Translate

Senin, 22 Desember 2014

Paca (Mas Kawin) Dalam Perkawinan Adat Kempo

paca dalam perkawinan adat Manggarai
wali maga (penyerahan paca) pada prosesi pernikahan adat

Sebelum berbicara terlalu jauh mengenai makna dan nilai luhur paca dalam perkawinan adat Kempo - Manggarai Barat, pertama-tama penulis akan menegaskan untuk tidak memakai istilah ''belis''?
Sebagai Ata Kempo (Orang Kempo), saya belum tahu dan tidak mau tahu dari mana asal kata tersebut. Karena jaong Kempo (bahasa Kempo) tidak mengenal kata itu. Selain itu, dengan tidak menggunakan kata tersebut, tidak ada asosiasi paca seolah jual beli perempuan.

Tinggalkan kata tersebut, dan kembali ke topik utama.
Kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan sesama dalam suatu hubungan kekerabatan berlandaskan hak dan kewajiban. Tiap-tiap orang dalam suatu kelompok masyarakat adat, maupun antar kelompok masyarakat adat itu sendiri secara turun-temurun memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Semua telah diatur dalam kesepakatan bersama antar kelompok masyarakat adat. Meskipun hal itu tidak pernah tertulis, namun semua menjadi satu dalam kehidupan masyarakat adat itu sendiri.

Demikian halnya dalam sebuah prosesi perkawinan adat, yang melibatkan dua belah pihak utama yaitu Iname (pihak perempuan) dan Woe (pihak laki-laki).
Dikatakan pihak utama, karena masih ada pihak lain yang tidak terlibat langsung, namun memiliki peran penting dalam prosesi perkawinan tersebut.
Kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan kedudukannya.
Iname yang biasa disebut Nara (saudara laki-laki) mempunyai dis (hak) untuk taing (meminta/menetapkan) paca / mahar kepada Woe atau disebut Weta (saudara perempuan).
Dan pihak Woe memiliki kewajiban untuk menyanggupi paca yang diminta pihak Iname.
Dalam penerapannya, semua ada ceki agu laseng (aturan dan tata cara umum) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dalam prosesi perkawinan yang dimaksud.

Mungkin ada yang bertanya, kapan semua ini dimulai?


Banyak spekulasi yang ada di benak orang-orang yang mengaku mengetahuinya. Tak masalah, isi kepala tiap orang berbeda gumpalan, dan yang punya kepala memiliki kesempatan untuk melancipkan atau menumpulkannya, atau malah mengosongkannya.

Menurut penulis sendiri, setelah berkonsultasi dengan tetua adat tentunya, meyakini bahwa semua hal ini berawal dari ketika manusia terutama Ata Kempo mampu berpikir tentang logika, bukan lagi mengandalkan insting. Logika untuk menghargai atau memberi nilai pada sesuatu.
Berarti sudah lebih maju dari spesies dekatnya yaitu simpanse yang masih mengandalkan insting dan kekuatan fisik untuk menjadi pejantan dan memimpin koloninya.

Begitulah kira-kira penggambaran awal mulanya, sesuai dengan peradaban manusia masa lampau.
Dan hal-hal lain yang melengkapinya, berkembang seiring perkembangan jaman, tentunya tanpa meninggalkan nilai luhurnya.

Apa sebenarnya paca (mahar/mas kawin) dalam perkawinan adat Kempo-Manggarai Barat?


Sejenak kita kembali ke masa lalu, puluhan hingga ratusan tahun silam. Masa dimana standar nilai tukar belum diatur, atau masa setelah nilai tukar berdasarkan mata uang. Dan nilai uwang / seng (uang) belum melonjak seperti saat ini, serta peredaran uang masih sangat terbatas.
Tapi karena masyarakat masih jauh dari kehidupan moderen, nilai tukar masih ditentukan oleh nilai barang atau barang pengganti, berupa hewan ternak maupun barang berharga lainnya pada masa itu.


Secara garis besar paca atau paca wina, pembahasannya ditinjau dari sudut pandang sebagai ata rona (pihak laki-laki).
Karena pihak laki-laki adalah pihak yang menyanggupi paca yang diminta oleh pihak perempuan.
Makna paca dapat disimpulkan dalam uraian dibawah ini;

1. Paca merupakan penghargaan terhadap nilai-nialai luhur adat istiadat.



Bagi ata Kempo atau ata Mangggarai umumnya, ala wina (perkawinan) merupakan bagian dari siklus kehidupan manusia. Sesuai dengan tujuan dari kaeng kilo (hidup berumahtangga) yaitu tau beka agu buar (melanjutkan keturunan).
Prosesi perkawinan adat juga merupakan peristiwa penting bagi seseorang, karena banyak hal yang didapatkan dari tiap tahap yang dilaluinya. Makna dari tiap tahapan inilah yang membuat seseorang menjadi dewasa baik dalam berpikir maupun berprilaku. Hal itu akan menjadi modal dasar bagi suami istri untuk melahirkan generasi baru.

Prosesi perkawinan adat diwariskan turun temurun dari para leluhur. Melibatkan banyak pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Hal inilah yang membuat masyarakat adat Kempo, sadar dan paham bahwa ada sebuah proses yang dilalui untuk mencapai sebuah titik perkawinan.
Dan proses tersebut telah diatur oleh para leluhur, dalam sebuah sistem perkawinan adat, yang boleh dikatakan sempurna.
Didalamnya tertuang dasar pemikiran, tata cara sebagai panduan, pengawasan dan sanksi. Untuk ukuran orang yang hidup di masa lampau, sistem ini sebagai sesuatu yang cukup brilian.

Karena perkawinan melibatkan banyak pihak, otomatis banyak pula orang yang mengetahui hal ini.
Jadi walaupun belum ada kitab tertulisnya, namun semua orang tahu tentang hal tersebut, meskipun tingkat pemahaman tiap orang berbeda dalam menafsirkannya.
Begitu juga halnya jika terlibat sebagai pihak-pihak dalam prosesi perkawinan, sudah tentu tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya.

2. Paca merupakan sebuah konsep pemikiran yang sangat sederhana; balas jasa pengasuhan.


Perkawinan adat Kempo / Manggarai menganut sistem patrilinear. Gambaran singkatnya prosesi  perkawinan yaitu, pihak Woe mendatangi Iname untuk mencari dan meminta seorang gadis, sesuai ungkapan wa tana la'as eta sekang rewas (jejak / bayangannya ada di tanah dan bunganya berada dalam rumah).
Pihak Iname yang telah melahirkan dan membesarkan seorang gadis menyampaikan dis (hak) yang telah diatur oleh adat yaitu meminta paca. Pihak Woe menyadari hal ini dan menyatakan kesanggupannya, sesuai ungkapan tegi dise Nara, manga dise Weta (pihak perempuan akan meminta / menetapkan dan pihak laki-laki akan menyanggupi sesuai kemampuan.

Dengan disepakatinya aturan adat tersebut, perkawinan adat pun dilaksanakan.
Melalui perkawinan, pihak Iname memberikan seorang gadis,  dan pihak Woe membalas jasa Iname untuk pengasuhan gadis tersebut dengan paca.
Masyarakat adat Kempo dijaman itu belumlah memiliki kompleksitas kehidupan serumit saat ini. Meletakan sebuah dasar pemikiran tidaklah perlu rumit, kita bisa bayangkan cara berpikir manusia ratusan tahun silam, hidup adalah sebuah kesederhanaan.

Jadi paca pada intinya adalah balas jasa pengasuhan.


Dan nilai dari balas jasa tersebut disejajarkan dengan memberi nilai pada sebuah barang atau barang pengganti.
Analogi sederhananya, jika kita berpikir bahwa emas adalah harta yang berharga, maka penghargaan terhadap sebuah balas jasa, juga setara dengan kita memberi nilai emas tersebut. Bisa dikatakan sebagai nilai intrinsik dari sebuah nominal .
Makna dan nilai luhur dari konsep sederhana inilah yang membuat paca memiliki makna yang lebih dalam dan luas, sehingga menjadi bagian yang turut mempengaruhi kehidupan masyarakat adat Kempo.
Makna dan nilai luhur ini diatur sedemikian rupa sehingga paca bukanlah sebuah bentuk pertukaran atau jual beli. (..di topik berbeda nanti kita akan bahas perbedaan paca dan jual beli)

Berikut dasar pemikiran dari Iname dalam hal tegi (meminta / menetapkan) paca;


Paca adalah dis de Iname (hak dari pihak perempuan) yang diatur oleh adat istiadat orang Kempo.
Memiliki seorang anak perempuan, sebenarnya sama dengan memiliki seorang anak laki-laki. Namun dalam pengasuhan, beberapa hal dibedakan antar laki-laki dan perempuan.
Sejak kecil seorang anak perempuan dipersiapkan untuk menjadi seorang Ibu sebagaimana kodratnya, dan seorang laki-laki dipersiapkan untuk menjadi seorang Ayah sebagaimana mestinya.

Dalam perjalanan hidupnya, gambaran sederhana seorang perempuan ibaratnya sebagai mawo lebo (padi yang menghijau), sementara laki-laki ibaratnya sebagai kaba lambar (kerbau jantan liar). Sebagai mawo lebo tentunya seorang perempuan rentan dengan berbagai macam serangan hama penyakit dan menarik perhatian kerbau liar, sehingga perlu dirawat dan dijaga agar kelak menghasilkan bulir-bulir padi yang menghidupkan. Jika mawo lebo diserang oleh kaba lambar, maka bukan saja mawo lebo yang rusak dan mati tetapi juga pemilik kebunnya akan gagal panen.

Dan sebagai kerbau liar seorang laki-laki perlu diawasi dan diarahkan agar jangan sampai merusak mawo lebo. Sekalipun kaba lambar menyerang mawo lebo, bukan kaba lambarnya yang mati tetapi mawo lebonya, sementara pemilik kaba lambar harus mengganti kerugian atas mawo lebo. Dan biasanya berapa pun besar nilai gantinya, tidak akan sepadan dengan kerusakan yang terjadi.

Dalam kehidupan kelompok, gambaran lain dari seorang perempuan adalah sebagai sebuah mahkota, sementara laki-laki adalah takhtanya. Setiap laki-laki menjaga dan mempertahankan rang (harga diri dan gengsi), yang salah satunya adalah sanggup menjaga keutuhan mahkotanya yaitu kehormatan setiap perempuan yang ada disekitarnya. Apalah arti sebuah takhta atau singgasana, jika mahkotanya telah rusak, maka dengan sendirinya takhta itupun hancur.
Seorang anak perempuan sebagai mahkota keluarga dan kelompok, harus dijaga, diasuh dan diajarkan nilai-nilai luhur kehidupan agar jangan sampai menjatuhkan harga diri kaum dan kelompoknya.

