Translate

Kamis, 26 Desember 2013

Jenis Perkawinan Adat Kempo - Manggarai Barat


I. Pengantar


Manusia ditakdirkan untuk hidup bersama, bila tetap sendiri, bisa dibayangkan betapa sunyi kesendirian itu. Itulah kata-kata pengantar bagi mereka yang telah hidup berpasangan. Meski sejujurnya, sangat penting untuk diabaikan saja.
Ala wina (kawin) merupakan prosesi neki ca weki data sua (menyatukan dua insan), yang  niak cama tau (saling mencintai), untuk mose cama (hidup bersama) sebagai Wina-Rona (Suami-Istri) sangge tedeng len (untuk selamanya).

Evolusi kehidupan manusia telah berlangsung sangat lama, bahkan jauh sebelum tulisan ini dapat ditulis, dapat dibaca dan dapat dimengerti, paling tidak bagi yang punya keinginan untuk memahaminya. Basa-basi diatas sedikitnya menggambarkan perjalanan kehidupan ini mengikuti putaran waktu. 
Namun dari semua hal tersebut, ada satu hal yang tak pernah berubah, meski banyak cara untuk menahannya, sedikit lebih lambat. Semakin ditahan, malah semakin melonjak dan jadilah kita kadang harus berdesak-desakkan.
Dibalik hiruk pikuk tersebut, terselip sebuah kedamaian, yang kadang banyak orang tak ingin menyadarinya.


Ya, perkawinan adalah sesuatu yang terjadi turun temurun, diwariskan dari generasi ke generasi. Banyak alasan yang dapat dikemukakan jika ada yang bertanya, kenapa kita harus kawin. Salah satu alasan sederhananya yaitu melanjutkan keturunan.
Tak dapat dilukiskan, kedamaian hati seorang Empo (Kakek/Nenek) memanjakan empo nya (cucu), begitu juga kebahagian yang dirasakan Ame / Ine (Ayah/Ibu) ketika kapu (menimang) anaknya. Dan Ase-Kae berbondong mai la'at (menjenguk) sambil membawa ute wua kaung (buah pepaya muda) dan latung tau bombo (jagung untuk menambah Asi) sebagai oleh-oleh untuk menyambut Waong (si bayi) yang baru lahir.


II. Pengertian


Dalam tradisi orang Kempo perkawinan bukanlah hal yang emo among (gampangan) atau nia niak (suka-suka). Karena perkawinan merupakan titik puncak hidup seseorang dari lonto Reba/ Molas (masa muda) lalu ke masa tua. Tidak dapat dipungkiri, seseorang yang telah kawin hanya tinggal menunggu waktu untuk menjadi orang tua dari anak-anaknya kelak.
Urusan perkawinan juga merupakan rentetan peristiwa yang berliku dan panjang serta melelahkan.
Tidak hanya itu, tenteng mese, wa langkas (butuh modal yang cukup), dan tenaga yang ekstra serta lewe-lew sut nai (kesabaran) yang tak tergambarkan.

Banyak suka dan duka yang mewarnai proses tersebut, dari hal kecil yang dapat menghadirkan imus rimpung (seuntai senyum), sampai peristiwa besar yang kiru pucu (menyayat hati). Tetapi begitulah sebuah proses, banyak mbukut (simpul) yang dapat dijadikan pegangan, banyak banta (rintangan) yang dapat dilewati dan jadilah seseorang dewasa karenanya.
Intinya adalah sebuah proses pande jiri mensia ata ca mongko (mendewasakan seseorang), karena darinya akan lahir sebuah generasi baru dan terus bergulir seperti hal itu.


III. Jenis-jenis Perkawinan Adat Kempo - Manggarai


Dalam pembahasan kali ini, beberapa jenis perkawinan adat Kempo yang akan di ulas.
Perkawinan adat yang dibahas pada topik kali ini yaitu sebagian besarnya membahas tentang perkawinan yang dilakukan oleh Orang Kempo pada danong mede (jaman dulu), sebelum masuknya jaong Imbi (agama modern). Pembahasannya ditinjau dari sudut Ata Rona (pihak laki-laki), karena Ata Rona dianggap sebagai ata kawe (yang mencari), sementara Ata Ingwai (perempuan) dianggap sebagai ata gereng (yang menunggu).


Secara garis besarnya dapat disimpulkan dalam penjabaran berikut.antara lain ;

A.    Tungku Sai (Perkawinan silang)


Tungku sai dalam arti harafiah adalah tungku (sambung) sai (kepala), atau dalam adat budaya Kempo maksudnya adalah memperbaharui kembali suatu hubungan kekerabatan yang telah lama terjalin, lewat sebuah perkawinan silang dalam adat Kempo.
Seorang Reba (pemuda) kawin dengan seorang Molas (gadis) yang merupakan mantar ingwai / anak wai (putri) dari Toa (Mertua).
Dalam perkawinan tungku sai, Ame (Ayah) si Molas merupakan Nara decuk  (saudara laki-laki kandung ) dari Ine (Ibu) si Reba.
Jadi hubungan kedua Orangtua dari pasangan ini merupakan Weta Nara (saudara kandung) atau kakak beradik.

Reba akan memanggil Orangtua dari Molas dengan panggilan Toa (Mertua); Toa ata rona (Ayah mertua) dan Toa ata ingwai (Ibu mertua), dan selanjutnya disebut Iname / Iname Sai / Nara (pihak perempuan) dan sebaliknya Toa akan memanggil Reba dengan sebutan Koa (anak mantu)..
Sementara si Molas akan memanggil Orangtua si Reba dengan sebutan Inang (Ibu Mantu) dan Amang (Ayah Mantu), dan selanjutnya disebut Woe / Weta (pihak laki-laki) dan sebaliknya Inang / Amang akan memanggil si Molas dengan sebutan Wote (menantu)
Lebih jauh untuk penyebutan  status dalam hubungan kekerabatan akan kita bahas ditopik yang lain nanti.

Bentuk perkawinan seperti ini adalah yang paling ideal bagi Ata Kempo sehingga toe mesa salang (garis kekerabatan yang tidak terputus) antara Iname dan Woe. Dengan begitu garis keturunan tetap terjaga, nia mai sai (asal usul keturunan dari pihak Ibu).
Namun jika dalam hal tungku sai, dari pihak Iname belum ada seorang gadis yang telah cukup umur untuk kawin, atau tidak ada lagi Molas dikarenakan semua telah menikah. maka tungku sai hanya menjadi tungku saja dan mempunyai beberapa alternatif yaitu; 


  1.  Tungku Neteng Nara,
    yaitu seorang Reba yang dikawinkan dengan Molas yang merupakan anak dari Nara Ase kae (saudara sepupu laki-laki pihak Ibu). Dalam hal ini, saudara Ibu yang menjadi ayah si Molas bukanlah saudara kandung, melainkan saudara sepupu dalam ca Batu (satu klan).
  2. Tungku Ingkoe,
    yaitu seorang Reba yang dikawinkan dengan seorang Molas yang merupakan seorang Ingkoe (Bibi). Tungku ini sebenarnya sesuatu hal yang dipaksakan, dalam artian tidak ada lagi hubungan sejajar yang pas untuk dikawinkan, namun karena pihak Woe meminta tungku, tapi di pihak Iname sudah tidak ada lagi Molas yang merupakan mantar Inewai de Toa (anak gadis dari saudara Ibu). Untuk menjawab permintaan Woe, maka patur (dijodohkan) satu tingkat diatasnya yaitu dengan Ingkoe. Yaitu seorang Molas dari tingkat saudara perempuan Ibu (tingkat sejajar Ibu). Dalam hal ini seorang Bibi tidak boleh Ase decuk (adik kandung) dari Ibu, melainkan Ase kae ca Batu (saudara sepupu) dari Kakek yang berbeda tapi masih dalam satu klan.
  3. Tungku Wote,
    Tidak beda jauh dengan tungku Ingkoe, perkawinan ini dilakukan jika satu tingkat diatas, juga tidak ada Molas, maka akan turun satu tingkat ke bawah yaitu seorang Molas yang merupakan mantar Ingwai de Kesa (anak gadis dari Besan). Ini namanya tungku Wote (dikawinkan dengan anak mantu), yang sebenarnya Wote berada sejajar dengan anaknya kelak. Wote dalam hal ini, Ayahnya tidak boleh dari Wote decuk (menantu kandung Ibu), melainkan menantu sepupu dalam satu klan. Agar tidak terlalu dekit (dekat) garis batasan yang diperbolehkan untuk dikawinkan.
  4. Tungku salang manga. 
    Tungku salang manga yaitu perkawunan tungku yang terjadi ditingkat generasi di bawa Ayah. Tungku salang manga mengikuti garis keturunan dari
    Empo Ingwai (Nenek yang merupakan Ibu dari pihak Ayah) yaitu berhadapan antara Iname Rabeng (saudara laki-laki dari Nenek) dan Bangkong (cucu Nenek dari pihak Ibu).Tungku ini terjadi karena di tingkat sejajar ayah belum terjadi tungku, sehingga untuk tetap terus menjaga hubungan kekerabatan, maka tungku yang seharusnya terjadi di tingkat ayah baru terjadi di tigkat anaknya atau cucunya.
  5. Tungku tuda mantar Reba data.
    Tungku jenis ini sebenarnya hanya perlambangan saja, karena dalam hal ini pihak Woe lah yang punya inisiatif untuk mengganti seorang Reba. Tungku salang ini terjadi karena dari pihak Woe tidak ada lagi
    Reba (Pemuda) atau telah menikah semua dengan orang lain, atau sama sekali tidak memiliki anak laki-laki dari saudara dekat dan belum terjadi tungku. Maka seorang Ibu berinisiatif untuk tuda (mengangkat) seorang keponakan atau anak laing ata (mengadopsi) seorang Reba dalam klan atau diluar klan untuk dijadikan anaknya, dan memiliki hak sama sebagai anak kandung dan bersedia untuk melakukan perkawinan tungku. 
Pada dasarnya, perkawinan tungku sai maupun tungku, memiliki ciri khas tersendiri yaitu;
  • Telah terjadi perkawinan yang mendahuluinya yaitu generasi diatasnya, misalnya di tingkat sejajar Ibu atau ditingkat sejajar Nenek.
  •  Perkawinan ini didahului oleh kesepakatan anggota keluarga ca Batu (satu klan) dan juga diketahui oleh komong iko (tetua adat kampung) karena akan berdampak pada pembagian warisan yang juga diketahui oleh pihak Iname. Karena seorang Reba yang bersedia melakukan perkawinan tungku, memiliki hak istimewah atas warisan dari Orang Tua.
  • Beberapa alasan dari perkawinan tungku yaitu agar tidak hilangnya garis hubungan Iname-Woe. Alasan lain juga yaitu sebagai balasan dari permintaan Werong dari Iname.
  • Asalkan tidak melakukan perkawinan Tungku Sai, karena pihak Gereja telah melarangnya saat ini, perkawinan tungku akan tetap mempertahankan gen dari sisi budayanya.

B. Kala Rana (perkawinan di luar hubungan kekerabatan)


Perkawinan yang dimaksud adalah terjadinya ikatan perkawinan pada sepasang Reba/Molas dimana Orang Tua kedua belah pihak belum atau tidak ada hubungan kekerabatan sebelumnya. Artinya, kedua belah pihak baru pertama kali saling memiliki hubungan kekerabatan atas dasar perkawinan yang terjadi.
Perkawinan ini tidak saja dilakukan dalam satu suku yaitu dengan sesama Ata Kempo (Orang Kempo) atau dengan Ata Manggarai (Orang Manggarai) pada umumnya atau Ata bana (orang dari suku lain) bahkan dengan orang dari luar pulau sekalipun

Kala rana tentunya tetap terlebih dahulu dibicarakan dengan pihak Iname sai (saudara laki-laki Ibu), karena bagaimanapun Iname harus tetap dihormati meski tidak terjadi tungku.
Menghormati Iname bukan berarti menghibur mereka karena tidak terjadi tungku, tetapi juga memiliki banyak makna yang lain. 


