Translate

Selasa, 20 Agustus 2013

Faktor Pendukung Beo Data Kempo

Sebuah kampung bagi Ata Kempo (Orang Kempo) dibangun dengan sebuah sistem pendukung yang menjamin kelangsungan kehidupan pada kampung tersebut.
Kampung tidak dapat berdiri sendiri, juga tidak muncul begitu saja.
Semua sistem pendukung tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain yang membentuk kehidupan itu sendiri.
Ada beberapa hal yang menjadi faktor utama, yaitu Sekang bate kaeng (rumah tempat tinggal), Natas bate labar (halaman tempat bermain), Wae bate tiku (mata air tempat menimba air), Salang bate lako (jalan yang pernah di setapak), Uma bate duat (kebun untuk bekerja)Ada juga beberapa hal yang tak kalah penting keberadaannya, namun tidak sering dibicarakan.

Faktor pendukung tersebut antara lain ;

A. Sekang (Rumah)


Sekang adalah tempat untuk kaeng (tinggal), melindungi diri dari kondisi alam maupun dari serangan binatang buas.
Tempat latang tau toko (tidur / membaringkan kepala), terbenam dalam mimpi-mimpi, kesep ciang tana (sebelum esok kembali lagi).
Rumah adalah tempat anak istri menunggu, tersenyum penuh harap apa yang didapat dari seorang laki-laki sejak pagi hari tinggalkan rumah.
Rumah adalah tempat anak-anak bermain dan menunggu Ayah-Ibunya pulang dari bekerja.
Rumah adalah tempat berbagi cerita, tertawa lepas dalam kebahagian yang terbatas alam, atau terisak bersama kebekuan alam.
Rumah adalah tempat memulai hari dan mengakhiri hari, banyak kisah yang terbangun diantara ruang, cerita yang terekam dalam waktu dan jejak-jejak yang membekas dalam perjalanan hidup.

Sekang adalah area privasi sebuah keluarga dalam satu kampung, para lewangn olo, congkorn musi (dari pintu gerbang sampai halaman belakang) adalah hak kepemilikan data ngara sekang (pemilik rumah) yang diakui oleh komong iko (seluruh penghuni kampung).
Tidak ada seorang pun yang boleh melakukan aktivitas sembarangan tanpa ijin pemilik rumah. Juga tidak ada yang sesuka hati mengklaim kepemilikan atas rumah dan tanah yang ditempati oleh sebuah keluarga.
Meski rumah adalah area privasi sebuah keluarga atau ata ngara sekang (pemilik rumah), namun tetap memperhitungkan kenyamanan dan keteraturan bersama.
Lelo hae cupu / baling mai (sesuaikan diri dengan orang yang berada disekitar) terutama dalam hal kenyamanan lingkungan. Misalnya, tidak boleh seenaknya teriak dan tertawa hingga larut malam, jika tidak ada yang perlu dikerjakan.
Pembangunan rumah dan pemanfaatan lahan disekitar rumah harus memperhatikan ketentuan umum, seperti ni'i (batas samping). Tidak boleh menanam pohon besar di dekat rumah orang yang berada di sebelah nya.
Setiap orang mempunyai hak membangun rumahnya, di tanah yang menjadi miliknya, dengan model dan tipe apapun sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga dengan ritual dan upacara yang dilaksanakan ketika membangun rumah, menjadi urusan pemilik rumah.
Jika pemilik rumah berbaik hati, pada acara titi sekang (memulai pembangunan rumah) atau tuke sekang (menempati rumah baru), ia akan mengundang orang untuk berdoa bersama atas pembangunan rumah tersebut. 
Di masa sekarang, sekang Data Kempo banyak yang telah berubah bentuk dan fungsinya. Sekang tenda eta (rumah panggung) dan sekang wunut / ri'i (rumah beratap ijuk / alang-alang) jarang ditemukan lagi.