Demikian pun seorang anak laki-laki akan diajarkan bagaimana memperlakukan seorang perempuan sebagai seorang Weta (saudara perempuan) yang merupakan cilu ranga (perwujudan) seorang Ibu. Sehingga tidak heran, setiap laki-laki dalam keluarga maupun kelompok akan menjadi pagar yaitu penjaga dan pelindung bagi kaum perempuan.

Atas dasar pengasuhan tersebutlah sehingga dalam perkawinan adat, pihak Iname diberikan hak oleh adat istiadat untuk meminta / menetapkan balas jasa pengasuhan kepada pihak Woe.
Karena anak perempuan yang telah mereka asuh, jaga dan besarkan kelak akan menjadi bagian dari keluarga pihak laki-laki (sistem perkawinan patrilinear).
Ia akan menjadi bagian dari keluarga laki-laki dan menjadi calon Ibu yang akan melahirkan keturunan dari pihak keluarga laki-laki.

3. Paca adalah sebuah kesanggupan.


Dalam perkawinan adat Kempo jaman dulu, sebenarnya ada dua istilah sebagai bentuk balas jasa pengasuhan kepada pihak Iname.

a. Nengga weki oke saki

Balas jasa pengasuhan seperti ini bisa diterjemahkan sebagai ketidak-sanggupan untuk memenuhi segala permintaan pihak Iname. Sehingga dibuatlah sebuah batasan oleh adat istiadat, agar pembalasan jasa masih tetap memiliki nilai dan kedua belah pihak tetap menjalankan ceki nengga weki (pelaksanaan adat istiadat perkawinan).
Meski nilai dari balas jasa tersebut hanyalah sebagai oke saki (ala kadarnya) dan kedua belah pihak tidak kehilangan muka di depan masyarakat.

Istilah oke saki sebenarnya untuk kalangan rakyat biasa, atau untuk orang yang melakukan perkawinan adat tungku sai / tungku (perkawinan silang).
Namun lambat laun, karena kehidupan berangsur bergerak dinamis maka istilah oke saki berganti menjadi paca. Agar tidak ada diskriminasi antar golongan.

b). Paca

Istilah paca sendiri pada awalnya hanya untuk kalangan orang kaya atau orang berpengaruh. Misalnya kaum keturunan Raja atau orang yang mempunyai status sosial tinggi di masyarakat.
Karena, istilah paca hanya diterapkan apabila pihak Woe sanggup memenuhi segala permintaan Iname dalam pelaksanaan perkawinan adat.
Dan hal ini akan berpengaruh pada pelaksanaan perkawinan adat yang lengkap (mengenai tata cara akan dibahas di topik lain...).
Penerapan istilah paca berarti telah menyetujui apapun yang diminta oleh pihak Iname, sehingga tidak terjadi lagi tarik ulur pembicaraan pada tahap selanjutnya.

Inilah bentuk pertaruhan gengsi dan martabat wae’r Kraeng (kaum bangsawan) atau Ata ata hitu (orang yang berpengaruh) dalam hal perkawinan adat dimasa lalu.


4. Paca adalah sebuah kesepakatan.


Besaran nilai paca yang ditentukan merupakan sebuah kesepakatan antar kedua belah pihak.
Pada saat baro nai (lamaran), jaong kimpu (pembicaraan mengenai penentuan besarnya paca) akan dilakukan.
Berapa renta (besaran nilai paca) akan diberikan oleh pihak Iname, dan Woe akan poka (menentukan batas kesanggupan). Jika renta dirasa mampu untuk dipenuhi, maka paca sudah disepakati. Namun jika dirasa terlalu tinggi, maka akan ditawar lagi oleh Woe untuk menurunkan nilainya, disini terjadi pembicaraan yang alot.

Pembicaraan demi pembicaraan hingga sampai pada titik temu, dan disepakati nilai paca tersebut. Tawar menawar atau tarik ulur pembicaraan yang dimaksud, dalam artian mencari jalan keluar terbaik agar tidak memberatkan salah satu pihak. Bukan tawar menawar berapa harga seorang perempuan, tetapi lebih kepada pembicaraan mengenai kawe salang dia (mencari jalan keluar terbaik) mengenai ketetapan paca dan tata cara yang akan digunakan dalam prosesi perkawinan nantinya.

Sebagai contoh; jika dalam perkawinan nanti juga akan digelar wela wie (malam resepsi), maka pihak Woe diminta menanggung icing cewe (menu hidangan, biasanya seekor kerbau). Jika Woe merasa mampu, berarti wela wie jadi dilaksanakan, tapi kalau tidak mampu, maka harus dibicarakan saat itu juga, agar ada alternatif lain, atau tidak harus dilakukan. Hal ini untuk menghindari kerugian di pihak Iname, jika Woe mengingkari kesepakatan. 
Sebagai catatan; pelaksanaan prosesi perkawinan adat Kempo / Manggarai dilaksanakan di kampung pihak perempuan.

Analogi yang biasa dipakai dalam kesepakatan jaong kimpu ;
pihak Iname menunjuk sebatang pohon, setinggi itulah paca yang disebut renta (meminta),Woe melihatnya terlalu tinggi dan memberikan batasan yaitu poka (potong),
kemudian Iname menimbang lalu menetapkan yaitu
renco (arah jatuhnya).

Setelah besaran nilai paca sudah disepakati saat baro nai, maka pada saat neki ca weki (pernikahan) tinggal dilanjutkan dengan penyerahan besarnya nilai paca oleh Woe. Jadi tidak ada kesepakatan yang baru lagi atau perubahan kesepakatan, karena jaong ata puli kitek (sudah disepakati).

5. Paca adalah nilai kolektifitas


Manusia di jaman dulu, menyadari bahwa tidak semua hal besar bisa dilakukan secara sendirian. Ada lebih banyak hal besar yang kita bisa wujudkan jika dilakukan bersama-sama.
Demikian halnya paca, besaran nominal yang terkandung di dalam kimpu, bukan saja menjadi tanggungan pihak laki-laki, tetapi juga melibatkan kerabat dari pihak laki-laki.

Untuk lebih jelasnya, komposisi paca digambarkan sebagai berikut;

Paca yang ditetapkan oleh Iname akan menjadi tanggungan pihak Woe, lalu Woe membaginya menjadi dua atau tiga bagian, yaitu;
  1. Dibagi ke tiap-tiap kope (keluarga), yang menjadi Ase-Kae (saudara satu keturunan) tentunya yang sudah berkeluarga, dalam satu batu (klan), dalam bentuk warang laki (sejumlah sumbangan dari tiap kope dalam satu klan)
  2. Dibagi ke Woe dari pihak laki-laki, yaitu Weta (saudara perempuan dari si Reba) atau Inang (saudara perempuan ayah si Reba) yang sudah menikah tentunya, berupa werong (permintaan pihak Iname kepada Weta/Inang, untuk menyumbang pada acara yang dilangsungkan di keluarga Nara).
    Werong sebagai perwujudan ungkapan wae tiku tedeng (pendalamannya akan dibahas di topik lain..) 
    Pada keluarga Woe (Weta/Inang), werong dibagi lagi menjadi warang.
  3.  Hae bantang (mengajak orang lain untuk membuat kesepakatan seperti arisan).Hal ini hanya sebagai pilihan saja, jika si Reba tidak banyak memiliki Ase-Kae atau Weta/Inang. Banyak orang berencana untuk menikah, jadi apa salahnya bergabung atau mengajak orang lain untuk membuat kesepakatan semacam arisan.

Jadi komposisi paca bisa disederhanakan:
Paca = Warang laki (Ase-Kae) + Werong laki nara (Weta/Inang) + Hae bantang (kope Reba)
Jika belum mencukupi, maka kelebihannya menjadi tanggungan pribadi dari Orang tua atau dari si Reba. Tapi jika mencukupi, kadang si Reba ataupun orang tua malah tidak banyak mengeluarkan modal.

6. Paca adalah akumulasi kekurangan.


Aturan kehidupan manusia tidak hidup di dalam batu, yang kaku dan tidak bergerak keluar, melainkan dinamis dan manusiawi.
Demikian pun dalam perkawinan adat, karena pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan adat memiliki sua ranga (dua kedudukan yang sama) yang saling bergantian.
Pihak Iname pada saat tertentu bisa menjadi Woe, karena juga memiliki anak laki-laki, demikian pun Woe pada saat tertentu berposisi sebagai Iname karena memiliki anak perempuan.

Atas pertimbangan inilah kemudian paca menjadi fleksibel dan lebih manusiawi.
Paca sebagai akumulasi kekurangan dapat dijelaskan sebagai berikut; pada pembicaraan mengenai besaran paca, pihak Iname akan menyampaikan renta dan Woe akan poka.
Untuk mencapai suatu titik kesepakatan, terjadi tarik ulur pembicaraan.
Renta paca yang terlalu tinggi dari pihak Iname dirasa cukup sulit untuk dipenuhi oleh Woe.
Meskipun pihak Iname telah menurunkan nilainya, namun masih juga dirasa cukup sulit oleh Woe.

Oleh karena situasi ini, Iname pun mengalah dan menetapkan batas standar yang disebut ''paka manga atau paka'' (harus bisa dipenuhi).
Paka merupakan batasan standar untuk sebuah nilai balas jasa, sehingga paca masih layak disebut paca atau oke saki masih layak disebut oke saki.

Paka adalah nilai paca yang merupakan akumulasi dari berbagai kekurangan yang ada pada pihak Woe. Bukan suatu keharusan atau pemaksaan, karena berlandas pada prinsip, jika saya berada pada posisi seperti anda saat ini.

Sebagai contoh misalnya Iname menetapkan kimpu;
*eta sekang; 15 juta jaong koe jaong mese (pembicaraan di dalam rumah mulai dari hal kecil sampai yang besar)
*wa tana; 2 kaba mose, 1 jarang, 2 kina (2 ekor kerbau, 1 ekor kuda, 2 ekor babi)
*Icing cewe agu wagal; 2 ekor kerbau.
Pihak Woe hanya mampu;
*eta sekang 10 juta, *wa tana 1 kaba, *icing cewe agu wagal 1 kaba.

Apakah hal ini sudah standar untuk dinamai paca, dengan pelaksanaan upacara perkawinan adat yang lengkap menurut perhitungan Iname??

Maka Iname membuat batasan; 10 juta, 2 kaba mose, 2 kina, 1 kaba icing cewe agu wagal.

Batasan atau paka manga ini bertujuan untuk menghindari kerugian pada Iname, tentunya dihitung berdasarkan pelaksanaan tata cara dan nominal pengeluaran.

Paka merupakan tawaran terakhir dari pihak Iname, dan jika Woe masih belum menyanggupinya, mungkin saja ada kesepakatan lain, seperti kope nggabang atau paca yang berupa wase (penundaan atau pengalihan paca ke bentuk lain).
Atau Iname mengambil tindakan tegas  untuk menghentikan kesepakatan dan pihak Woe dipersilahkan untuk pulang.

Apakah dunia begitu kejam?
Tidak juga, masih realistis, karena adat juga mengatur berbagai cara seperti diurai di depan tadi.

7. Paca adalah sebuah pengujian dan pembuktian.


Karena pernikahan adat bertujuan pande jiri mensia ata ca mongko (mendewasakan seseorang) maka tak ada salahnya untuk menguji sejauh mana kedewasaan seseorang sebelum jiri ca kilo (memilih untuk hidup berkeluarga).
Karena masyarakat adat Kempo hidup berkelompok, maka pengujian kualitas diri akan diuji oleh berbagai pihak, termasuk oleh Iname dalam prosesi adat perkawinan.

Di tahap awal, Ata tua (Orang tua) dari Reba (pemuda) yang hendak laki mantar (mengawinkan anaknya) harus bisa mengambil keputusan apakah putranya sudah mampu untuk membangun sebuah keluarga baru atau tidak. Setelah dirasa cukup mampu oleh Ata tua, pengujian berikutnya adalah oleh Iname. Salah satu bentuk pengujian tersebut adalah soal paca. Pengujian yang dilakukan oleh Iname, sebenarnya lebih ditujukan kepada pihak Woe secara keseluruhan.

Iname perlu untuk tahu kemampuan pihak laki-laki dan memastikan bahwa anaknya kelak yang akan menjadi bagian keluarga laki-laki tidak hidup melarat.
Dengan menyanggupi paca, besar kemungkinan bahwa kehidupan keluarga pihak laki-laki terlihat solid dan kompak, kecukupan ekonomi terpenuhi dan keutuhan keluarga terjaga.
Penilaian ini seharusnya tidak lari jauh dari kenyataan, karena pada intinya, paca bukanlah akal-akalan. Dengan demikian, pihak Iname merasa tenang, bahwa anak dan suaminya kelak dapat membangun sebuah rumah tangga yang baik dan akan dibimbing oleh Orang tua dan keluarga besar suaminya.

Tidak hanya sampai disitu, karena paca adalah kesanggupan yang telah disepakati, maka ketika ucapan tidak sejalan dengan kenyataan, maka hal itu dianggap sebuah pelanggaran.
Dan pelanggaran kesepakatan akan dikenai sanksi.
Sanksi bagi pihak laki-laki yang tidak mampu menyanggupi paca yang disepakati adalah kope nggabang yaitu suatu situasi dimana seorang laki-laki yang telah kawin harus tinggal dan bekerja pada pihak perempuan sebagai jaminan, hingga pihak laki-laki melunasi paca yang telah disepakati.

Dalam hal ini sangat jelas diatur, rasa dan perasaan tetap diperhitungkan, yaitu kedua insan tetap menjalani prosesi neki ca weki (perkawinan).
Dan disisi lain, kesepakatan tetaplah kesepakatan, sehingga sanksi harus dilakukan, agar menjadi pesan bahwa ketentuan adat bukanlah hal yang bisa dipermainkan.

8. Paca adalah pembicaraan adat tingkat tinggi.


Walaupun ata Kempo hidup dan dibesarkan dengan adat istiadat, namun pembicaraan dalam hal perkawinan, tidak semua orang bisa melakukannya. Butuh pembelajaran dan pengalaman, yang didapat secara otodidak, dengan turut mengambil bagian dari sebuah pembicaraan adat perkawinan.

Hanya orang-orang tertentu atau berkedudukan tertentu yang mampu dan diharuskan untuk bias dan memahami setiap lika-liku jaong kimpu (pembicaraan tentangperkawinan adat)
Misalkan saja, seorang Tua Batu (kepala klan), sesuai kedudukan dan tanggungjawabnya, harus bisa menjadi pemimpin bagi klannya, termasuk tanggugjawab untuk melaksanakan perkawinan anggota klan.
Karena perkawinan adat Kempo tidak saja mengikat antar dua insan, namun juga keluarga orang tua mereka, hingga ke tingkat klan.
Begitu juga seorang pateng (juru bicara), bukan saja sebagai letang lema laro jaong (penyambung lidah), namun juga harus bisa menyanggah, menyimpulkan dan memahami arah pembicaraan lawan bicara. Pateng juga adalah juru runding ulung, yang mempengaruhi sebuah kesepakatan, tentunya setelah berdiskusi dengan tetua yang lain.
Kesepakatan yang telah dibuat, dalam urusan perkawinan bukanlah sebuah permainan atau akal-akalan. Karena pihak-pihak atau orang-orang yang terlibat didalamnya, adalah yang telah memahami lika-liku adat. Hal ini bisa diketahui dari cara orang-orang berbicara dan mengambil keputusan.

Jika ada perubahan atau melanggar kesepakatan pada tahap ini, maka akan diketahui siapa yang tidak konsisten dan perlu untuk belajar lagi soal tata cara adat perkawinan.
Tidak hanya itu, bahkan akan dikenai sanksi pada saat itu juga, dan segera dilaksanakan sebelum pembicaraan berlanjut ke tahap berikut, atau jika pelanggaran sangat krusial, maka kesepakatan pun bisa saja dibatalkan.

Disini akan terlihat, orang yang mengerti adat istiadat, sudah pasti tidak mempermalukan dirinya sendiri dan orang lain. Karena orang yang mengerti adat, telah memperhitungkan apa untungnya berbuat seperti itu.

9. Paca merupakan kesepakatan/pembicaraan ditingkat orang tua.


Pada jaman dulu, laki mantar (mengawinkan putra) dari pihak Woe atau wai mantar (mengawinkan putri) dari pihak Iname, merupakan tanggungjawab orang tua. Dominasi orangtua dalam menentukan jalan hidup anak-anaknya masih sangat kuat. Meski dibalik itu, tentu saja ada pembicaraan antar orang tua dan anak, apakah rasa saling suka diantara mereka dilandasi rasa cinta (saat baro nai), atau karena keadaan yang mengharuskan untuk mengambil keputusan seperti itu.

Orang tua juga adalah manusia, punya rasa, punya pengalaman dan visi, apa salahnya mengarahkan dan memberi pertimbangan-pertimbangan yang logis, kalau perlu dipaksakan karena satu dan lain hal.
Calak dia'n diang agu jari laing (barangkali esok akan lebih baik).
Atau malah kita tak ingin semuanya jadi baik!

Pun halnya dalam penentuan paca, orang tua pihak perempuan mempunyai hak menentukan besaran paca atas dasar tinu (pengasuhan) yang mereka berikan kepada putrinya. Begitu juga orang tua pihak laki-laki memiliki pertimbangan untuk menyanggupi permintaan Iname, atas dasar kawe agu manga (usaha dan kesanggupan).
Dua hal yang mesti dipikirkan bersama oleh para orang tua karena mose bom puli leso ho'o, manga leso diang agu cesua (hidup tidak berakhir pada hari ini, masih ada esok atau lusa), dan hidup yang sesungguhnya adalah saat kedua insan tersebut menjadi satu keluarga.
Apa jadinya jika keluarga laki-laki menghabiskan seluruh harta dan warisannya, untuk menyanggupi paca, lalu apa modal mereka untuk memulai kehidupan keluarga baru nanti?
Orang tua yang punya pengalamn hidup, tentu sajaa tidak perlu dikasih tau tentang hal itu.
Hanya saja ada pilihan, menjadi Orangtua atau menjadi orang yang sudah tua ?

Sehingga dalam jaong kimpu, yang saling berhadapan adalah Iname (pihak perempuan) dan Woe (pihak laki_laki).  Baik Iname maupun Woe, tidak hanya sebatas orangtua (Ayah/Ibu) dari kedua belah pihak, melainkan semua kerabat luas sampai pada tingkat klan.
Jika ada pihak laki-laki yang mencoba memanipulasi keadaan, dan hendak melaksanakan perkawinan adat, dalam jaong kimpu akan terlihat. 

Misalkan saja: siapa saja hae wa’u (kerabat keturunan) terutama orang dewasa yang hadir, apakah jumlah yang datang cukup untuk menjadi saksi sebuah perkawinan dengan segala urusan pacanya.
Jika yang datang hanya satu dua orang dewasa, dan selebihnya hanya anak muda atau sekedar ikut meramaikan, Iname akan mempertanyakan hal itu.
Begitu juga ketika pembicaraan di lutur (ruang tamu) mengalami jalan buntu, maka pembicaraan akan beralih ke landong (ruang keluarga/paviliun). Pembicaraan ini diikuti oleh perwakilan keluarga dekat kedua belah pihak.
Itulah sebabnya ketentuan adat mengatur, bahwa jaong Kimpu merupakan pembicaraan di tingkat Orangtua, karena merekalah yang bertanggug jawab atas kesepakatan dan segala kosekuensi dari pembicaraan ini. 

10. Paca merupakan kesepakatan dalam ikatan persaudaraan.


Pada pembahasan awal tadi, pihak Iname disebut Nara (saudara laki-laki) oleh pihak Woe yang disebut Weta (saudara perempuan).
Di titik inilah kesepakatan yang sudah bulat, pertaruhan gengsi dan segala macam keinginan, kembali dilebur menjadi satu yang bertempat di landong (ruangan keluarga/paviliun) yaitu bagian rumah yang lebih dalam dari lutur (ruang tamu), di antara lo'ang (kamar tidur) sebelum menuju sapo/likang (perapian/dapur).

Apa yang ingin anda capai dalam hidup ini?

Itu adalah pertanyaan sederhananya, dan jawabanya ada pada saat kita dihadapkan pada dua pilihan, yang sama-sama penting untuk dipilih. Namun yang dipilih tentu saja hanya satu, atau tidak keduanya, dan mengambil keputusan diantaranya.
Bukankah perkawinan yang terjadi adalah mendewasakan dua insan, untuk hidup bersama dan melahirkan generasi baru dari bangsa manusia.
Lalu apa maksud dari generasi kita yang sekarang, berkelakuan seolah hanya generasi kita yang pantas untuk hidup ??

Persaudaraan Weta-Nara yang terlahir dari ca tuka gendo (dari rahim yang sama), menjadi anti klimaks dari pertaruhan gengsi Iname-Woe yang saling mengawinkan.
Jika pihak Iname memaksakan kehendaknya, dan membuat malu pihak laki-laki karena tak mampu melunasi paca, lalu apa untungnya hal tersebut.
Tentu saja, di satu sisi pihak Iname terangkat rang (gensi) karena menetapkan standar paca yang tinggi kepada pihak Woe.
Namun disisi lain ia mempermalukan dirinya karena memiskinkan Woe, yang notabene anak gadisnya kelak akan menjadi bagian dari kemiskinan tersebut.