Ketika pihak Iname sai  tidak dapat memenuhi permintaan tungku dari Woe/Weta, dengan segala kebesaran hati mereka mempersilahkan Woe/Weta untuk mencarikan jodoh untuk anaknya di tempat lain. Tidak hanya sampai di situ, kadang kebaikan hati orang tak dapat kita tebak, sebagi Iname yang juga dianggap Muri Ita (pencipta yang terlihat) kadang bersedia menurunkan kedudukannya dari Iname sai menjadi Ase-Kae. Kurang baik apalagi, pihak Iname yang seharusnya menjadi ata tiba kaba (menerima mas kawin) atau menerima lipa pisi (sarung sebagai tanda permintaan maaf) karena tidak terjadi tungku, kini berubah posisi menjadi Ase-Kae (saudara). Belum lagi, pihak Iname sai akan menganggap hal ini sebagi bagian dari tanggungjawab mereka karena tak mampu memenuhi permintaan Tungku sai dari Woe/Weta, maka mereka olo mai (berdiri di depan) untuk mencarikan Molas lain yang pas dengan Koa mereka. Kalaupun tidak berada paling depan, cama laing (ikut menyumbang) sudah menjadi hal yang mulia, bahkan ada yang sampai menanggung kaba paca (mas kawin berupa hewan) bagi Koanya.

Walaupun tungku sai atau tungku merupakan perkawinan yang ideal bagi Ata Kempo, namun sejak dulu tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perkawinan kala rana. Banyak alasan serta situasi kondisi yang menjadi penyebabnya, misalnya tidak ada lagi mantar wai (anak perempuan) yang masih bujang, atau semua mantar wai sudah manga beo (telah bersuami).
Dan pada masa sekarang, perkawinan kala rana sering dilakukan oleh orang Kempo, karena kehidupan telah berangsur terbuka untuk dunia yang lebih luas. Perkawinan ini melahirkan suatu hubungan kekerabatan yang baru dan lebih luas lagi, ditambah lagi dengan adanya larangan dari pihak gereja bagi yang beragama Katolik untuk tidak boleh melakukan perkawinan tungku sai.


Namun jika perkawinan ini dilakukan dengan ata woleng ceki (orang yang berasal dari latar belakang adat dan budaya yang berbeda), bukan tidak mungkin sebuah permasalahan baru akan tercipta, tapi siapa peduli, hidup saja adalah sebuah masalah. Kita akan membahasnya di topik yang lain....


C. Lili (Memperistrikan Janda)


Lili adalah jenis perkawinan yang dilakukan dengan seorang wanita yang telah mompol (menjanda) ditinggal mati oleh suaminya.
Sementara seorang laki-laki dalam hal ini, biasanya masih ada hubungan keluarga atau orang terdekat yang memiliki garis keturunan dengan mantan suaminya. Atau dikawinkan dengan saudara mantan suaminya, baik lili le Ase (kawin dengan adik ipar) maupun lili le Kae (kawin dengan kakak ipar).
Ase atau Kae yang kawin dengan janda tersebut ada yang berstatus masih Reba (bujang), asalkan bersedia, sekalipun janda tersebut ata manga mantar (telah memiliki anak) dari perkawinannya terdahulu.
Bisa juga dengan Ase atau Kae yang ata manga wina  agu mantar (telah memiliki istri dan anak) yang sah, hanya saja butuh persetujuan dari istri sah, jika tidak ingin terjadi keributan dalam kehidupan rumah tangga kelak.
Pandai-pandailah untuk menjadi suami dari dua wanita  apalagi ca mbau (di bawah satu atap), dengan atau tanpa sekat lagi.