Tidak hanya sebagai tempat tinggal, rumah juga sebagai tempat melangsungkan berbagai upacara adat. Seperti lonto jaong Iname/Woe (pembicaraan adat antara pihak laki-laki dan perempuan) dalam acara pernikahan, lonto jaong coga seng werong Weta (pembicaraan adat dalam hal meminta bantuan pihak saudara perempuan) serta beberapa acara lain seperti syukuran, pesta maupun acara kelas (kenduri) dalam tata cara adat kematian.
Dalam hubungan sosial masyarakat, sekang digunakan sebagai tempat untuk nempung (bermusyawarah) maupun tempat wali (membicarakan sesuatu) yang berkaitan dengan hal-hal penting.
Ata Kempo bisanya jika ada yang ingin disampaikan atau dibicarakan dengan seseorang, tidak etis kalau hanya disampaikan di jalan atau saat ketemu dimana saja. Biasanya selalu buat janji terlebih dahulu untuk kaping sekang (bertamu ke rumah).
Maupun jika kewit/siro (mengundang) orang, sebaiknya langsung ke rumah orang bersangkutan.

Dalam pergaulan di masa sekarang, kadang banyak pende dise Empo, tuing dise Ame (hal-hal yang telah diajarkan oleh pendahulu atau Nenek Moyang) tidak dihiraukan lagi.
Pada jaman dulu, segala sesuatu yang menyangkut acara atau apa saja yang dilakukan di rumah, harus meminta persetujuan Orang Tua. Karena rumah adalah milik orang tua, dan bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di dalamnya.
Bahkan jika terjadi wendo (membawa lari anak gadis orang) seorang laki-laki tidak akan masuk ke rumah orang tua gadis tersebut. Begitu juga jika sudah sampai di rumah orang tua si pemuda, seorang perempuan tidak boleh masuk ke rumah sebelum ada persetujuan orang tua, atau paling tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu, sehingga beberapa proses adat dapat segera dilakukan.
Namun pada masa kini, beberapa hal diantaranya telah dilanggar, misalnya anak tak lagi meminta persetujuan orang tua, untuk melakukan apa saja didalamnya. Tiba-tiba saja, seorang gadis atau pemuda muncul di rumah, tanpa pemberitahuan kepada orang tua.
Bahkan ada yang menjadikan rumah sebagai tempat untuk menyalurkan ekspresi ugal-ugalan untuk kesenangan mereka, tanpa menghiraukan keadaan orang tua.
Semua hal tersebut terjadi karena kesalahan orang tua yang tak sempat mengajarkan anak-anaknya, apa arti dan makna sebuah sekang kaeng (rumah sebagai tempat tinggal).

Dalam tradisi ahli waris atas sebuah rumah, meski tidak secara tertulis, Ata Kempo pada jaman dulu sangat menghormatinya. Yang berhak untuk mewariskan rumah orang tua adalah anak laki-laki yang bungsu. Selain itu, semua anak laki-laki yang telah menikah harap segera wa'u one mai sekang (segera membuat rumah sendiri) dan akan dibagikan bagian lahan untuk membangun rumah.
Alasan pembagian warisan sekang kaeng kepada anak laki-laki bungsu adalah karena dia yang paling kecil dan selanjutnya kabang agu taing hang (menanggung kehidupan) orang tua di masa tuanya adalah anak bungsu tersebut.

Pada dasarnya, Ata Kempo selalu menggambarkan atau mengkiaskan sesuatu dengan hal yang sederhana. Begitu pun pada sebuah rumah, istilah untuk menggantikan kata sekang adalah mbau / mbau haju (bayangan pohon), atau yang paling sederhana lagi adalah cewo (sarang; untuk binatang).
Kiasan nama tersebut sebagai gambaran fungsi rumah pada jaman dulu sebagai tempat berteduh atau melindungi diri dari keadaan alam, serta sebagai tempat untuk tidur.
Sedangkan cewo sendiri sebenarnya adalah gambaran untuk rumah yang keadaannya sangat berantakan atau tidak diurus.

B. Natas (Halaman)


Natas atau halaman adalah tempat bermain, bersosialisasi, dan bertemu baik ata ca Beo (sesama warga kampung)ata burut (orang yang lewat), maupun ata lambu (orang yang berkunjung).
Natas adalah tempat latang tau labar (tempat bermain), sebagaimana halnya anak-anak, masa kecilnya banyak dihabiskan untuk bermain.
Proses belajar tingkat kedua dari seorang anak setelah landong adalah natas, dimana dia akan bertemu dan bermain dengan anak-anak lain dengan berbagai ruku (karakter).
Tak akan pernah terlupakan selama hidupnya, tentang segala keceriaan bermain di natas, kemana pun seseorang pergi setelah dewasa nanti.
Tidak hanya ata Koe (anak-anak), ata Reba (para pemuda) maupun ata Tua (orang dewasa) seringkali menggunakan natas sebagai tempat berkumpul sekedar nunduk-nunduk agu jambor (bercerita atau bersenda gurau).