Lalu apa hal besar yang mulia nan agung dari kesepakatan ini ???

Bom cai ite, bom cai hami
(anda adalah bagian dari kami, dan kami adalah bagian dari anda).
Tegi dite Nara manga lise Weta, toe manga dise Weta, sale ite Nara nai ngalis agu tuka ngengga
(Pihak Iname meminta paca, pihak Woe menyanggupi, kalupun kurang, Woe miminta pertimbangan dan kebesaran hati Iname).
Ai ite ata gendo agu tinu, hami ata kawe, toe na'a si ome manga, toe bone si ome ongko er laing holes, oe wa si keri sangger ata manga dise Weta ra
(Iname adalah pihak yang melahirkan dan membesarkan si perempuan, dan pihak Woe adalah yang mencari seorang calon Ibu, adapun permintaan Iname sebagai bentuk balas jasa pengasuhan, pihak Woe menyadari sepenuhnya sesuai kemampuannya. Jikalau memang belum semuanya terpenuhi, pihak Woe telah berusaha semaksimal mungkin, dan tidak ada niat untuk menahannya jika memang ada).

11. Paca adalah tali kasih.


Dalam pembicaraan mengenai paca dikenal ungkapan
''toe salang tuak, landing salang wae tiku tedeng'' (bukan jalan menuju pohon tuak, melainkan jalan ke sumber air minum).
Dikatakan bukan jalan ke pohon tuak, karena hubungan kekerabatan yang terjadi atas dasar perkawinan akan terus terjalin, meski orang-orang yang melakukan perkawinan tersebut telah mati (dibahas di topok lain; kapan hubungan kekerabatan Iname-Woe berakhir).
Bahkan hubungan tersebut dapat diperbaharui dengan perkawinan juga yaitu perkawinan adat tungku / tungku sai (lihat jenis-jenis perkawinan adat Kempo).
Tidak seperti jalan menuju ke pohon tuak, jika air sadapan nira telah habis, maka jalan kesana tidak akan ditelusuri lagi.

Bentuk tali kasih yang dibangun nantinya, berupa Werong ; werong laki dan werong mata.
Bentuk lain berupa icing kandi (ikut menyumbang sebagai seorang anak atau weta), bisa juga mai la'at atau wali susah (saling berkunjung; baik sekedar menghilang rindu maupun meminta bantuan).

Sehingga dalam pembicaraan kimpu akan dibuatkan pertimbangan atau semacam penundaan beberapa bagiannya untuk dialihkan ke bentuk lain yaitu saat werong nanti.
Misalnya jika kaba paca (kerbau sebagai mas kawin) belum terpenuhi, maka akan dialihkan ke werong laki nara (bagian yang menjadi tanggungan ketika saudara laki-laki si perempuan menikah nanti).

Cukup adil dan manusiawi, ata tua neka pande di'i niak data koe (para orang tua sebaiknya tidak menghalang-halangi keinginan orang muda, melainkan diarahkan ke hal yang lebih baik).
Disinilah keunikan perkawinan adat Kempo. Perkawinan dan paca tidak menghilangkan hak orang tua dan anak. Namun sangat jelas batasannya, sehingga hak dan kewajiban tetap bisa dijankan dan kehidupan terus bergulir.

12. Paca adalah sebuah pesan moral.


Meskipun pada awalnya, paca merupakan tanggungjawab Orangtua yang memiliki anak laki-laki, namun lambat laun menjadi tanggungjawab sosial.
Bisa dilihat dari komposisi paca dan sanksi bagi yang tidak mampu menyanggupi paca.
Atas dasar itulah, leluhur memberi pesan kepada generasi selanjutnya, bahwa siapa saja yang memiliki anak laki-laki, yang punya keinginan untuk hidup berumahtangga, ingatlah akan paca.
Dengan demikian, tiap orang akan bekerja keras dan berusaha sebelum memutuskan kaeng kilo (hidup berkeluarga)

Untuk memastikan hal itu bisa berjalan, maka pelaksanaan perkawinan menjadi tanggungjawab Tua batu (pemimpin klan). Begitu juga perkawinan itu sendiri, mengikat keluarga hingga ke tingkat klan.
Jadi adat telah mengatur, agar tiap orang berusaha dan berupaya untuk mencapai sesuatu.

 Meskipun komposisi paca akan dibagi kedalam bentuk warang dan werong, namun dalam pembicaraan tingkat klan, Tua Batu harus bisa mempertimbangkan kemampuan Ase-Kae,  Weta dan Inang.
Demikian pun pihak Weta dan Inang, meskipun werong tidak bisa ditolak, namun tetap diukur sesuai kemampuan.

Keterbatasan inilah yang harus disikapi oleh setiap laki-laki Kempo.
Jika tidak bisa diatasi, maka pilihan terakhir adalah menerima sanksi sebagai kope nggabang.

13. Paca adalah sistem pengendali keteraturan masyarakat.


Selain sebagai pembuktian kualitas hidup, paca juga menjadi instrumen adat istiadat untuk mencapai keteraturan sosial.
Paca tidak hanya mengatur soal balas jasa, tetapi juga tata cara penyampaian balas jasa tersebut. Meliputi status pihak-pihak yang terlibat, tata cara yang digunakan, dan konsekuensinya dimasa selanjutnya.

Bisa dibayangkan, jika Woe meminta seorang gadis kepada Iname, lewat sebuah perkawinan, lalu pihak Iname memberikan begitu saja seorang gadis, tanpa sebuah upaya untuk memastikan untuk apa anak gadis mereka diminta oleh Woe.
Orang tua macam apa yang seperti itu ???

Sementara disisi lain, manusia atau laki-laki adalah mamalia jantan yang mencari seorang gadis untuk menjadi calon Ibu yang akan melahirkan generasinya.
Jika paca tidak diatur, maka setiap laki-laki yang memiliki cukup modal untuk menyanggupi paca, mempunyai potensi besar menjadi tukang kawin. 
Mengumpulkan sejumlah perempuan untuk dijadikan istri, karena kecukupan modal.
Kehidupan macam apa seperti itu ??

Pesan:

Manusia adalah makhluk sosial yang berbudi pekerti, bukan kawanan mamalia yang hanya punya insting untuk berkembang biak. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan, dan menjadi panduan hidup berkelompok. Sehingga paca sangat mempengaruhi hidup dan cara hidup bagi Ata Kempo.

Karena perkawinan merupakan titik awal dari sebuah bentuk kehidupan yang baru, sehingga pendahulu atau nenek moyang telah meletakan dasarnya untuk kita pahami maknanya dan mejaga nilai luhurnya.
Bagi kita yang hidup di genersi sekarang, jika kita tidak lagi diberi ruang untuk menciptakan suatu tatanan budaya yang baru, merupakan hal mulia jika kita mampu menjaga dan melestarikan apa yang telah diwariskan. Lagi pula kita masih diberi kesempatan, untuk menyempurnakan semua ini, dengan berbagai hal yang ada dijaman ini, tanpa merusak nilai luhurnya.

Mengapa begitu sulit ???

Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi referensi bagi kita semua, dan menyadari dan selanjutnya menghargai, betapa adat budaya Kempo telah memiliki sistem yang sangat sempurna dalam sebuah prosesi perkawinan. 


catatan;
Neka rabo (maaf) uraian diatas mungkin belum terlalu lengkap, karena keterbatasan waktu untuk melakukan pengenalan yang mendalam.
Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.
Sekiranya masukan menjadi hal yang berharga untuk kita diskusikan…

Sabtu, 08 Maret 2014

Penyimpangan Perkawinan Adat Kempo



I. Pengantar


Perkawinan merupakan titik awal kehidupan berkeluarga bagi Wina Rona (pasangan suami istri) dan menjalani kehidupan bersama baik dalam ruang lingkup ca kilo (sebuah keluarga utuh), Ase-Kae (sanak saudara), Iname –Woe (pihak orang tua istri-pihak orang tua suami), maupun kehidupan ca natas labar komong iko (hidup bermasyarakat dalam satu kampung).
Untuk mencapai titik puncak perkawinan, neki ca weki data sua (menyatukan dua insan) harus melewati beberapa tahapan, meliputi baro nai (meminang); tuke mbaru / kaping sekang (menghadap Orang Tua pihak perempuan), toto ranga (perkenalan), taing kila (cincin pengikat) dan kawing (akad nikah).
Dalam perkawinan adat lama tahap-tahap tersebut dilaksanakan dalam waktu yang berbeda dan diatur sedemikian rupa sesuai dengan tata cara perkawinan adat yang dianut oleh orang Kempo.

II. Pengertian


Seiring berjalannya waktu, aturan yang hidup dalam masyarakat berjalan konstan, sementara pola pikir maupun pergerakan peradaban manusia bergerak dinamis. 
Perkawinan adat data Kempo dengan segenap liku, wiku agu ciku (perangkat aturannya), kadang keluar dari jalur nunga agu laseng (kebiasaan).
Berbagai upaya pun dilakukan berupa lonto cama neki ca reweng (duduk membicarakan sesuatu hal yang telah terjadi untuk mencari jalan keluarnya), sehingga akan terlihat dimana letak penyimpangannya dan bagaimana mencari jalan keluarnya, serta memutuskan bentuk sanksi adat.
 Penyimpangan perkawinan adat Kempo yang dimaksud adalah berupa sebuah tindakan atau perlakuan yang keluar dari jalur kebiasaan dan tata cara yang dijunjung dan dihormati oleh masyarakat adat Kempo. 
Bentuk penyimpangan perkawinan adat, ada yang sifatnya tidak merugikan atau dalam bentuk pengalihan, dan ada pula yang merusak tatanan nilai kehidupan berbudaya.
Meski hanya berupa penyimpangan perilaku atau tata cara, namun penerapan sanksi tetap dilakukan, bahkan jika perlu dilakukan sebuah restorasi berupa ritual adat yang besar.

III. Bentuk-bentuk penyimpangan Perkawinan Adat Kempo - Manggarai


 Dilihat dari akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan maupun kelalaian, penyimpangan perkawinan adat data Kempo dibagi dalam beberapa bentuk antara lain;

A. Wendo / wa lusi (membawa lari anak gadis orang)


Wendo terdiri dari dua kata yaitu we’e (pulang ke rumah; biasanya setelah bekerja seharian di kebun) dan ndo’o (disini; dirumah laki-laki). Sedangkan wa (membawa), lusi (kabur).