Lili sebenarnya bukanlah sebuah perkawinan yang resmi jika dilihat dari tata cara adat perkawinan.
Karena dalam perkawinan lili, tidak ada lagi proses adat perkawinan yang lengkap seperti tuke mbaru (lamaran), toto (perkenalan) maupun paca (belis/mahar).
Lili hanya berupa pengalihan tanggungjawab sebagai seorang suami menggantikan suami terdahulu seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya.
Meski begitu, tetap harus diketahui atau ada pembicaraan di antara sesama saudara, bukan saja untuk mencegah neceng cama tau (saling berebut) tetapi juga lebih kepada jiri ame (bertanggungjawab sebagai Ayah), serta menanggung segala beban dan kewajiban sebagai ca kilo weru (sebuah keluarga utuh) yaitu berupa Warang (sejumlah nominal atau barang yang dikumpulkan).
Seorang laki-laki yang melakukan perkawinan lili bertanggungjawab sebagai suami dari perempuan yang dililinya serta menjadi ayah dari anak-anak, baik anak tirinya maupun ayah dari anak dari istri yang dililinya tersebut.

Meski perkawinan ini bukanlah yang resmi, namun pihak Iname (Orang Tua pihak perempuan) tetap dilibatkan dan harus diketahui oleh mereka. Karena hal itu akan berpengaruh pada tanggungjawab atas segala beban yang dimintakan oleh pihak Iname yaitu berupa Werong (sejumlah permintaan berupa nominal atau benda untuk disumbangkan).
Biasanya pihak Iname akan menanyakan siapa yang akan cela lemba (menggantikan peran suaminya), dan pihak Woe akan menjawab manga atan ga (sudah ada orangnya), karena sudah atau akan ada kesepakatan nantinya.



D. Tinu lalo (Perkawinan di bawah tangan)


Tinu lalo dalam arti harafiahnya adalah tinu (mengasuh) orang yang telah menjadi lalo (yatim piatu/sebatang kara).
Namun dalam perkawinan adat Data Kempo, tinu lalo merupakan jenis perkawinan di bawah tangan dimana seorang laki-laki telah berumur cukup dewasa dan si perempuan masih dibawah umur atau masih kecil.
Maka si laki-laki atau keluarga laki-laki tersebut akan tinu (membesarkan dan merawat) si perempuan hingga cukup umur untuk dikawinkan. Dalam hal ini yang merawat perempuan adalah tugas pihak laki-laki dan keluarganya, dan si perempuan tersebut langsung tinggal bersama keluarga laki-laki. 


Selama proses tinu tentu saja mereka belum bisa dikatakan sebagai wina rona (suami istri), karena masih sebatas hak pengasuhan.
Mungkin juga tergantung pada situasi atau kondisi yang berkembang, misalnya umur mereka terpaut cukup jauh, mungkinkah seorang laki-laki akan bersabar menunggu begitu lama, atau dia memilih untuk menjadikannya sebagai seorang Weta (saudara perempuan)
Tentu semua ada pertimbangannya, dan ruang diskusi untuk mencari jalan terbaik selalu ada di landong (pavilion), dengan anggota keluarga yang lainnya.


Perkawinan ini sebenarnya masih turunan dari perkawinan tungku, dimana dalam hal ini orang tua dari si perempuan telah meninggal, sehingga ia menjadi ata lalo (yatim piatu).
Oleh karena rasa belaskasihan dari Inang (saudara perempuan ayahnya / Ibu Mantu), ia dijodohkan dengan anak dari Inangnya. Namun karena usianya masih belia, maka tanggungjawab untuk membesarkan dan memeliharanya menjadi urusan keluarga Inang. Pertunangan usia dini ini pula harus atas kesepakatan kedua belah pihak Iname dan Woe, sehingga ketika usia si perempuan telah cukup dewasa, untuk mengawinkan mereka hanyalah proses kelanjutan saja.