Natas sebagai tempat sosialisasi dan pengawasan setiap wa lusi weki (tingkah laku), holes weki (sikap) dan cengka jaong (tutur kata) diantara sesama warga kampung.
Tidak ada yang luput dari pantauan sesama, oleh karena itu setiap orang akan lelo (melihat), senget (mendengar), rupa (memperhatikan), tui / tuing (memberitahu/mengajarkan) dan pande laing (berbuat) apa yang menjadi hal baik dari yang dipahaminya dari proses belajar tersebut. 
Sikap hormat-menghormati, tata kerama dan sopan santun selalu diterapkan, tidak hanya untuk cama ru (sesama warga kampung) tetapi juga dengan ata bana (orang lain) atau ata meka (tamu / pendatang). Atas prinsip tiba dia (terima dengan baik) layaknya cama ru. Dan berusaha untuk menghindari melakukan kesalahan dan neka pande cenger (jangan membuat malu) agu neka pande pa'u Beo (dan jangan menjatuhkan harga diri kampung).
Jika kita menganggap pendatang seperti saudara kita, dengan demikian jika suatu saat kita berkunjung ke kampung lain, orang pun memperlakukan kita seperti saudaranya.
Begitu juga jika kita menjadi pendatang, dia-dia holes weki, hese eta, lonto wa (harus bisa menyesuaikan diri, menjaga sikap, perilaku, tutur kata dan kebiasaan) di lingkungan baru.

Agar tidak terjadi calang duing (kesalahpahaman), hendaklah kiranya neka mese nai (jangan sombong)neka toto na e (jangan menunjukan sesuatu secara berlebihan), agu neka cermemuk (jangan gegabah).
Orang tua selalu berpesan, 
neka corok na bowo, ome ngae molorn mongkos (jangan sampai terjadi denda, jika masih bisa bersikap sewajarnya)Kadang, baik buruknya perilaku seseorang berpengaruh pada moral sebuah kampung. 
Ca ata / cengata ge ata calang, wau bo data ca Beo (satu orang yang berbuat salah, akan ditanggung oleh satu kampung dampak buruknya).
Oleh karena itu, setiap penyimpangan atau sekecil apapun calang (kesalahan) tidak akan dibiarkan berlarut menjadi hal besar.
Hukuman terhadap sebuah kesalahan dapat berupa hukuman ringan yaitu ri'ing (teguran), dan hukuman berat yang menyebabkan mbotek (pengaduan) kepada Tua Golo (Kepala Kampung), yang berujung pada keputusan hukum adat bowo (denda). Denda biasanya berupa tuak, lipa (sarung), loce matang (tikar berlapis) atau berupa hewan seperti manuk (ayam), bembe (kambing), kaba (kerbau), tergantung kesalahan yang dibuat seseorang. 
Bentuk pengawasan lain juga adalah ondang (membiarkan)undang/siro (memanggil)indang (mengatur).
Peranan warga kampung sangat berpengaruh dan melengkapi tuing data tua (ajaran orang tua) terhadap kepribadian seseorang.

Beberapa tindakan kekerasan yang terjadi di masyarakat sekarang ini, seperti wajo tau / pulang tau (perkelahian), baka tau (pemukulan) maupun langu (mabuk-mabukkan) sebenarnya adalah kegagalan sistem pengawasan oleh Beo.
Rasa momang cama tau (saling menyayangi), cau cama tau (saling merangkul) maupun ngara cama laing (saling memiliki) telah pudar dan menipis, sehingga calang cekoe (sedikit saja kesalahan) langsung baka roweng (menepuk dada), toto gelu (menunjukan kepalan) dan titi harat (mengacungkan benda tajam).

Selain sebagai tempat bersosialisasi, natas juga sebagai tempat melangsungkan upacara-upacara adat besar, seperti randang (pesta syukuran kampung / kebun), wagal (pesta pernikahan), ataupun tempat cumang cama laki (adu ketangkasan) dan toto ombeng (beradu karya seni) dalam pentas Tarian Caci (tarian tradisional Adat Manggarai).

Pada jaman sekarang, karena adanya penataan kampung secara lebih modern, natas banyak dipakai sebagai jalan. Ada yang berstatus menjadi jalan negara, jalan daerah, jalan desa maupun jalan lingkungan.
Tapi seperti kebanyakan kebiasaan masyarakat tradisional di negeri ini, masih banyak orang yang belum rela natasnya dijadikan fasilitas umum. Mengklaim bahwa natas atau jalan di depan rumahnya adalah masih milik nenek moyangnya. Hal tersebut, kadang menimbulkan bentrok dan mengganggu kenyamanan bersama.

C. Compang (Mesba penyembahan di tengah kampung)


Compang adalah pusat kehidupan sebuah Beo / kampung. Pada Beo Pu'u atau kampung tua yang polanya linear atau liup (mengelilingi), compang biasanya berada di tengah. Ini adalah sistem kepercayaan Ata Kempo atau Ata Manggarai secara keseluruhan, yaitu berpusat pada satu titik lalu menyebar ke arah luar.
Sistem berpusat pada satu titik seperti ini juga terdapat pada s
ekang (rumah) ada siri reha (tiang tengah), juga dalam uma (kebun) ada lodok (pusat kebun).
 Ke tiga bentuk keyakinan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga sangat sulit untuk menentukan, yang mana sebenarnya duluan ada, apakah sekang, beo atau uma ? (...akan di dalami lebih lanjut)
Ketiga tempat tersebut memiliki fungsinya sama yaitu sebagai tempat penyembahan / pemujaan kepada roh dari tiap tempat tersebut

Compang adalah tempat penyembahan kepada roh yang berada di tengah beo.
Dalam ritual adat tertentu, seperti randang beo (syukuran kampung), akan dilaksanakan beberapa upacara adat pada sebuah compang. Misalnya menyembelih hewan kurban sebagai tanda persembahan kepada roh, agar sebuah kampung terbebas dari pengaruh jahat atau pembersihan kampung atas sesuatu malapetaka yang pernah terjadi.

Struktur compang terdiri dari onggokan batu yang disusun melingkar dan terdapat sebuah batu yang ada di tengahnya, atau sebuah pohon yang tumbuh di tengahnya.
Biasanya susunan batu tersebut disusun lebih rapi dan lebih tinggi dari keadaan tanah di sekitarnya. Hal ini untuk membedakan sebuah compang dengan onggokan batu biasa.
Pada jaman sekarang, karena struktur beo berubah menjadi lebih modern, dengan jalan yang berada di tengah kampung, compang tak lagi berada di tengah rumah-rumah penduduk, kadang berada di sisi jalan.

Untuk kampung-kampung pemekaran baru, compang jarang di temukan lagi. Bahkan setelah masuknya pengaruh ajaran agama, compang telah ditinggalkan dan tak dianggap sebagai tempat yang memiliki nilai magis lagi. Hanya pada kampung-kampung tua saja, compang masih tertata rapi dan masih menjalankan ritual-ritual adat.
Hal tersebut dikarenakan peran Tua Golo (kepala kampung) yang tidak lagi dijalankan semestinya, bahkan Tua Golo sebagai kepala kampung tidak memiliki kekuasaan lagi, karena sistem pemerintahan yang terlalu mendominasi.

D. Pa'ang (Pintu Gerbang Kampung)


Pa'ang adalah pintu gerbang sebuah kampung. Biasanya berupa tanah yang cukup lapang dan berada di bagian depan pintu masuk kampung. Pemilihan tempat yang lapang lebih kepada untuk penggunaan tempat tersebut yang melibatkan orang banyak.
Dalam hubungan sosial antar warga kampung, pa'ang digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan umum. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya berupa realisasi dari apa yang telah diputuskan dalam rapat sebelumnya dibawah kendali Tua Golo.
Misalnya ketika ada rombongan tamu yang hendak mengunjungi kampung, maka seluruh warga kampung curu (menyambut) mereka di pa'ang. Berbagai tradisi dan ritual biasanya disertakan dalam acara penyambutan ini, seperti tuak curu (sebotol tuak untuk penyambutan).
Acara seperti ini masih bertahan sampai sekarang, jika ada kunjungan dari pemerintah atau orang-orang yang datang untuk membantu perubahan pada kampung.
Ndeng langat Pa'ang