Wendo atau wa lusi adalah membawa pulang ke rumah seorang Molas (gadis) oleh seorang Reba (pemuda) setelah masa pelarian dari rumah orang tua si gadis.
Wendo merupakan tindakan penyimpangan yang ringan dari segi tata cara perkawinan adat di tahap awal yaitu tidak mengindahkan restu Orang Tua si gadis atas rasa saling suka antara Reba dan Molas.
Tahap sebenarnya yang harus dilewati dulu adalah baro nai, namun karena suatu kondisi maka pasangan Reba-Molas mengambil keputusan sepihak yaitu wendo.
Wendo bisa juga diartikan sebagai sebuah kesimpulan untuk menjawab segala tata cara yang terlalu panjang lewat sebuah tindakan yang instant.
Wendo menunjukan betapa cinta kasih menembus batas dan ruang, sekaligus menyimpulkan segala bentuk penjabaran tentang rasa dan perasaan.

Meski wendo merupakan sebuah bentuk penyimpangan yang disengaja atau terencana, namun tetap memiliki aturan didalamnya, yaitu;
  1. Di pihak keluarga perempuan / Molas,
    biasanya salah satu anggota keluarga entah paman, bibi, kakak atau nenek pasti telah mengetahui hal tersebut dan merestui ikatan kasih sayang mereka. Sehingga Wendo/wa lusi diatur sedemikian rupa, artinya informasi yang telah diketahui oleh salah satu anggota keluarga, tidak serta merta dilaporkan ke Orang Tua si gadis, tetapi ditahan sementara sambil memperkirakan jauhnya jalan yang mereka tempuh menuju kampung si pemuda. Hal ini dilakukan untuk menghindari upaya pencegatan oleh Orang Tua si gadis yang tidak setuju dengan hal tersebut.
  2. Sedangkan jika tak ada satupun anggota keluarga yang mengetahui hal tersebut, Reba atau Molas akan menitipkan pesan kepada orang lain yang dijumpai dalam perjalanan dan akan melewati kampung Orang Tua si gadis bahwa anak gadis mereka dalam perjalanan wendo.
    Dan setelah mengetahui peristiwa tersebut, pihak Orang Tua si Molas beberapa hari kemudian akan mengutus satu atau dua orang ke kampung si Reba untuk mo tulak (mencari) dan memastikan kebenaran berita tersebut. Jika sesampainya di kampung si Reba, hal itu memang benar maka akan dibicarakan hal selanjutnya sesuai pesan Orang Tua si gadis, yaitu segera menghadap Orang Tua si Molas dan melakukan lamaran secara resmi.
  3. Di pihak keluarga laki-laki / Reba,
    kadang upaya wendo sudah direncanakan sehingga ketika si Reba pulang bersama si Molas, sesegera akan dilakukan penyambutan oleh pihak Orang Tua berupa wedi ruha (menginjak sebutir telur yang diletakan di depan pintu masuk rumah) sebagai tanda menjadi bagian dari keluarga si Reba.
  4. Namun jika wendo yang terjadi tidak diketahui oleh kedua Orang Tua dari Reba dan Molas, maka sesampai di kampung si Reba, setelah acara penyambutan selesai maka pihak Orang Tua si Reba menanyakan proses wendo yang terjadi. Jika Orang Tua si Molas belum mengetahui hal itu, atau sudah mengetahui tetapi belum juga muncul pihak keluarga yang mencari si Molas, maka sesegera seorang anggota keluarga dari si Reba akan diutus ke kampung Orang Tua si gadis untuk memberitahukan peristiwa tersebut. Dan membawa pesan Orang Tua si Reba mengenai kapan mereka akan datang melamar secara resmi.
    Semua hal ini dilakukan untuk mencegah agar wendo tidak terkesan sebagai sebuah pemaksaan kehendak atau seperti sebuah penculikan.
Sanksi dari wendo dikenakan denda kepada pihak keluarga si Reba nantinya disaat tuke mbaru agu toto (lamaran resmi). Denda bisa berupa seekor babi atau uang pengganti yang dinamakan weong weleng.
Weong weleng bisa diartikan sebagai pengganti rasa sedih dan kelelahan mencari anak gadis yang telah wendo bersama si Reba. Bagi pihak keluarga si Reba pun akan menyadari hal itu, dan mempersiapkan segala sesuatunya.
Jika di tahap awal telah terjadi wendo dan wedi ruha maka di tahap akir nanti yaitu padong (menghantar si gadis ke rumah laki-laki) tidak dilakukan lagi, karena telah tergantikan oleh denda berupa weong weleng.


B. Kope Nggabang (Tak Mampu Melunasi Paca / Mas Kawin)


Kope nggabang terdiri dari dua kata kope (parang) dan nggabang (ukuran yang lebih besar). Kope nggabang berarti parang yang ukurannya sangat besar yang penggunaannya sangat jarang.
Dalam adat perkawinan, kope nggabang adalah suatu situasi dimana seorang pemuda yang kawin dengan seorang gadis, namun pemuda atau Woe (pihak Orang Tua pemuda) belum mampu melunasi permintaan paca (mas kawin), dari pihak Iname (pihak Orang Tua gadis), sehingga sebagai jaminan untuk pelunasan paca maka pemuda tersebut diharuskan tinggal dan bekerja pada keluarga Orang Tua si gadis, hingga keluarga pemuda tersebut melunasi kekurangan paca tersebut.

Dalam perkawinan adat Kempo dan Manggarai umumnya dikenal istilah paca yaitu mas kawin berupa sejumlah nilai (uang), atau barang pengganti, atau hewan ternak yang diminta oleh pihak Iname kepada Woe. Paca adalah penentu awal (pengujian yang dilakukan oleh pihak Iname) kepada seseorang laki-laki, apakah ia telah mampu menghasilkan dalam kerja atau belum.
Dalam menentukan paca ada batasan yang wajar, dan selalu ada negosiasi antar kedua belah pihak untuk dirundingkan secara kekeluargaan, dan ada tawaran sebagai solusinya.
(untuk detailnya akan dibahas di topik lain…)
Namun ketika semua cara telah ditempuh, tetapi pihak Woe masih belum sanggup untuk melunasi paca, maka jalan keluar terakhir adalah kope nggabang.
Dalam hal ini, meski Reba-Molas telah sah menjadi suami istri menurut hukum adat namun si perempuan tidak padong (diantar) ke rumah si pemuda, karena kekurangan pihak Woe tadi.

Seorang laki-laki beristri yang menyandang predikat sebagai kope nggabang, sebenarnya merupakan sebuah sanksi atas kelalaian semasa muda, kurang bekerja keras sampai-sampai untuk melunasi paca yang merupakan balas jasa pengasuhan kepada Iname saja tidak mampu, apalagi menyanggupi kebutuhan rumah tangganya kelak. Dalam masa menjalani kope nggabang, seorang laki-laki akan bekerja dibawah pengawasan Orang Tua istrinya.
Seharusnya sebagai seorang Rona (suami), laki-laki beristri akan dihitung sebagai ca kope (satu keluarga). Kope (parang) diartikan sebagai lambang kekuatan / keberanian / tanggungjawab sebagai seorang laki-laki yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Namun karena belum melunasi paca maka ia akan dihitung sebagai kope nggabang yang artinya, di pihak keluarga Orang Tuanya sendiri ia telah dihitung sah sebagai ca kope, dengan beban tanggungjawab yang sama dengan sanak keluarganya yang telah beristri, dan di sisi lain ia hanya bekerja di bawah pengawasan Orang Tua istrinya.
Tentu saja ia belum bebas mengusahakan sesuatu, dan bekerja ekstra keras untuk memenuhi dua beban tanggungjawab yang diembannya sekaligus.
Oleh karena dua hal itulah seorang laki-laki beristri disebut kope nggabang, yaitu satu kope yang utuh / tetap ditambah satu kope sementara, menjadi kope nggabang. 
Sanksi adat seperti ini tidak hanya berpengaruh pada komitmen untuk bekerja keras lagi nantinya, namun juga berdampak pada moral keluarga menjadi taruhannya, sehingga setiap laki-laki yang memiliki niat untuk hidup berkeluarga harus mempersiapkan diri secara matang, baik fisik maupun mental juga dari sisi manga (modal; berupa nilai uang atau hewan ternak).
Jika tidak, ia akan membayar mahal atas kelalaianya selama lonto Reba (masa muda), karena harga diri adalah hak asasi tertinggi, namun apa jadinya kalau tidak dijaga.

C. Lonto One (Tinggal Bersama Mertua)


Lonto (duduk) one (dalam) merupakan suatu situasi, dimana seorang laki-laki yang telah resmi kawin dengan seorang perempuan, namun karena satu dan lain hal, Toa (Mertua / Orang Tua istri) meminta pasangan suami istri tersebut tinggal bersama mereka.

Keadaan seperti ini biasanya terjadi pada perkawinan, dimana si perempuan merupakan mantar leca (anak tunggal / putri tunggal), atau si perempuan tidak memiliki saudara laki-laki kandung, atau Orang Tua si perempuan telah berusia lanjut. .
Bisa juga dari sisi laki-laki yaitu dimana laki-laki tersebut tidak lagi memiliki keluarga dekat, atau laki-laki yang berasal dari tempat jauh, yang kemungkinan untuk datang menjenguk mertuanya sangat kecil.
Jadi tujuan mereka diminta untuk tinggal bersama Mertua adalah untuk tinu (merawat) dan kabang (menanggung) kehidupan mereka, dan biasanya si laki-laki akan dianggap sebagai anak oleh mertuanya.

Jika seorang laki-laki memenuhi permintaan Orang Tua si perempuan, biasanya dalam hal paca (mas kawin) tidak terlalu dituntut, dan diberi berbagai kemudahan.
Sebenarnya tidak terjadi masalah apa-apa dalam hal ini, hanya saja proses adat perkawinan selanjutnya yaitu padong (menghantar) si perempuan ke rumah suaminya, dilaksanakan secara seremonial saja yaitu padong lonto (acaranya dilakukan ditempat saja) tanpa harus pergi ke rumah laki-laki.
Dengan tidak dilakukan padong yang semestinya, otomatis proses adat perkawinan yang lainnya tidak jadi dilakukan, seperti curu (penyambutan) di kampung laki-laki, wedi ruha (menginjak telur) yaitu ritual untuk memasuki rumah laki-laki untuk pertama kalinya, wa’u wae (turun ke tempat pemandian untuk pertamakali) bagi pasangan yang telah sah menjadi suami isteri, dan paki manuk wina rona (menyembelih sepasang ayam) sebagai pemberitahuan kepada warga kampung si laki-laki bahwa mereka telah sah menjadi suami istri baru dan sah menjadi ca kope kampong (diakui menjadi satu keluarga utuh dalam satu kampung), mungkin dilakukan di rumah si perempuan, tui roto niang (pembagian warisan) belum bisa dilakukan.