Mungkin sedikit terasa seperti pemaksaan kehendak, tapi itulah satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh keluarga si gadis kecil tersebut. Tapi pada masa sekarang, perkawinan seperti ini mungkin tidak ada lagi, tetapi berubah ke bentuk lonto bejuang (masa dimana seorang Reba yang bekerja pada keluarga mertua untuk menarik minat orang tua si gadis). Jika orang tua merasa si Reba (pemuda) adalah orang yang dapat bertanggungjawab, maka mantar wai (anak gadisnya) dibujuk untuk dikawinkan dengan Reba tersebut.



E. Likang sua / telu (Beristri dua/tiga; poligami)


Pada jaman dulu, Ata Rona (Laki-laki) Kempo sudah mengenal poligami yaitu memiliki istri lebih dari satu orang.
Namun perlu diingat, tidak semua orang mampu melakukannya, dan tidak ada cengga (perceraian) pada perkawinannya yang terdahulu.


Jenis perkawinan seperti ini dibagi dalam dua bentuk, yaitu;
  1. Wina Sua / Telu (Beristri dua / tiga)
    Seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu, secara kasat mata bukanlah lelaki sembarangan. Paling tidak dari sisi
    manga (sosial ekonomi), dia memiliki kemampuan lebih dari orang lain. Biasanya memiliki sejumlah lahan yang cukup luas untuk digarap, memiliki banyak hewan peliharaan seperti Kaba (Kerbau) dan Jarang (Kuda)Memiliki status sosial tinggi seperti Tua Golo (Kepala Kampung), Tua Mukang (Kepala Pemukiman Baru), Ata Mbeko (dukun sakti), Ata kebal (punya ilmu kebal senjata tajam), Ata jago rani (seorang jawara) atau kelebihan lainnya. 

    Tidak gampang untuk memiliki istri lebih dari satu, baik dari sisi ekonomi rumah tangga, kebutuhan rohani, juga menyangkut keharmonisan rumah tangga.
    Toe curung Ata Rona (tidak sembarang pria) butuh lebih dari sekedar sosok seorang pria biasa atau sesosok pria yang benar-benar beruntung. Beberapa cerita mengatakan, untuk merebahkan lengan di dada kedua wanita, seorang pria harus memiliki letang (titian) yang kokoh, atau itu hanya sekedar cerita, tak perlu dibahas lebih jauh. Meskipun Ata Kempo ada yang memiliki istri lebih dari satu, tapi tanggungjawabnya sebagai laki-laki tak akan terbengkalai. Sebagai seorang pria yang memiliki kope sua (istri dua), dia juga bertanggungjawab atas segala paca (mas kawin) dan werong (kewajiban kepada dua Iname) juga warang (kewajiban sebagai kope sua dalam ca Batu (klan).
  2. Ligeng Kabo (Memperoleh istri kedua)
    Perkawinan ini yakni permintaan seorang laki-laki yang telah memiliki istri, kepada pihak
    Iname (orangtua istri) untuk memberikan seorang perempuan lagi kepadanya, sebagai istri kedua, atas alasan sesuatu kondisi yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangganya.
    Misalnya, dalam hal ini istri pertama 
    toe manga beka (tidak memiliki keturunan), atau sakit-sakitan atau bahas bako'n kope (kurang mampu melayaninya) atau apalah yang menyebabkan kehidupan rumah tangganya tidak seimbang. 

    Dengan penuh keberanian, tentunya dengan persetujuan istri pertama atau bersama istri pertamanya, dia akan mendatangi pihak Iname untuk menyampaikan maksudnya. Dengan segala pertimbangan pihak Iname akan mengabulkan permintaannya, dan seorang perempuan pun diberikan kepadanya. 
    Biasanya yang menjadi istri keduanya adalah Ase Kae de wina (adik / kakak iparnya) atau atau seorang saudara sepupu dari istrinya. Mungkin akan mendapatkan seorang gadis muda, atau adik iparnya yang tak kunjung mendapat jodoh, itulah kebahagiaan pada kesempatan kedua.