Dalam acara adat pernikahan, pa'ang digunakan sebagai tempat curu (penyambutan) rombongan Iname (pihak keluarga perempuan) yang datang padong (menghantar) anak gadisnya yang telah menikah ke kampung suaminya.
Curu pengantin baru, tidak hanya dilakukan oleh Woe (pihak keluarga laki-laki), tetapi juga melibatkan komong iko (mulut sampai ekor; seluruh warga kampung). Inilah inti kebersamaan warga kampung dalam berbagi kebahagiaan, menyambut penghuni baru.
Tebang Gong dan Gendang
Gong dan gendang dibunyikan bertalu-talu, pertanda kampung tersebut sedang berbahagia menyambut gadis baru tersebut.
Rangkaian tradisi pernikahan dalam curu di pa'ang pun dijalankan, mulai dari ris (memberi salam), pa'u tuak (memberi minum), dan beberapa tawar menawar uang pengganti lelah dalam perjalanan. Setelah semuanya selesai, kedua pengantin pun selek (didandani) untuk segera menuju rumah pengantin laki-laki yang diiringi seluruh warga kampung.
Curu biasanya dilakukan saat sore menjelang malam, suatu kebiasaan atau karena kondisi jaman dulu yang rata-rata berjalan kaki, sehingga sore hari baru tiba. (..masih dipelajari)

Pada beberapa ritual tertentu, pa'ang dipakai sebagai tempat untuk melakukan upacara taing hang helang (memberi makan arwah). Upacara ini adalah bagian dari upacara menghormati arwah orang yang meninggal dalam pesta kenduri.
Tidak hanya dalam upacara menghormati arwah, taing hang helang juga dimaksudkan sebagai upacara tolak bala atau membuang sial. Seiring perkembangan jaman, upacara ini mungkin jarang dilakukan.

Di masa sekarang, pada kampung-kampung tua, pa'ang banyak dipakai sebagai ruang rekreasi atau tempat berolahraga. Karena ukurannya cukup luas dan lapang, pada saat tak digunakan sebagai tempat upacara adat, pa'ang difungsikan sebagai lapangan olahraga. Misalnya lapangan bola voli atau lapangan bermain anak-anak.

E. Wae Tiku (Mata Air)


Wae tiku atau tempat air minum merupakan faktor pendukung yang vital untuk sebuah Beo. Bahkan jauh sebelum mendirikan kampung, dalam perencanaan untuk mendirikan sebuah kampung, wae tiku telah diperhitungkan.
Perhitungannya sederhana, semua makhluk hidup membutuhkan air.
Pada Beo Pu'u (kampung tua), wae tiku biasanya berupa mata wae (sumber mata air) langsung yang berada tidak jauh dari kampung.
Baik yang debit airnya cukup besar yang dapat dibuatkan cancor (pancuran) maupun mata air yang debit airnya kecil yang dibuatkan bungki (kolam penampungan langsung pada mata air). Sementara untuk mata air yang letaknya cukup jauh, biasanya dibuatkan pipa dari bambu untuk disalurkan menuju kampung. Hal ini tergantung dari posisi mata air dengan posisi kampung.
Mata air sangat dibutuhkan baik sebagai sumber air minum maupun untuk mandi dan cuci.
Wae Pu'u (mata air) yang dipilih biasanya yang tidak mengering bila musim kemarau tiba. Oleh karena itu, hutan disekitar mata air menjadi milik bersama dan dijaga kelestariannya. Tapi pada masa sekarang, sangat sulit menjaga mata air karena banyaknya ternak yang tidak dibuatkan kandang, juga karena ada yang sengaja merusak hutan disekitar mata air. Maka tak heran, jika musim kemarau tiba, warga kampung akan kesulitan dengan air bersih.


Wae tiku Data Kondas
Pada jaman dulu, wae tiku diyakini memiliki roh penunggu mata air. Sehingga setiap kali hendak menimba air atau melewati wae tiku diharuskan untuk kepok (memanggil), dengan seruan; "cebong ?" (ada yang mandi ??), kalau ada jawaban: cebong !, hendaknya berhenti sejenak, sebelum orang tersebut mempersilahkan kita lewat.
Kalaupun tidak ada jawaban, berhentilah sejenak baru melangkah lagi, agar roh penunggu mata air tersebut tidak marah, yang membuat kita cumang (sakit perut atau muntah-muntah). 

