Dongge Tuak |
Batang bambu harus yang baik, tidak cacat, jangan memilih bambu yang pucuknya patah (betong tompok), jangan memilih batang bambu yang kandungan air batangnya tinggi (betong kambo), jangan memilih bambu yang dimakan serangga (betong olot), jangan memilih bambu yang memiliki sejarah buku bolong (betong nua wungkut).
Pemotongan pohon bambu disesuaikan dengan perhitungan alam, yaitu di waktu bulan-mati-total (mata wulang). Mata wulang adalah waktu yang pas untuk memotong bambu, agar tidak cepat dimakan rayap (koto). Jika pemotongan bambu di lakukan ketika bulan menjelang atau purnama(mongko wulang), biasanya cepat terserang koto. Rahasia alam yang dipesan turun temurun oleh orang tua, dan belum ada yang meneliti keterkaitanya.
Bagian bambu yang diambil biasanya di bagian tengahnya, dengan perhitungan ketebalan batang bambu yang tidak terlalu tebal maupun tipis. Dan perhitungan berikutnya, jangan sampai potongnya terbalik, artinya bagian pangkal haruslah tetap menjadi alas dari dongge nanti.
Setelah ruas dipilih dan dipotong, selanjutnya kulit luarnya di keluarkan(cicik), sisakan di bagian atasnya sekitar 10 cm dari mulut tabung di kedua sisi untuk mengikatkan tali. Tujuan dari mengupas kulit luarnya adalah untuk mengurangi berat serta mencegah agar tidak mudah pecah saat tidak berisi air. Pembatas antara ruas di dalamnya dikorek dan dikeluarkan sehingga tersisa buku(wungkut) di bagian ujung saja, jika menggunakan ruas lebih dari satu. Setelah kulit luarnya dikupas, dan bagian dalamnya telah dilubangi, batang bambu di isi air sampai penuh, untuk memastikan bahwa bambu tersebut tidak bocor. Setelah itu direndam di dalam air(pene) kolam selama 3-4 hari untuk meningkatkan kualitas, agar tidak mudah dimakan rayap.
Lalu angkat dan keringkan, diangin-angin saja, lalu di bagian yang disisakan kulit luarnya(tilung) tadi, dilubangi(dus) untuk di ikat tali(wase) sebagai pegangannya. Tali yang digunakan biasanya dari ijuk yang dipilin (wase wunut pote) yang ukuranya berdiameter setengah centimeter. Untuk menutup mulut dongge, agar airnya tidak tumpah saat dipikul, ditutupi dengan ijuk yang disebut cewa.
Dongge pun telah siap digunakan.
Ada beberapa jenis dongge menurut kegunaanya:
- Dongge tiku wae, yaitu dongge untuk menimba air minum atau untuk keperluan memasak. Ukuranya sedang disesuaikan dengan kemampuan kaum perempuan untuk memikul air. Tali dongge diletakan diatas kepala dan dialas dengan kain untuk mengurangi gesekan tali dan kulit kepala. Sedangkan bagi laki-laki biasanya menggunakan kayu pikul (haju lemba) yang dipikul di pundak mirip penjual jamu.
- Dongge tuak / mince, yaitu dongge yang digunakan untuk menadah air nira/tuak, yang disadap dari pohon enau. Ukuranya disesuaikan dengan kuantitas hasil air sadapan.
- Gogong, yaitu dongge yang berukuran besar (2 ruas) dan biasanya digunakan untuk menampung air nira/tuak yang lebih banyak. Jika gogong tak mampu menampung kapasitas air, maka akan ditambahkan satu lagi yang disebut tonda (cadangan)
- Cuket, yaitu dongge yang digunakan untuk menampung air nira/tuak, dalam waktu lama sebelum disuling untuk menghasilkan sopi (arak tradisional khas Manggarai). Cuket tidak perlu dikupas kulit luarnya, tidak dipasangi tali, hanya wungkutnya dilubangi, karena hanya berfungsi sebagai penampung sementara.
Dengan hadirnya wadah dari plastik, peran dongge sebagai wadah untuk mengangkut, menimba dan menyimpan air telah mulai hilang. Dongge tiku wae misalnya, telah lama tidak digunakan lagi, yaitu sekitar awal tahun 90-an, dengan hadirnya jerigen bekas kemasan minyak goreng, ember bekas kemasan cat tembok, dan jerigen kemasan oli pelumas dengan berbagai ukuran. Lalu ember dan gumbang (tong plastik besar) pun muncul dan semakin mudah dibeli di toko atau di pasar. Dengan demikian kaum ibu tidak lagi dibebani dengan beratnya bambu yang dipikul untuk menimba air setiap hari dengan jarak rumah ke tempat wae tiku (mata air) yang cukup jauh dan jalan yang naik turun.
Karena tugas kaum perempuanlah untuk menimba air dan memasak bagi orang Kempo pada masa itu.
Karena tugas kaum perempuanlah untuk menimba air dan memasak bagi orang Kempo pada masa itu.
Sehingga ada anggapan umum bahwa seorang perempuan belum boleh menikah jika belum bisa mengangkut air dengan dongge (eko dongge). Bagaiman dia bisa masak di rumah jika eko dongge saja tidak mampu. Sebuah tuntutan yang setiap perempuan wajib hukumnya ketika memiliki niat untuk menikah.
Namun, wadah kemasan bekas jerigen maupun ember masih bertahan sampai sekarang, karena keterbatasan air ledeng atau air pipa. Sehingga menimba air ke wae tiku atau ke kali masih menjadi kebiasaan bagi sebagian besar orang Kempo. Hanya saja, kaum laki-laki pun sudah mulai peduli pada kaum perempuan untuk menimba air.
Sedangkan dongge tuak, sepertinya tetap bertahan dan mungkin akan bertahan lama. Mengingat fungsi tuak/sopi dalam berbagai acara adat masih sangat dibutuhkan dan menjadi bagian dari adat itu sendiri. Ditambah lagi dengan adanya penelitian beberapa ahli mengenai kasiat gula batu (gola malang) yang dihasilkan oleh sadapan air nira cukup baik untuk kesehatan, tapi belum dikembangkan. Sehingga dongge tuak / mince, gogong maupu cuket akan tetap ada, hanya saja jarang kelihatan karena biasanya disimpan di tempat penyulingan sopi / gola yang disebut sari. Sebagiannya mungkin kita akan lihat di pinggir jalan, jika kita perhatikan pohon enau di sepanjang jalan raya Trans Flores.
Paling tidak dengan masih bertahannya dongge tuak / mince, generasi muda saat ini maupun selanjutnya masih mengenal dongge, walau tidak pernah menggunakanya.
Paling tidak dengan masih bertahannya dongge tuak / mince, generasi muda saat ini maupun selanjutnya masih mengenal dongge, walau tidak pernah menggunakanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar