibahas di topik lain…)
Namun ketika semua cara telah ditempuh, tetapi pihak Woe masih belum sanggup untuk melunasi paca, maka jalan keluar terakhir adalah kope nggabang.
Dalam hal ini, meski Reba-Molas telah sah menjadi suami istri menurut hukum adat namun si perempuan tidak padong (diantar) ke rumah si pemuda, karena kekurangan pihak Woe tadi.
Seorang laki-laki beristri yang menyandang predikat sebagai kope nggabang, sebenarnya merupakan sebuah sanksi atas kelalaian semasa muda, kurang bekerja keras sampai-sampai untuk melunasi paca yang merupakan balas jasa pengasuhan kepada Iname saja tidak mampu, apalagi menyanggupi kebutuhan rumah tangganya kelak. Dalam masa menjalani kope nggabang, seorang laki-laki akan bekerja dibawah pengawasan Orang Tua istrinya.
Seharusnya sebagai seorang Rona (suami), laki-laki beristri akan dihitung sebagai ca kope (satu keluarga). Kope (parang) diartikan sebagai lambang kekuatan / keberanian / tanggungjawab sebagai seorang laki-laki yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Namun karena belum melunasi paca maka ia akan dihitung sebagai kope nggabang yang artinya, di pihak keluarga Orang Tuanya sendiri ia telah dihitung sah sebagai ca kope, dengan beban tanggungjawab yang sama dengan sanak keluarganya yang telah beristri, dan di sisi lain ia hanya bekerja di bawah pengawasan Orang Tua istrinya.
Tentu saja ia belum bebas mengusahakan sesuatu, dan bekerja ekstra keras untuk memenuhi dua beban tanggungjawab yang diembannya sekaligus.
Oleh karena dua hal itulah seorang laki-laki beristri disebut kope nggabang, yaitu satu kope yang utuh / tetap ditambah satu kope sementara, menjadi kope nggabang.
Sanksi adat seperti ini tidak hanya berpengaruh pada komitmen untuk bekerja keras lagi nantinya, namun juga berdampak pada moral keluarga menjadi taruhannya, sehingga setiap laki-laki yang memiliki niat untuk hidup berkeluarga harus mempersiapkan diri secara matang, baik fisik maupun mental juga dari sisi manga (modal; berupa nilai uang atau hewan ternak).
Jika tidak, ia akan membayar mahal atas kelalaianya selama lonto Reba (masa muda), karena harga diri adalah hak asasi tertinggi, namun apa jadinya kalau tidak dijaga.
Jika tidak, ia akan membayar mahal atas kelalaianya selama lonto Reba (masa muda), karena harga diri adalah hak asasi tertinggi, namun apa jadinya kalau tidak dijaga.
C. Lonto One (Tinggal Bersama Mertua)
Lonto (duduk) one (dalam) merupakan suatu situasi, dimana seorang laki-laki yang telah resmi kawin dengan seorang perempuan, namun karena satu dan lain hal, Toa (Mertua / Orang Tua istri) meminta pasangan suami istri tersebut tinggal bersama mereka.
Keadaan seperti ini biasanya terjadi pada perkawinan, dimana si perempuan merupakan mantar leca (anak tunggal / putri tunggal), atau si perempuan tidak memiliki saudara laki-laki kandung, atau Orang Tua si perempuan telah berusia lanjut. .
Bisa juga dari sisi laki-laki yaitu dimana laki-laki tersebut tidak lagi memiliki keluarga dekat, atau laki-laki yang berasal dari tempat jauh, yang kemungkinan untuk datang menjenguk mertuanya sangat kecil.
Jadi tujuan mereka diminta untuk tinggal bersama Mertua adalah untuk tinu (merawat) dan kabang (menanggung) kehidupan mereka, dan biasanya si laki-laki akan dianggap sebagai anak oleh mertuanya.
Jika seorang laki-laki memenuhi permintaan Orang Tua si perempuan, biasanya dalam hal paca (mas kawin) tidak terlalu dituntut, dan diberi berbagai kemudahan.
Sebenarnya tidak terjadi masalah apa-apa dalam hal ini, hanya saja proses adat perkawinan selanjutnya yaitu padong (menghantar) si perempuan ke rumah suaminya, dilaksanakan secara seremonial saja yaitu padong lonto (acaranya dilakukan ditempat saja) tanpa harus pergi ke rumah laki-laki.