Sebelum si perempuan belum melakukan acara wedi ruha di rumah suaminya, dia belum boleh mengunjungi rumah Inang/Amang (Ayah/Ibu suaminya) dalam keadaan apapun, karena secara adat dia belum termasuk bagian dari rumah tersebut, meski di sisi lain dia merupakan istri sah dari anggota penghuni rumah tersebut. Begitu juga istri dan anak-anak, belum sah sebagai warga kampung suaminya.
Karena banyaknya konsekuensi yang harus diterima jika seorang laki-laki memutuskan untuk lonto one, terkadang beberapa proses yang disebutkan diatas tadi tetap dijalankan namun ala kadarnya saja. Misalnya padong tetap dilakukan namun sekedar tau ita beo (agar si perempuan tahu dimana kampung suaminya), dan pihak Iname (keluarga Orang Tua si perempuan) tidak ikut mengantar, mungkin hanya diutus satu atau dua orang saja untuk menemaninya.
Namun ketika si laki-laki tetap melakukan padong, curu dan wedi ruha, konsekuensi berikutnya adalah dia harus tetap bertanggungjawab atas segala tanggungan yang merupakan kewajiban sebagai bagian dari kope kampong, meski dia tidak tinggal di kampung tersebut. Hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan untuk menjaga kemungkinan yang terjadi di kemudian hari, misalnya jika belum melakukan padong dan wedi ruha, ketika terjadi musibah misalnya istri atau anaknya meninggal, tidak boleh dikuburkan di kampung tersebut.
Begitu juga jika ada pembagian lahan baru, si laki-laki akan dihitung kope Reba (anak muda) sehingga tidak mendapat jatah.
Untuk mengatasi kemungkinan seperti itu, maka si laki-laki harus menanggung dua tanggungjawab di dua kampung, atau harus memilih salah satunya.

Di kampung istrinya untuk menjadi kope kampong, si laki-laki akan diangkat menjadi anak oleh mertuanya, dan diberitahukan ke Tua Golo (Kepala kampung). Dengan menjadi warga kampung istrinya, segala sesuatu yang menjadi kewajiban bersama harus dijalankan.
Namun ada satu hal yang menjadi tidak jelas, dan menjadi polemik di kemudian hari bahkan bertentangan dengan hukum Negara yaitu soal status kepemilikan warisan mertua. Meski diakui secara adat, si laki-laki telah menjadi anak bagi mertuanya, namun status kepemilikan warisan tidak melekat padanya, dan hal ini banyak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Karena sistem perkawinan orang Kempo / Manggarai adalah patrilineal dimana istri mengikuti garis keturunan suami, dengan demikian hak waris jatuh ke tangan Nara (saudara laki-laki istri),  baik nara decuk (saudara laki-laki  kandung) maupun Nara ca batu (saudara laki-laki dalam satu klan).
Sehingga keberadaan mereka di kampung tersebut tidak menjamin untuk menjadi penduduk tetap, kecuali ada hal-hal khusus yang menguatkannya. 


D. Olo Manga Ici (Hamil Diluar Nikah)


Sebagaimana aturan yang diterapkan oleh Orang tua dan berlaku umum bagi Ata Kempo pada jaman dulu, bahwa seorang anak gadis tidak boleh sering terlihat di muka umum kecuali untuk hal-hal yang penting saja, karena tempat mereka berada adalah seputar sapo (dapur) dan landong (paviliun).
Ata Kempo menjunjung tinggi kehormatan kaum perempuan, sampai-sampai menatap seorang perempuan secara tidak wajar dihitung sebagai wico mata (pelanggaran norma oleh penglihatan) dan bisa dikenai bowo (denda). Sebuah pemahaman umum bahwa Ata Ingwai (perempuan) merupakan mahkota keluarga, martabat sebuah keluarga ditentukan oleh perilaku kaum perempuan dari keluarga tersebut. Dan harga diri kaum laki-laki ditentukan oleh bisa tidaknya menjaga mahkota keluarga tersebut. Apalah arti sebuah takhta (kehormatan kaum laki-laki) jika mahkotanya telah rusak.

Seorang mantar wai (anak gadis) diibaratkan mawo lebo (padi yang sedang menghijau), rentan terhadap hama yang merugikan pemilik kebun dan menarik perhatian kaba lambar (kerbau liar). Oleh karena itu keberadaannya sangat dijaga, dibimbing dan diajarkan nilai-nilai luhur adat istiadat.
Dan bagi para Reba (Pemuda), jangan sekali-sekali mengganggu anak gadis orang dengan perlakuan yang tidak senonoh, karena bisa-bisa dihajar oleh Nara (saudara laki-laki). Kemana pun dan dimana pun seorang Weta (saudara perempuan) dianggap sebagai cama nu Ine / cilu ranga de Ine (diperlakukan layaknya seorang Ibu).
Seorang mantar wai (anak perempuan) layak mendapatkan semua perlindungan dari kaum laki-laki, bukan saja karena sebagai makhluk yang lemah, tetapi juga demi menjaga rang (kehormatan) kaum laki-laki. 
Manakala suatu saat nanti ketika menjadi seorang Molas (gadis) dan dilamar oleh seorang laki-laki, pihak Orang Tua tidak segan untuk memasang semua liku-liku adat, karena anak gadis mereka pantas untuk mendapatkan paca / mas kawin yang mereka tentukan kepada pihak laki-laki.

Namun apa jadinya jika seorang anak gadis melakukan perbuatan yang menjatuhkan harga diri keluarga terutama kaum laki-laki, semua perlindungan berubah menjadi hukuman.
Bentuk fisik dan gerak gerik seorang perempuan, bagi orang tua gampang sekali untuk dibaca, apalagi seorang gadis yang telah hamil, dengan penglihatan sekilas saja beberapa Orang Tua tahu seorang perempuan telah hamil dan bahkan sedetail berapa usia kehamilannya. Itulah kemampuan alamiah orang kampung yang sampai sekarang pun beberapa orang masih memilikinya.
Dulu belum ada undang-undang perlindungan anak dan perempuan, jadi anak gadis yang melanggar aturan keluarga akan dihukum, dan kesalahan yang dibuatnya juga berimbas kepada perempuan lain yaitu Ibunya. Seorang anak gadis yang melakukan kesalahan akan ditimpakan juga kepada Ibunya, karena Ibunya dianggap tidak mampu mendidik dan menjaga anak gadisnya. Dan kesalahan semua kaum perempuan merupakan kegagalan kaum laki-laki menjaga dan mendidik kaum perempuannya.
Jadi atas dasar inilah kaum laki-laki mengambil tindakan tegas ketika seorang  perempuan berbuat kesalahan.
Terlebih jika anak gadis tersebut olo manga ici (hamil diluar naikah), bagaimana bisa terjadi sementara kebanyakan waktunya dihabiskan dirumah bersama dengan Ibu dan kaum perempuan lainnya.

Jika hal demikian terjadi, maka satu-satunya cara adalah memaksa anak gadis tersebut untuk mengaku siapa yang telah menghamilinya.
Jika dia seorang Reba (pemuda) maka langkah berikutnya adalah menghadap Orang Tua pemuda tersebut dan menanyakan kebenarannya dan meminta pertanggungjawaban mereka.
Disinilah harga diri kaum laki-laki dipertaruhkan oleh sebuah kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak gadis, dengan sisa-sisa keberanian mereka masih tetap memperjuangkan status kaum perempuan di keluarganya.
Jika si pemuda dan orang tuanya bertanggungjawab maka untuk proses adat selanjutnya hingga sampai ke perkawinan akan terasa kabi koba (asal dijalankan saja) demi untuk tadu ranga / cimu ritak (menutupi aib) dan beberapa tahapan akan disatukan saja semisal langsung salang telu ; tuke mbaru, taing kila, dan toto ranga (tiga tahapan disatukan yaitu pinangan sekaligus lamaran resmi) dan tinggal menentukan waktu untuk melangsungkan perkawinan.

Dan masalah akan semakin runyam jika yang menghamilinya adalah orang yang telah memiliki istri, bisa dibayangkan betapa berat urusan yang harus diselesaikan oleh kaum laki-laki. Seperti apapun bentuk pengekangan dan bentuk pengawasan Orang tua terhadap putri-putrinya, selalu ada situasi yang memperburuk suasana.
Dan biasanya kaum perempuan yang menciptakan berbagai masalah seperti ini baru akan sadar setelah semuanya terjadi, dan penyesalan adalah hal yang kurang berpengaruh untuk menjaga nilai dan norma.
Sampai saat ini, masalah seperti ini masih terus terjadi dan malah semakin sering terdengar, entahlah siapa yang salah semoga saja kaum perempuan semakin lebih bisa menghormati dirinya sendiri ketimbang menciptakan masalah bagi orang lain. Dan bagi kaum laki-laki, butuh pengawasan dan kesepakatan umum di bidang adat untuk menghukum laki-laki yang melakukan tindakan yang merugikan kaum perempuan, karena hukum negara kurang menguatkan.

E. Tungku Ingkoe atau tungku Wote (Kawin Dengan Bibi atau Keponakan)


Tungku sai atau tungku adalah jenis perkawinan adat yang memperbaharui kembali hubungan kekerabatan antara Iname/Iname sai (pihak keluarga Ibu/Nenek) dengan Woe/Woe manga (pihak keluarga Ayah/Kakek ) dalam ikatan perkawinan, yang telah didahului oleh ikatan perkawinan di tingkat sebelumnya yaitu di tingkat Ayah atau Kakek dari pihak laki-laki.
Tungku sai idealnya adalah perkawinan antara seorang Reba (pemuda) dengan seorang Molas (gadis) yang merupakan mantar ingwai (anak perempuan) dari Toa (Nara / saudara laki-laki Ibu si Reba), jadi disini Ibu dan Toa merupakan saudara kandung.
Atau tungku neteng nara dimana Molas merupakan anak perempuan dari nara Ase-Kae (saudara sepupu Ibui yang masih ca Batu (satu klan) dengan Toa, jadi di sini Ibu dengan Toa merupakan saudara sepupu.
Reba akan memandang Molas sebagai mantar wai de Toa / wina tungku (perempuan yang sudah pasti bisa dikawinkan jika terjadi tungku / istri pusaka), dan Molas akan memandang Reba sebagai mantar ata rona de Inang / Rona Pusaka.
(…..lihat; Jenis-Jenis Perkawinan Adat Data Kempo - Manggarai)

Namun karena satu dan lain hal, tungku sai memiliki alternatif lain yaitu tungku Ingkoe atau tungku Wote.
Tungku ingkoe merupakan alternatif ketika Molas/Wina Tungku dari tingkat sejajar mantar wai de Toa sudah tidak ada lagi atau masih kecil maka tungku akan naik satu tingkat di tingkat sejajar Ibu yaitu tungku Ine koe / Ingkoe (kawin dengan bibi), atau jika satu tingkat diatas masih belum bisa, maka akan turun satu tingkat di bawahnya di tingkat sejajar Wote yaitu tungku Wote (kawin dengan Menantu).
Perkawinan tungku seperti ini tetap memiliki batasan yaitu jika terjadi tungku Ingkoe, si Molas bukanlah Ase decuk (adik kandung) dari Ibu si Reba, melainkan Ase-Kae ca Batu (saudara sepupu Ibu dalam satu klan).
Dan pada tungku Wote, si Molas bukanlah mantar wai (anak gadis) dari Kesa decuk (saudara      kandung istri kakak si Reba), melainkan dari Kesa ca Batu (kakak Ipar sepupu dalam satu klan).