    Satu hal yang menjadi keuntungan bagi laki-laki dalam perkawinan ini adalah tidak ada
    paca (mahar kawin) karena berasal dari Iname yang sama, dan tetap dihitung ca kope (satu keluarga utuh) meski kenyataannya ada dua istri. Bentuk perkawinan ini, sangat sulit untuk membedakan apakah seorang laki-laki kurang beruntung atau malah beruntung sekali. Ligeng kabo, dalam arti sebenarnya adalah batu penyangga agar tungku tetap tegak berdiri hingga panci yang berada diatasnya tetap bisa memasak nasi.

F. Rona Weru / Beo Kolen (Janda yang kawin lagi)


Perkawinan ini adalah bentuk emansipasi bagi wanita dalam adat budaya Kempo, dimana seorang perempuan yang telah menjanda ditinggal mati oleh suaminya, boleh kawin lagi dengan pria lain jika ada yang kembung (jatuh hati) padanya. Jadi dia tidak harus memilih untuk tetap menjanda, atau tidak harus dilili (dimadu) oleh saudara mendiang suaminya.
Biasanya seorang janda yang masih muda atau yang telah memiliki anak namun masih muda.

Atas persetujuan keluarga mendiang suaminya ia boleh kawin dengan siapa saja yang telah jatuh cinta padanya, dan tidak harus memiliki hubungan keluarga dengan mendiang suaminya.

Dalam hal ini, keluarga mendiang suaminya akan berganti status dari Ase- Kae (saudara) menjadi Iname (pihak orang tua) dalam segala urusan perkawinannya.
Sementara Iname Sai (Ayah/Ibu si janda) akan dipanggil oleh Ase Kae untuk duduk bersama mengurusi perkawinannya. Bisa saja paca le Ase-Kae (mahar diminta oleh saudara mendiang suami) tetap dijalankan, tergantung pihak Ase-Kae yang telah menjadi orang tua baginya.


Kehadiran pihak Iname dalam perkawinan ini mutlak diperlukan, karena bisa saja ini merupakan akhir dari hubungan kekerabatan Iname-Woe dengan keluarga mendiang suami. Selain itu, juga untuk membicarakan pengalihan tanggungjawab sebagai Woe (suami / pihak laki-laki) kini dibebankan kepada keluarga suami baru dari si janda.
Sementara antara keluarga mendiang suami dan keluarga suaminya yang baru menjadi Ase-Kae (saudara), dan biasanya dilakukan acara kempeng Ase-Kae (menjalin hubungan saudara) dengan beberapa acara yang menyertainya.

Jika seorang janda, sebelum menikah lagi tetapi telah memiliki anak dari suaminya terdahulu, maka anak tersebut menjadi hak keluarga mendiang suaminya, meski pengasuhan menjadi tanggungjawab si janda, dan keluarga suaminya yang baru tahu akan hal tersebut.
Bila anaknya adalah laki-laki. maka hak warisan dari orang tuanya akan tetap dijatahkan, dan jika anaknya adalah perempuan hak wai menjadi tanggungjawab keluarga mendiang suaminya.


Bagaimanapun bentuk perkawinan baik itu secara resmi dan bermegah-megahan atau tak resmi bahkan tak ada kata-kata yang sempat terucap, pada intinya adalah bertanggungjawab atas perkawinan itu sendiri. Bukan untuk mendapatkan sorakan atau pujian atau cerita yang turun-temurun, tapi semua untuk menghargai kehidupan.


                                                     ********************************



Cttn:Neka rabo (maaf) mungkin belum terlalu lengkap, karena keterbatasan waktu untuk melakukan pengenalan yang mendalam. Mungkin masih banyak kekurangan dalam uraian diatas, masukan akan sangat berarti untuk melengkapinya.
Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.
Sekiranya masukan menjadi hal yang berharga untuk kita diskusikan…