Dengan tidak dilakukan padong yang semestinya, otomatis proses adat perkawinan yang lainnya tidak jadi dilakukan, seperti curu (penyambutan) di kampung laki-laki, wedi ruha (menginjak telur) yaitu ritual untuk memasuki rumah laki-laki untuk pertama kalinya, wa’u wae (turun ke tempat pemandian untuk pertamakali) bagi pasangan yang telah sah menjadi suami isteri, dan paki manuk wina rona (menyembelih sepasang ayam) sebagai pemberitahuan kepada warga kampung si laki-laki bahwa mereka telah sah menjadi suami istri baru dan sah menjadi ca kope kampong (diakui menjadi satu keluarga utuh dalam satu kampung), mungkin dilakukan di rumah si perempuan, tui roto niang (pembagian warisan) belum bisa dilakukan.
Sebelum si perempuan belum melakukan acara wedi ruha di rumah suaminya, dia belum boleh mengunjungi rumah Inang/Amang (Ayah/Ibu suaminya) dalam keadaan apapun, karena secara adat dia belum termasuk bagian dari rumah tersebut, meski di sisi lain dia merupakan istri sah dari anggota penghuni rumah tersebut. Begitu juga istri dan anak-anak, belum sah sebagai warga kampung suaminya.
Karena banyaknya konsekuensi yang harus diterima jika seorang laki-laki memutuskan untuk lonto one, terkadang beberapa proses yang disebutkan diatas tadi tetap dijalankan namun ala kadarnya saja. Misalnya padong tetap dilakukan namun sekedar tau ita beo (agar si perempuan tahu dimana kampung suaminya), dan pihak Iname (keluarga Orang Tua si perempuan) tidak ikut mengantar, mungkin hanya diutus satu atau dua orang saja untuk menemaninya.
Namun ketika si laki-laki tetap melakukan padong, curu dan wedi ruha, konsekuensi berikutnya adalah dia harus tetap bertanggungjawab atas segala tanggungan yang merupakan kewajiban sebagai bagian dari kope kampong, meski dia tidak tinggal di kampung tersebut. Hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan untuk menjaga kemungkinan yang terjadi di kemudian hari, misalnya jika belum melakukan padong dan wedi ruha, ketika terjadi musibah misalnya istri atau anaknya meninggal, tidak boleh dikuburkan di kampung tersebut.
Begitu juga jika ada pembagian lahan baru, si laki-laki akan dihitung kope Reba (anak muda) sehingga tidak mendapat jatah.
Untuk mengatasi kemungkinan seperti itu, maka si laki-laki harus menanggung dua tanggungjawab di dua kampung, atau harus memilih salah satunya.
Di kampung istrinya untuk menjadi kope kampong, si laki-laki akan diangkat menjadi anak oleh mertuanya, dan diberitahukan ke Tua Golo (Kepala kampung). Dengan menjadi warga kampung istrinya, segala sesuatu yang menjadi kewajiban bersama harus dijalankan.
Namun ada satu hal yang menjadi tidak jelas, dan menjadi polemik di kemudian hari bahkan bertentangan dengan hukum Negara yaitu soal status kepemilikan warisan mertua. Meski diakui secara adat, si laki-laki telah menjadi anak bagi mertuanya, namun status kepemilikan warisan tidak melekat padanya, dan hal ini banyak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Karena sistem perkawinan orang Kempo / Manggarai adalah patrilineal dimana istri mengikuti garis keturunan suami, dengan demikian hak waris jatuh ke tangan
Sehingga keberadaan mereka di kampung tersebut tidak menjamin untuk menjadi penduduk tetap, kecuali ada hal-hal khusus yang menguatkannya.
D. Olo Manga Ici (Hamil Diluar Nikah)
Sebagaimana aturan yang diterapkan oleh Orang tua dan berlaku umum bagi Ata Kempo pada jaman dulu, bahwa seorang anak gadis tidak boleh sering terlihat di muka umum kecuali untuk hal-hal yang penting saja, karena tempat mereka berada adalah seputar sapo (dapur) dan landong (paviliun).
Ata Kempo menjunjung tinggi kehormatan kaum perempuan, sampai-sampai menatap seorang perempuan secara tidak wajar dihitung sebagai wico mata (pelanggaran norma oleh penglihatan) dan bisa dikenai bowo (denda). Sebuah pemahaman umum bahwa Ata Ingwai (perempuan) merupakan mahkota keluarga, martabat sebuah keluarga ditentukan oleh perilaku kaum perempuan dari keluarga tersebut. Dan harga diri kaum laki-laki ditentukan oleh bisa tidaknya menjaga mahkota keluarga tersebut. Apalah arti sebuah takhta (kehormatan kaum laki-laki) jika mahkotanya telah rusak.