Tungku Ingkoe atau tungku Wote merupakan tungku yang dipaksakan, artinya kedudukan si Reba dan si Molas tidak berada pada level yang sejajar.
Pada tungku Ingkoe, seorang Molas berada pada level sejajar dengan Ibu si Reba, sehingga si Ingkoe akan memandang si Reba sebagai anaknya juga dan si Reba akan memandang si Ingkoe sebagai Ibunya.
Namun karena terjadi perkawinan tungku dalam hal ini posisi si Reba di mata Orang Tua si Molas akan naik satu tingkat menjadi sejajar dengan Ayahnya, karena seorang Reba yang tungku dengan Ingkoe seharusnya selevel dengan Ayah si Reba, dan posisi si Ingkoe di mata Orang Tua si Reba turun satu tingkat.
Sedangkan pada tungku Wote, seorang Reba berada sejajar dengan Ayah si Molas, sehingga si Reba akan memandang si Molas sebagai Wote dan si Wote akan memandang si Reba sebagai Amang (Ayah Mantu).
Namun karena terjadi tungku, maka posisi si Reba di mata Orang Tua si Molas turun satu tingkat sejajar dengan anaknya, karena seharusnya anaknya kelak yang melakukan tungku,  dan posisi si Molas di mata Orang Tua si Reba naik satu tingkat sejajar dengan Ibunya.

Untuk menyeimbangkan kedudukan antara Reba dan Molas agar pehe (boleh) untuk kawin silang maka dilakukan ritual cilu benta (mengganti cara penyebutan / cara memanggil).
Ritual ini dilakukan ketika acara akad nikah selesai, sebelum padong (menghantar si Molas ke rumah si Reba), dilakukan di hadapan Iname (pihak Orang Tua si Molas) dan Woe ((pihak Orang Tua si Reba), bahan yang dipersiapkan oleh pihak Reba adalah lipa (sarung) maupun tuak.

Perubahan cara penyebutan karena perkawinan tungku adalah;
  1. Pada Tungku Ingkoe:
    -Reba akan memanggil Orang Tua si Molas dengan sebutan Toa (Mertua) dari sebelumnya Empo (Kakek/Nenek), sebaliknya Orang Tua si Molas memanggil si Reba dengan sebutan Koa (Menantu) dari sebelumnya empo (cucu).
    -
    Reba akan memanggil saudara si Molas dengan sebutan Kela (Besan) dari sebelumnya Toa, sebaliknya saudara si Molas akan memanggil si Reba dengan sebutan Kesa (Besan) dari sebelumnya Koa.
    -Molas akan memanggil Orang Tua si Reba dengan sebutan Inang/Amang (Ayah/Ibu Mantu) dari sebelumnya Rona Tua/Kae (Kakak Ipar), sebaliknya Orang Tua si Reba akan memanggil si Molas dengan sebutan Wote (Menantu) dari sebelumnya Wina Koe/Ase (Adik Ipar).
  2. Pada Tungku Wote:
    -Reba akan memanggil Orang Tua si Molas dengan sebutan Toa dari sebelumnya Kela, sebaliknya Orang Tua si Molas akan memanggil si Reba dengan sebutan Koa dari sebelumnya Kesa.
    -Reba akan memanggil saudara si Molas dengan sebutan Wina Koe/Ase dari sebelumnya Wote, sebaliknya saudara si Molas memanggil si Reba dengan sebutab Rona Tua/Kae dari sebelumnya Amang.
    -Molas akan memanggil Orang Tua si Reba dengan sebutan Inang/Amang dari sebelumnya Empo, sebaliknya Orant Tua si Reba akan memanggil si Molas dengan sebutan Wote dari sebelumnya empo. 
Perubahan cara penyebutan ini kadang berlaku hanya untuk Reba atau Molas yang bersangkutan dengan kedua pihak Orang Tua, kadang juga berlaku bagi saudara-saudaranya, namun karena tidak biasa, beberapa cara penyebutan diubah dengan penyebutan secara umum saja, seperti Kraeng Tua untuk memanggil orang yang sebaya Orang Tua dan sebutan anak untuk memanggil orang yang sebaya dengan anaknya.
Tujuannya untuk menghilangkan rasa segan dan rasa tidak enak untuk menyapa dan memanggil oleh karena perubahan kedudukan yang terjadi, selain itu juga untuk menghindari segala kemungkinan yang terjadi karena perkawinan yang terjadi berada pada batasan yang terlalu dekat dengan hubungan darah.


E. Kope Sua / Wina Sua (Beristri dua / Poligami)


Sejatinya perkawinan adalah pande neki ca ata sua (menyatukan dua insan) dalam ikatan perkawinan yang didasari oleh rasa cinta satu sama lain.
Namun kehidupan yang dinamis kadang menarik perhatian sebagian kecil orang untuk melangkah keluar dari kebiasaan tersebut.
Memiliki istri lebih dari satu bukanlah hal yang main-main atau sesuka hati, namun lebih kepada cara pandang orang tersebut terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya dan bertanggungjawab atas keputusannya tersebut.
Meski batasan untuk memiliki hanya satu istri dalam adat Kempo, tidak dibuat dalam kesepakatan bersama tetapi setiap orang secara alamiah akan mencarikan seorang hae hese (pendamping hidup) dan menjalani hidup bersama pasangannya.
Perkawinan adat Kempo juga mengenal istilah paca (mahar/mas kawin) yang akumulasinya bisa dibilang cukup bernilai besar, dan proses untuk mencapai sebuah perkawinan membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran yang ekstra.
Jadi untuk melangsungkan perkawinan yang hanya sekali seumur hidup saja begitu sulit apalagi memikirkan untuk kedua kalinya.
Bentuk penyimpangan perkawinan ini meliputi dua jenis perkawinan yaitu;
  1. Kope sua (beristri dua)
    Kope sua yang dibahas dalam penyimpangan perkawinan adat Kempo kali ini adalah laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu orang dan semuanya memiliki status istri sah serta semuanya masih hidup. Bukan laki-laki yang ata mata wina (duda), karena bentuk perkawinan oleh seorang duda bukanlah penyimpangan.
    Pada perkawinan kope sua akan ditekankan tanggung jawab yang lebih pada laki-laki karena memiliki istri lebih dari satu. Pada beberapa kasus, mungkin hanya pada istri pertama saja keterlibatan Ase-Kae (sanak saudara) dalam bentuk warang laki (pengumbulan barang atau barang pengganti untuk acara perkawinan), sebagai modal paca/belis. Sementara untuk perkawinan kedua / istri kedua menjadi tanggungjawab sendiri orang yang bersangkutan, keterlibatan Ase-Kae hanya sebatas pada bagian tertentu karena keputusan untuk kawin yang kedua diluar kesepakatan bersama.
    Jika pada perkawinan yang kedua, si laki-laki menginginkan istri keduanya menjadi istri sah dan diterima oleh Ase-Kae, maka ia akan dihitung sebagai kope sua (dua keluarga/istri dengan satu kepala keluarga). Dalam kehidupan ca Batu (satu klan) ia bertanggungjawab atas segala kewajiban yang dibebankan dua kali kepadanya, misalnya untuk kumpul warang ia dihitung dua kepala keluarga. Demikianpun jika ada werong (sejumlah permintaan pihak orang tua istri untuk disumbangkan) ia bertanggungjawab atas dua Iname. Jika ia berstatus kope sua dan menjalani semua kesepakatan bersama Ase-Kae, kedua Iname tersebut juga akan diakui oleh Ase-Kae.
  2. Ligeng Kabo (istri siri)Perkawinan jenis ini merupakan limpahan keberuntungan seorang laki-laki, dimana istri kedua dalam istilah kasarnya merupakan pemberian gratis oleh Iname sebagai pengganti peran istri pertama. Dalam mendapatkan istri kedua seorang laki-laki akan membicarakannya dengan pihak Iname, apa yang menjadi permasalahan dalam kehidupan keluarganya, dan meminta seorang adik atau sepupu istrinya untuk menjadi istri keduanya. Memang tidak segampang itu, perlu pertimbangan matang dari Iname dan alasan yang paling mendasar dari kehidupan keluarga si laki-laki. Jika semuanya mencapai kata sepakat, istri kedua pun didapat tanpa menanggung paca/mas kawin lagi.
    Demikianpun dalam kehidupan Ase-Kae si laki-laki, tetap akan dihitung ca kope (satu keluarga), meski kenyataannya ada dua istri, karena istri kedua berasal dari Iname yang sama, ditambah dengan alasan mendasar dari perkawinan pertamanya semisal toe manga beka (mandul/tidak memiliki keturunan).
Dari dua jenis perkawinan tersebut bukan tidak mungkin akan melahirkan sebuah konflik baru di masa mendatang baik dalam lingkup ca kilo maupun dalam lingkup Ase-Kae ca Batu.
Permasalahan yang timbul biasanya pada keharmonisan kehidupan rumah tangga, terjadi persaingan antara istri pertama dan kedua, sehingga munculah istilah baru wina tua dan wina molas / wina olo wina te sua (istri pertama dan istri kedua). Mengharmoniskan tiga insan tentu dibutuhkan talenta khusus, karena laki-laki yang demikian bukan saja seorang lalong (jago / ayam jantan) tetapi lalong kador (ayam jantan pemberani).
Masalah lain yaitu menyangkut pembagian warisan kepada keturunannya kelak, keturunan dari istri pertama pasti memiliki ego sebagai anak dari istri pertama namun di sisi lain tuntutan hak yang sama dilakukan oleh keturunan dari istri kedua. Hal semacam inilah yang melibatkan semua Ase-Kae ca Batu untuk mencari jalan keluar sebagai penyelesaiannya, jika semuanya akur tentu tak masalah namun jika tidak ada yang mau mengalah masalah akan terus berlanjut di  masa-masa mendatang.