Seorang mantar wai (anak gadis) diibaratkan mawo lebo (padi yang sedang menghijau), rentan terhadap
Dan bagi para Reba (Pemuda), jangan sekali-sekali mengganggu anak gadis orang dengan perlakuan yang tidak senonoh, karena bisa-bisa dihajar oleh
Seorang mantar wai (anak perempuan) layak mendapatkan semua perlindungan dari kaum laki-laki, bukan saja karena sebagai makhluk yang lemah, tetapi juga demi menjaga rang (kehormatan) kaum laki-laki.
Manakala suatu saat nanti ketika menjadi seorang Molas (gadis) dan dilamar oleh seorang laki-laki, pihak Orang Tua tidak segan untuk memasang semua liku-liku adat, karena anak gadis mereka pantas untuk mendapatkan paca / mas kawin yang mereka tentukan kepada pihak laki-laki.
Namun apa jadinya jika seorang anak gadis melakukan perbuatan yang menjatuhkan harga diri keluarga terutama kaum laki-laki, semua perlindungan berubah menjadi hukuman.
Bentuk fisik dan gerak gerik seorang perempuan, bagi orang tua gampang sekali untuk dibaca, apalagi seorang gadis yang telah hamil, dengan penglihatan sekilas saja beberapa Orang Tua tahu seorang perempuan telah hamil dan bahkan sedetail berapa usia kehamilannya. Itulah kemampuan alamiah orang kampung yang sampai sekarang pun beberapa orang masih memilikinya.
Dulu belum ada undang-undang perlindungan anak dan perempuan, jadi anak gadis yang melanggar aturan keluarga akan dihukum, dan kesalahan yang dibuatnya juga berimbas kepada perempuan lain yaitu Ibunya. Seorang anak gadis yang melakukan kesalahan akan ditimpakan juga kepada Ibunya, karena Ibunya dianggap tidak mampu mendidik dan menjaga anak gadisnya. Dan kesalahan semua kaum perempuan merupakan kegagalan kaum laki-laki menjaga dan mendidik kaum perempuannya.
Jadi atas dasar inilah kaum laki-laki mengambil tindakan tegas ketika seorang perempuan berbuat kesalahan.
Terlebih jika anak gadis tersebut olo manga ici (hamil diluar naikah), bagaimana bisa terjadi sementara kebanyakan waktunya dihabiskan dirumah bersama dengan Ibu dan kaum perempuan lainnya.
Jika hal demikian terjadi, maka satu-satunya cara adalah memaksa anak gadis tersebut untuk mengaku siapa yang telah menghamilinya.
Jika dia seorang Reba (pemuda) maka langkah berikutnya adalah menghadap Orang Tua pemuda tersebut dan menanyakan kebenarannya dan meminta pertanggungjawaban mereka.
Disinilah harga diri kaum laki-laki dipertaruhkan oleh sebuah kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak gadis, dengan sisa-sisa keberanian mereka masih tetap memperjuangkan status kaum perempuan di keluarganya.
Jika si pemuda dan orang tuanya bertanggungjawab maka untuk proses adat selanjutnya hingga sampai ke perkawinan akan terasa kabi koba (asal dijalankan saja) demi untuk tadu ranga / cimu ritak (menutupi aib) dan beberapa tahapan akan disatukan saja semisal langsung salang telu ; tuke mbaru, taing kila, dan toto ranga (tiga tahapan disatukan yaitu pinangan sekaligus lamaran resmi) dan tinggal menentukan waktu untuk melangsungkan perkawinan.
Dan masalah akan semakin runyam jika yang menghamilinya adalah orang yang telah memiliki istri, bisa dibayangkan betapa berat urusan yang harus diselesaikan oleh kaum laki-laki. Seperti apapun bentuk pengekangan dan bentuk pengawasan Orang tua terhadap putri-putrinya, selalu ada situasi yang memperburuk suasana.
Dan biasanya kaum perempuan yang menciptakan berbagai masalah seperti ini baru akan sadar setelah semuanya terjadi, dan penyesalan adalah hal yang kurang berpengaruh untuk menjaga nilai dan norma.
Sampai saat ini, masalah seperti ini masih terus terjadi dan malah semakin sering terdengar, entahlah siapa yang salah semoga saja kaum perempuan semakin lebih bisa menghormati dirinya sendiri ketimbang menciptakan masalah bagi orang lain. Dan bagi kaum laki-laki, butuh pengawasan dan kesepakatan umum di bidang adat untuk menghukum laki-laki yang melakukan tindakan yang merugikan kaum perempuan, karena hukum negara kurang menguatkan.
E. Tungku Ingkoe atau tungku Wote (Kawin Dengan Bibi atau Keponakan)
Tungku sai atau tungku adalah jenis perkawinan adat yang memperbaharui kembali hubungan kekerabatan antara Iname/Iname sai (pihak keluarga Ibu/Nenek) dengan Woe/Woe manga (pihak keluarga Ayah/Kakek ) dalam ikatan perkawinan, yang telah didahului oleh ikatan perkawinan di tingkat sebelumnya yaitu di tingkat Ayah atau Kakek dari pihak laki-laki.
Tungku sai idealnya adalah perkawinan antara seorang Reba (pemuda) dengan seorang Molas (gadis) yang merupakan mantar ingwai (anak perempuan) dari Toa (
Atau tungku neteng
Reba akan memandang Molas sebagai mantar wai de Toa / wina tungku (perempuan yang sudah pasti bisa dikawinkan jika terjadi tungku / istri pusaka), dan Molas akan memandang Reba sebagai mantar ata rona de Inang / Rona Pusaka.
(…..lihat; Jenis-Jenis Perkawinan Adat Data Kempo - Manggarai)
Namun karena satu dan lain hal, tungku sai memiliki alternatif lain yaitu tungku Ingkoe atau tungku Wote.
Tungku ingkoe merupakan alternatif ketika Molas/Wina Tungku dari tingkat sejajar mantar wai de Toa sudah tidak ada lagi atau masih kecil maka tungku akan naik satu tingkat di tingkat sejajar Ibu yaitu tungku Ine koe / Ingkoe (kawin dengan bibi), atau jika satu tingkat diatas masih belum bisa, maka akan turun satu tingkat di bawahnya di tingkat sejajar Wote yaitu tungku Wote (kawin dengan Menantu).
Perkawinan tungku seperti ini tetap memiliki batasan yaitu jika terjadi tungku Ingkoe, si Molas bukanlah Ase decuk (adik kandung) dari Ibu si Reba, melainkan Ase-Kae ca Batu (saudara sepupu Ibu dalam satu klan).
Dan pada tungku Wote, si Molas bukanlah mantar wai (anak gadis) dari Kesa decuk (saudara kandung istri kakak si Reba), melainkan dari Kesa ca Batu (kakak Ipar sepupu dalam satu klan).
Tungku Ingkoe atau tungku Wote merupakan tungku yang dipaksakan, artinya kedudukan si Reba dan si Molas tidak berada pada level yang sejajar.
Pada tungku Ingkoe, seorang Molas berada pada level sejajar dengan Ibu si Reba, sehingga si Ingkoe akan memandang si Reba sebagai anaknya juga dan si Reba akan memandang si Ingkoe sebagai Ibunya.
Namun karena terjadi perkawinan tungku dalam hal ini posisi si Reba di mata Orang Tua si Molas akan naik satu tingkat menjadi sejajar dengan Ayahnya, karena seorang Reba yang tungku dengan Ingkoe seharusnya selevel dengan Ayah si Reba, dan posisi si Ingkoe di mata Orang Tua si Reba turun satu tingkat.
Sedangkan pada tungku Wote, seorang Reba berada sejajar dengan Ayah si Molas, sehingga si Reba akan memandang si Molas sebagai Wote dan si Wote akan memandang si Reba sebagai Amang (Ayah Mantu).
Namun karena terjadi tungku, maka posisi si Reba di mata Orang Tua si Molas turun satu tingkat sejajar dengan anaknya, karena seharusnya anaknya kelak yang melakukan tungku, dan posisi si Molas di mata Orang Tua si Reba naik satu tingkat sejajar dengan Ibunya.
Untuk menyeimbangkan kedudukan antara Reba dan Molas agar pehe (boleh) untuk kawin silang maka dilakukan ritual cilu benta (mengganti cara penyebutan / cara memanggil).
Ritual ini dilakukan ketika acara akad nikah selesai, sebelum padong (menghantar si Molas ke rumah si Reba), dilakukan di hadapan Iname (pihak Orang Tua si Molas) dan Woe ((pihak Orang Tua si Reba), bahan yang dipersiapkan oleh pihak Reba adalah lipa (sarung) maupun tuak.