F. Taing Lipa Wengko (Melimpahkan Tanggungjawab Sebagai Suami)


Tidak banyak yang tahu istilah ini, karena menyangkut privasi kelangsungan dan keharmonisan kehidupan rumah tangga diantara keluarga yang memiliki hubungan keluarga yang sangat dekat.
Taing lipa wengko adalah sebuah kerelaan dan ketulusan hati seorang laki-laki, yang melimpahkan tanggung jawabnya sebagai suami kepada orang lain, untuk mendapatkan keturunan dari istrinya.
Hal ini butuh pembuktian yang panjang, dimana seorang laki-laki akan menyadari seutuhnya kekurangan dalam dirinya, dan meminta bantuan orang lain tentunya setelah mencapai kata sepakat dengan hae hese (istrinya). Dalam hal ini orang yang dituju biasanya Ase (Adik) atau Kae (Kakak) yang masih memiliki garis keturunan yang sama untuk menggantikan perannya.
Di bagian lain, Ase atau Kae yang menggantikan perannya belum tentu sebegitu gampang menerima tanggungjawab tersebut.
Pembicaraan ini sangat rahasia, dan tidak banyak yang tahu bahkan mungkin tidak ada orang lain yang tahu selain orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut.
Lipa wengko (sarung yang biasa dipakai seseorang ketika tidur), merupakan bentuk privasi tertinggi dalam keintiman kehidupan rumah tangga, akan diserahkan kepada orang lain.
Pertimbangan yang matang, serta mengalir dalam keheningan sebagai satu darah yang sama, dan jangan sampai jatuh ke tangan yang salah, itulah mengapa istilah ini tidak pernah popular.

Mengapa harus memilih cara seperti ini ?
Tujuan perkawinan secara sederhana adalah kawe beka (untuk melanjutkan keturunan), namun karena suatu kondisi sehingga tidak dapat melahirkan keturunan sementara di sisi lain ukuran kejantanan seseorang adalah dapat melanjutkan keturunan, lagi pula jumlah manusia di jaman itu masih sedikit sehingga kelahiran seorang anak sangat dinantikan.
Meski taing lipa wengko merupakan cara yang tidak biasa, namun hal itu merupakan sebuah pilihan keputusan yang tidaklah mudah, sebuah kerelaan bernilai kemanusiaan atau sangat sulit mengartikannya, ketimbang membiarkan diri berada dalam situasi tidak pasti.
Walau ada pilihan lain yaitu berusaha semaksimal mungkin untuk mencari pengobatan, karena beberapa pengobatan tradisional orang Kempo lebih manjur ketimbang pengobatan medis.
Atau pilihan lain yaitu tetap hidup rukun bersama, dan mengadopsi anak dari saudara dan ketika semuanya telah tiada akan disebut toe manga wae na (tidak memiliki keturunan).
 Pada bentuk penyimpangan perkawinan ini, jika kesepakatan tersebut melahirkan generasi baru, kerahasiaan ini tetap berlanjut dan jarang ada yang menceritakannya. Namun beberapa kasus, kerahasiaan ini haruslah dibongkar untuk sesuatu tujuan hinga sesuatu yang tak diharapkan benar-benar terjadi.
Kehidupan selalu penuh misteri, kita tak pernah tahu bagaimana kita bisa ada sampai sebesar seperti sekarang, semua yang tahu akan hal tersebut telah pergi dan apakah kita harus memperkarakannya ? Misteri taman eden ???

    G. Jurak (Kawin Dengan Saudara Sendiri)


    Manusia jatuh ke dalam pencobaan, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan peristiwa seperti ini. Bagi orang Kempo, nilai luhur kemanusiaan diajarkan sejak kecil, perempuan merupakan hae hese (pendamping hidup) namun sangat jelas batasan silsilah keluarga dan hubungaan kekerabatan. Hal inilah yang bisa mengelompokan kaum perempuan sebagai Weta (saudara perempuan), Weta laing (saudara perempuan karena hubungan kekerabatan)
    Wote Ingwai (anak mantu perempuan), Koa Ingwai (keponakan perempuan) Ine (Ibu ), Ine Koe/Ingkoe (Bibi) , Ine Tua/Intua (Bude/Mama Tua) Empo Ingwai  (Nenek), Inang (Ibu Mantu),/
    Toa Ingwai (Ibu Mertua)
    dengan perempuan sebagai wina tungku (anak perempuan dari saudara laki-laki ibu) dan Ingwai bana ( perempuan lain diluar garis kekerabatan).

    Begitu juga dengan kaum laki-laki dikelompokan menjadi
    Nara (saudara laki-laki), Nara laing (saudara laki-laki karena hubungan kekerabatan) Wote ata rona (anak mantu laki-laki), Koa ata rona (keponakan laki-laki) Ame (Ayah), Empo ata rona (Kakek), Amang (Bapak Mantu), Toa ata rona (Bapak Mertua) dengan laki-laki yang menjadi Rona Tungku (anak laki-laki dari saudara  perempuan Ayah) dan ata rona bana ( laki-laki lain diluar garis kekerabatan)
    Dari pengelompokan diatas dalam perkawinan adat data Kempo, sudah jelas siapa saja yang boleh menjadi calon suami/istri dari seseorang. Bagi laki-laki yang boleh menjadi calon istrinya hanyalah wina tungku (alternatif tungku) dan ata ingwai bana, sedangkan bagi perempuan yang boleh menjadi calon suaminya hanyalah rona tungku (alternatif tungku) dan ata rona bana. Sehingga setiap kali orang Kempo berkenalan dengan orang selalu saja ada tulur (menanyakan asal-usul) yang ditanyakan nia mai Beo (asal dari kampung mana), mantar doing (anaknya siapa), dan cai laing ise situ (bagaimana hubungan kekerabatan dengan keluargayang ada di kampung tersebut) lalu dibuatlah kesimpulan cai laing hemi (siapakah anda bagi saya), apakah ada hubungan kekerabatan yang dekat atau tidak. Karena ikatan kekerabatan akibat hubungan perkawinan bagi ata Kempo sangat luas, melahirkan banyak dari (kerabat), yang tersebar di berbagai kampung dan wilayah, dan setiap Reba/Molas dititpkan pesan oleh orang tua supaya selalu olo tulur tau (saling menanyakan asal-usul). Hal ini untuk menghindari kawin dengan saudara sendiri, atau yang masih memiliki hubungan keluarga dekat dan toe pehe / toe to taur (tidak diperbolehkan) untuk melakukan perkawinan.

    Jurak
     sebenarnya bukan jenis perkawinan tetapi merupakan tindakan terlarang dimana terjadi neki ca (terjadi hubungan yang intim) antara laki-laki dan perempuan yang masih memiliki hubungan darah dari keturunan yang sama.
     

    Misalnya terjadi perkawinan antara Weta-Nara (kakak beradik dari satu ayah), atau perkawinan dengan Weta laing (sepupu dari satu kakek yang sama), atau kawin dengan Ame-Mantar (Ayah-anak), Ine-Mantar (Ibu dan Anak), mantar laing (anak atau keponakan dari saudara kandung). 
    Jurak adalah musibah yang melanggar nilai-nilai luhur adat juga nilai kemanusiaan. 
    Jurak bisa terjadi melalui reweng/jaong (ucapan) yaitu kata-kata yang tidak semestinya diucapakan, ngoeng (pikiran dan niat) ketertarikan, dan pande (tindakan) perlakuan yang tidak wajar terhadap saudara sendiri.
    Dan yang lebih parah adalah jika terjadi hubungan terlarang dan membuat si perempuan menjadi hamil.
     

    Jika terjadi hal demikian merupakan sebuah malapetaka, dan bencana yang tak diinginkan akan menunggu di depan mata.


    Sebuah perbuatan kotor, sebaik apapun kita menyembunyikannya akan ketahuan juga, ada banyak hal yang bisa membongkar perbuatan tercela tersebut. 
    Hukumannya tidak main-main, dan bukan saja datang dari saudara sendiri tetapi juga dari warga sekampung. Orang yang melakukan perbuatan jurak akan dicambuk dan diseret keliling kampung, sebagai bentuk hukuman yang diterimanya. 
    Sebagai upacara cebong lasa (tolak bala), bagi orang yang melakukan perbuatan jurak, dilakukan sebuah upacara walek elar (membalikan alas rumah), yaitu sepasang insan tersebut pola opok muku (memikul batang pisang secara bersama), atau pola ngencung (memikul lesung), lalu berjalan mengelilingi Compang (mesbah penyembahan di tengah kampung), sambil mengucapkan pernyataan “hami ata pande jurak, neka lut pande gami” (kami telah melakukan perbuatan jurak, dan jangan ada lagi orang  yang mengikuti perbuatan kami)
    Diiringi juga dengan cambukan dan pukulan yang tidak lagi mengenal rasa kemanusiaan, karena diyakini mereka telah dirasuki oleh roh jahat, sehingga mati pun bukanlah hal yang perlu ditangisi.


    Konon katanya, jika masih bertahan hidup dengan sekujur tubuh penuh luka, sepasang insan tersebut dikucilkan dan dibuang kedalam hutan belantara, atau dilemparkan kedalam jurang, sehingga kemungkinan mereka bertahan hidup sangat kecil. 
    Tidak ada yang tahu pasti kelanjutannya, karena hukuman seperti itu tidak pernah lagi ditemukan dalam beberapa puluh tahun terakhir. 
    Meski perbuatan jurak dengan tingkat yang lebih kecil, semisal ucapan atau perlakuan tak wajar pernah terjadi, semua akan dikembalikan kepada keluarga orang bersangkutan, untuk mengambil tindakan menghukumnya. 
    Namun cerita tentang jurak tak akan mudah hilang sepanjang perjalanan hidup, bahkan kabarnya karena perbuatan tersebut beberapa generasi berikutnya dari keluarga tersebut akan mempo (musnah). 
    Memang tidak secara serentak tetapi berjalan lambat, misalnya tidak lagi memiliki keturunan, atau hanya memeiliki keturunan satu atau dua orang, lalu mati di usia muda, atau mati secara tidak wajar. 
    Darah itu tetap mengalir dan trauma akan hal itu mengusik kehidupan dari waktu ke waktu, dapatkah semuanya dibalikan ke keadaan semula, semua kembali kepada Muri Agu Ngaran (Sang Pencipta).


                                                            ******************

    http://adatbudaya-kempo.blogspot.com/2014/03/bentuk-bentuk-penyimpangan-perkawinan.html


    Cttn:
    Neka rabo (maaf) uraian diatas mungkin belum terlalu lengkap, karena keterbatasan waktu untuk melakukan pengenalan yang mendalam.
    Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.


    Sekiranya masukan menjadi hal yang berharga untuk kita diskusikan…