Perubahan cara penyebutan karena perkawinan tungku adalah;
- Pada Tungku Ingkoe:
-Reba akan memanggil Orang Tua si Molas dengan sebutan Toa (Mertua) dari sebelumnya Empo (Kakek/Nenek), sebaliknya Orang Tua si Molas memanggil si Reba dengan sebutan Koa (Menantu) dari sebelumnya empo (cucu).
-Reba akan memanggil saudara si Molas dengan sebutan Kela (Besan) dari sebelumnya Toa, sebaliknya saudara si Molas akan memanggil si Reba dengan sebutan Kesa (Besan) dari sebelumnya Koa.
-Molas akan memanggil Orang Tua si Reba dengan sebutan Inang/Amang (Ayah/Ibu Mantu) dari sebelumnya Rona Tua/Kae (Kakak Ipar), sebaliknya Orang Tua si Reba akan memanggil si Molas dengan sebutan Wote (Menantu) dari sebelumnya Wina Koe/Ase (Adik Ipar). - Pada Tungku Wote:
-Reba akan memanggil Orang Tua si Molas dengan sebutan Toa dari sebelumnya Kela, sebaliknya Orang Tua si Molas akan memanggil si Reba dengan sebutan Koa dari sebelumnya Kesa.
-Reba akan memanggil saudara si Molas dengan sebutan Wina Koe/Ase dari sebelumnya Wote, sebaliknya saudara si Molas memanggil si Reba dengan sebutab Rona Tua/Kae dari sebelumnya Amang.
-Molas akan memanggil Orang Tua si Reba dengan sebutan Inang/Amang dari sebelumnya Empo, sebaliknya Orant Tua si Reba akan memanggil si Molas dengan sebutan Wote dari sebelumnya empo.
Tujuannya untuk menghilangkan rasa segan dan rasa tidak enak untuk menyapa dan memanggil oleh karena perubahan kedudukan yang terjadi, selain itu juga untuk menghindari segala kemungkinan yang terjadi karena perkawinan yang terjadi berada pada batasan yang terlalu dekat dengan hubungan darah.
E. Kope Sua / Wina Sua (Beristri dua / Poligami)
Sejatinya perkawinan adalah pande neki ca ata sua (menyatukan dua insan) dalam ikatan perkawinan yang didasari oleh rasa cinta satu sama lain.
Namun kehidupan yang dinamis kadang menarik perhatian sebagian kecil orang untuk melangkah keluar dari kebiasaan tersebut.
Memiliki istri lebih dari satu bukanlah hal yang main-main atau sesuka hati, namun lebih kepada cara pandang orang tersebut terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya dan bertanggungjawab atas keputusannya tersebut.
Meski batasan untuk memiliki hanya satu istri dalam adat Kempo, tidak dibuat dalam kesepakatan bersama tetapi setiap orang secara alamiah akan mencarikan seorang hae hese (pendamping hidup) dan menjalani hidup bersama pasangannya.
Perkawinan adat Kempo juga mengenal istilah paca (mahar/mas kawin) yang akumulasinya bisa dibilang cukup bernilai besar, dan proses untuk mencapai sebuah perkawinan membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran yang ekstra.
Jadi untuk melangsungkan perkawinan yang hanya sekali seumur hidup saja begitu sulit apalagi memikirkan untuk kedua kalinya.
Bentuk penyimpangan perkawinan ini meliputi dua jenis perkawinan yaitu;
- Kope sua (beristri dua)
Kope sua yang dibahas dalam penyimpangan perkawinan adat Kempo kali ini adalah laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu orang dan semuanya memiliki status istri sah serta semuanya masih hidup. Bukan laki-laki yang ata mata wina (duda), karena bentuk perkawinan oleh seorang duda bukanlah penyimpangan.
Pada perkawinan kope sua akan ditekankan tanggung jawab yang lebih pada laki-laki karena memiliki istri lebih dari satu. Pada beberapa kasus, mungkin hanya pada istri pertama saja keterlibatan Ase-Kae (sanak saudara) dalam bentuk warang laki (pengumbulan barang atau barang pengganti untuk acara perkawinan), sebagai modal paca/belis. Sementara untuk perkawinan kedua / istri kedua menjadi tanggungjawab sendiri orang yang bersangkutan, keterlibatan Ase-Kae hanya sebatas pada bagian tertentu karena keputusan untuk kawin yang kedua diluar kesepakatan bersama.
Jika pada perkawinan yang kedua, si laki-laki menginginkan istri keduanya menjadi istri sah dan diterima oleh Ase-Kae, maka ia akan dihitung sebagai kope sua (dua keluarga/istri dengan satu kepala keluarga). Dalam kehidupan ca Batu (satu klan) ia bertanggungjawab atas segala kewajiban yang dibebankan dua kali kepadanya, misalnya untuk kumpul warang ia dihitung dua kepala keluarga. Demikianpun jika ada werong (sejumlah permintaan pihak orang tua istri untuk disumbangkan) ia bertanggungjawab atas dua Iname. Jika ia berstatus kope sua dan menjalani semua kesepakatan bersama Ase-Kae, kedua Iname tersebut juga akan diakui oleh Ase-Kae. - Ligeng Kabo (istri siri)Perkawinan jenis ini merupakan limpahan keberuntungan seorang laki-laki, dimana istri kedua dalam istilah kasarnya merupakan pemberian gratis oleh Iname sebagai pengganti peran istri pertama. Dalam mendapatkan istri kedua seorang laki-laki akan membicarakannya dengan pihak Iname, apa yang menjadi permasalahan dalam kehidupan keluarganya, dan meminta seorang adik atau sepupu istrinya untuk menjadi istri keduanya. Memang tidak segampang itu, perlu pertimbangan matang dari Iname dan alasan yang paling mendasar dari kehidupan keluarga si laki-laki. Jika semuanya mencapai kata sepakat, istri kedua pun didapat tanpa menanggung paca/mas kawin lagi.
Demikianpun dalam kehidupan Ase-Kae si laki-laki, tetap akan dihitung ca kope (satu keluarga), meski kenyataannya ada dua istri, karena istri kedua berasal dari Iname yang sama, ditambah dengan alasan mendasar dari perkawinan pertamanya semisal toe manga beka (mandul/tidak memiliki keturunan).
Permasalahan yang timbul biasanya pada keharmonisan kehidupan rumah tangga, terjadi persaingan antara istri pertama dan kedua, sehingga munculah istilah baru wina tua dan wina molas / wina olo wina te sua (istri pertama dan istri kedua). Mengharmoniskan tiga insan tentu dibutuhkan talenta khusus, karena laki-laki yang demikian bukan saja seorang lalong (jago / ayam jantan) tetapi lalong kador (ayam jantan pemberani).
Masalah lain yaitu menyangkut pembagian warisan kepada keturunannya kelak, keturunan dari istri pertama pasti memiliki ego sebagai anak dari istri pertama namun di sisi lain tuntutan hak yang sama dilakukan oleh keturunan dari istri kedua. Hal semacam inilah yang melibatkan semua Ase-Kae ca Batu untuk mencari jalan keluar sebagai penyelesaiannya, jika semuanya akur tentu tak masalah namun jika tidak ada yang mau mengalah masalah akan terus berlanjut di masa-masa mendatang.
F. Taing Lipa Wengko (Melimpahkan Tanggungjawab Sebagai Suami)
Tidak banyak yang tahu istilah ini, karena menyangkut privasi kelangsungan dan keharmonisan kehidupan rumah tangga diantara keluarga yang memiliki hubungan keluarga yang sangat dekat.
Taing lipa wengko adalah sebuah kerelaan dan ketulusan hati seorang laki-laki, yang melimpahkan tanggung jawabnya sebagai suami kepada orang lain, untuk mendapatkan keturunan dari istrinya.
Hal ini butuh pembuktian yang panjang, dimana seorang laki-laki akan menyadari seutuhnya kekurangan dalam dirinya, dan meminta bantuan orang lain tentunya setelah mencapai kata sepakat dengan hae hese (istrinya). Dalam hal ini orang yang dituju biasanya Ase (Adik) atau Kae (Kakak) yang masih memiliki garis keturunan yang sama untuk menggantikan perannya.
Di bagian lain, Ase atau Kae yang menggantikan perannya belum tentu sebegitu gampang menerima tanggungjawab tersebut.
Pembicaraan ini sangat rahasia, dan tidak banyak yang tahu bahkan mungkin tidak ada orang lain yang tahu selain orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut.
Lipa wengko (sarung yang biasa dipakai seseorang ketika tidur), merupakan bentuk privasi tertinggi dalam keintiman kehidupan rumah tangga, akan diserahkan kepada orang lain.
Pertimbangan yang matang, serta mengalir dalam keheningan sebagai satu darah yang sama, dan jangan sampai jatuh ke tangan yang salah, itulah mengapa istilah ini tidak pernah popular.
Mengapa harus memilih cara seperti ini ?
Tujuan perkawinan secara sederhana adalah kawe beka (untuk melanjutkan keturunan), namun karena suatu kondisi sehingga tidak dapat melahirkan keturunan sementara di sisi lain ukuran kejantanan seseorang adalah dapat melanjutkan keturunan, lagi pula jumlah manusia di jaman itu masih sedikit sehingga kelahiran seorang anak sangat dinantikan.
Meski taing lipa wengko merupakan cara yang tidak biasa, namun hal itu merupakan sebuah pilihan keputusan yang tidaklah mudah, sebuah kerelaan bernilai kemanusiaan atau sangat sulit mengartikannya, ketimbang membiarkan diri berada dalam situasi tidak pasti.
Walau ada pilihan lain yaitu berusaha semaksimal mungkin untuk mencari pengobatan, karena beberapa pengobatan tradisional orang Kempo lebih manjur ketimbang pengobatan medis.
Atau pilihan lain yaitu tetap hidup rukun bersama, dan mengadopsi anak dari saudara dan ketika semuanya telah tiada akan disebut toe manga wae na (tidak memiliki keturunan).
Pada bentuk penyimpangan perkawinan ini, jika kesepakatan tersebut melahirkan generasi baru, kerahasiaan ini tetap berlanjut dan jarang ada yang menceritakannya. Namun beberapa kasus, kerahasiaan ini haruslah dibongkar untuk sesuatu tujuan hinga sesuatu yang tak diharapkan benar-benar terjadi.
Kehidupan selalu penuh misteri, kita tak pernah tahu bagaimana kita bisa ada sampai sebesar seperti sekarang, semua yang tahu akan hal tersebut telah pergi dan apakah kita harus memperkarakannya ? Misteri taman
G. Jurak (Kawin Dengan Saudara Sendiri)
Manusia jatuh ke dalam pencobaan, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan peristiwa seperti ini. Bagi orang Kempo, nilai luhur kemanusiaan diajarkan sejak kecil, perempuan merupakan hae hese (pendamping hidup) namun sangat jelas batasan silsilah keluarga dan hubungaan kekerabatan. Hal inilah yang bisa mengelompokan kaum perempuan sebagai Weta (saudara perempuan), Weta laing (saudara perempuan karena hubungan kekerabatan)
Wote Ingwai (anak mantu perempuan), Koa Ingwai (keponakan perempuan) Ine (Ibu ), Ine Koe/Ingkoe (Bibi) , Ine Tua/Intua (Bude/Mama Tua) Empo Ingwai (Nenek), Inang (Ibu Mantu),/
Toa Ingwai (Ibu Mertua)
dengan perempuan sebagai wina tungku (anak perempuan dari saudara laki-laki ibu) dan Ingwai bana ( perempuan lain diluar garis kekerabatan).
Begitu juga dengan kaum laki-laki dikelompokan menjadi
Nara (saudara laki-laki), Nara laing (saudara laki-laki karena hubungan kekerabatan) Wote ata rona (anak mantu laki-laki), Koa ata rona (keponakan laki-laki) Ame (Ayah), Empo ata rona (Kakek), Amang (Bapak Mantu), Toa ata rona (Bapak Mertua) dengan laki-laki yang menjadi Rona Tungku (anak laki-laki dari saudara perempuan Ayah) dan ata rona bana ( laki-laki lain diluar garis kekerabatan)
Dari pengelompokan diatas dalam perkawinan adat data Kempo, sudah jelas siapa saja yang boleh menjadi calon suami/istri dari seseorang. Bagi laki-laki yang boleh menjadi calon istrinya hanyalah wina tungku (alternatif tungku) dan ata ingwai bana, sedangkan bagi perempuan yang boleh menjadi calon suaminya hanyalah rona tungku (alternatif tungku) dan ata rona bana. Sehingga setiap kali orang Kempo berkenalan dengan orang selalu saja ada tulur (menanyakan asal-usul) yang ditanyakan nia mai Beo (asal dari kampung mana), mantar doing (anaknya siapa), dan cai laing ise situ (bagaimana hubungan kekerabatan dengan keluargayang ada di kampung tersebut) lalu dibuatlah kesimpulan cai laing hemi (siapakah anda bagi saya), apakah ada hubungan kekerabatan yang dekat atau tidak. Karena ikatan kekerabatan akibat hubungan perkawinan bagi ata Kempo sangat luas, melahirkan banyak dari (kerabat), yang tersebar di berbagai kampung dan wilayah, dan setiap Reba/Molas dititpkan pesan oleh orang tua supaya selalu olo tulur tau (saling menanyakan asal-usul). Hal ini untuk menghindari kawin dengan saudara sendiri, atau yang masih memiliki hubungan keluarga dekat dan toe pehe / toe to taur (tidak diperbolehkan) untuk melakukan perkawinan.
Jurak sebenarnya bukan jenis perkawinan tetapi merupakan tindakan terlarang dimana terjadi neki ca (terjadi hubungan yang intim) antara laki-laki dan perempuan yang masih memiliki hubungan darah dari keturunan yang sama.
Misalnya terjadi perkawinan antara Weta-Nara (kakak beradik dari satu ayah), atau perkawinan dengan Weta laing (sepupu dari satu kakek yang sama), atau kawin dengan Ame-Mantar (Ayah-anak), Ine-Mantar (Ibu dan Anak), mantar laing (anak atau keponakan dari saudara kandung).
Jurak adalah musibah yang melanggar nilai-nilai luhur adat juga nilai kemanusiaan.
Jurak bisa terjadi melalui reweng/jaong (ucapan) yaitu kata-kata yang tidak semestinya diucapakan, ngoeng (pikiran dan niat) ketertarikan, dan pande (tindakan) perlakuan yang tidak wajar terhadap saudara sendiri.
Dan yang lebih parah adalah jika terjadi hubungan terlarang dan membuat si perempuan menjadi hamil.
Jika terjadi hal demikian merupakan sebuah malapetaka, dan bencana yang tak diinginkan akan menunggu di depan mata.
Sebuah perbuatan kotor, sebaik apapun kita menyembunyikannya akan ketahuan juga, ada banyak hal yang bisa membongkar perbuatan tercela tersebut.
Hukumannya tidak main-main, dan bukan saja datang dari saudara sendiri tetapi juga dari warga sekampung. Orang yang melakukan perbuatan jurak akan dicambuk dan diseret keliling kampung, sebagai bentuk hukuman yang diterimanya.
Sebagai upacara cebong lasa (tolak bala), bagi orang yang melakukan perbuatan jurak, dilakukan sebuah upacara walek elar (membalikan alas rumah), yaitu sepasang insan tersebut pola opok muku (memikul batang pisang secara bersama), atau pola ngencung (memikul lesung), lalu berjalan mengelilingi Compang (mesbah penyembahan di tengah kampung), sambil mengucapkan pernyataan “hami ata pande jurak, neka lut pande gami” (kami telah melakukan perbuatan jurak, dan jangan ada lagi orang yang mengikuti perbuatan kami).
Diiringi juga dengan cambukan dan pukulan yang tidak lagi mengenal rasa kemanusiaan, karena diyakini mereka telah dirasuki oleh roh jahat, sehingga mati pun bukanlah hal yang perlu ditangisi.
Konon katanya, jika masih bertahan hidup dengan sekujur tubuh penuh luka, sepasang insan tersebut dikucilkan dan dibuang kedalam hutan belantara, atau dilemparkan kedalam jurang, sehingga kemungkinan mereka bertahan hidup sangat kecil.
Tidak ada yang tahu pasti kelanjutannya, karena hukuman seperti itu tidak pernah lagi ditemukan dalam beberapa puluh tahun terakhir.
Meski perbuatan jurak dengan tingkat yang lebih kecil, semisal ucapan atau perlakuan tak wajar pernah terjadi, semua akan dikembalikan kepada keluarga orang bersangkutan, untuk mengambil tindakan menghukumnya.
Namun cerita tentang jurak tak akan mudah hilang sepanjang perjalanan hidup, bahkan kabarnya karena perbuatan tersebut beberapa generasi berikutnya dari keluarga tersebut akan mempo (musnah).
Memang tidak secara serentak tetapi berjalan lambat, misalnya tidak lagi memiliki keturunan, atau hanya memeiliki keturunan satu atau dua orang, lalu mati di usia muda, atau mati secara tidak wajar.
Darah itu tetap mengalir dan trauma akan hal itu mengusik kehidupan dari waktu ke waktu, dapatkah semuanya dibalikan ke keadaan semula, semua kembali kepada Muri Agu Ngaran (Sang Pencipta).
******************
http://adatbudaya-kempo.blogspot.com/2014/03/bentuk-bentuk-penyimpangan-perkawinan.html
Cttn:
Neka rabo (maaf) uraian diatas mungkin belum terlalu lengkap, karena keterbatasan waktu untuk melakukan pengenalan yang mendalam.
Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.
Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.