Tempat pemandian biasanya dipisahkan antara Ata Rona (laki-laki) dan Ata Ingwai (perempuan). Seorang laki-laki ketika melewati tempat pemandian perempuan (tentunya didahului kepok; ''cebong'' dan telah dipersilahkan lewat, dia tidak boleh melihat ke arah perempuan apalagi mengajak bicara perempuan tersebut, karena hal itu dianggap sebagai pelanggaran.
Sementara bagi perempuan, jika melewati tempat pemandian laki-laki, harus mengatakan neka rabo ce'e mai cekoen (permisi saya mau lewat).
Pelanggaran terhadap hal tersebut, bisa mbotek (di adukan) kepada Tua Golo, dan kepada pelanggar dikenakan bowo (denda), berupa ayam atau tuak.

Pada Beo weru (kampung pemekaran), kebanyakan sumber air minum bergantung pada kali atau sungai. Namun karena, kali atau sungai juga dipakai sebagai tempat pene kaba (tempat berendam kerbau), juga karena kemajuan teknologi di bidang pertanian terutama pemanfaatan pestisida, air sungai yang dijadikan sumber air minum menjadi tercemar.
Sampai pada masa sekarang pun, air minum bersih masih menjadi kendala di bidang kesehatan masyarakat. 
Ditambah lagi dengan pemanfaatan lahan di sekitar mata air yang tidak sesuai peruntukannya. Hal ini akan sulit teratasi karena budaya bahwa tugas perempuanlah untuk menimba air, memasak dan mencuci. Sehingga kaum pria seolah tidak merasakan bagaimana sulitnya menimba, mencuci, dan lelahnya berebut air dengan perempuan lain di wae tiku.
Meskipun upaya pemerintah sedikit memberi kelegaan sementara, namun terasa tidak membantu, karena masyarakat sendiri tidak disiapkan untuk hal tersebut. Belum lagi adanya politisasi proyek air minum bersih, sehingga keadaannya semakin parah. 


Acara Wa'u Wae
Dalam adat pernikahan, upacara wa'u wae (mandi pertama bagi pengantin baru), dilaksanakan di wae pu'u. Upacara ini bertujuan untuk memperkenalkan kepada pengantin baru, bahwa di situlah tempat dia menimba air untuk menunjang tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Upacara ini biasanya dilakukan oleh pihak keluarga pria, bisa juga disertakan dengan ibu-ibu lain di kampung tersebut. Sampai sekarang, upacara ini masih dilaksanakan.


F. Uma / Galung (Kebun / Sawah)


Sebuah Beo atau kampung tidak terlepas dengan uma duat (kebun sebagai sumber makanan). Sebelum mengenal pertanian sawah, Ata Kempo mengolah pertanian lahan kering yang disebut uma.
Lahan garapan baru atau uma rana biasanya melalui beberapa tahapan dalam pengerjaannya. Mulai dari nempung cama (kesepakatan bersama) dibawah kendali Tua Golo  (Kepala Kampung) dengan pertimbangan Penggawa (pembantu Dalu). 
Setelah disepakati dalam nempung cama, ritual selanjutnya adalah tente lodok (menentukan titik pusat) dari lahan baru yang akan dijadikan uma rana nanti.
Proses ini melibatkan seorang Mbeko (dukun) yang memahami kekuatan supranatural, untuk memastikan apakah Empo Tana (roh penjaga bumi) menyetujui pembukaan lahan baru tersebut, dan apa yang dimintanya sebagai tebusan. Jika hal tersebut dapat terpenuhi, maka dilakukan pati (pembagian), poka puar (mulai dibersihkan), tapa uma (pembakaran lahan), hupi (pembersihan), pacek (menanam), kena (membuat pagar), rimu (menyiangi rumput) hingga ako (panen) selesai.

Pembagian uma dimulai pada lodok (titik pusat), lalu keluar ke arah cicing (batas luar), menyerupai jaring laba-laba. Setiap bagian uma memiliki ni'i (batas) kiri kanannya, yang ditandai dengan lance (bambu yang dibelah). Meski ada juga sistem lain yaitu lapat (pembagian sejajar). Pembagian di lodok (titik pusat) berdasarkan jumlah Batu (klan), berapa Tua Batu (kepala klan), biasanya bagiannya Tua Golo lebih besar, lalu setiap Batu dibagi lagi ke setiap Kope (kepala keluarga) dengan bagian Tua Batu biasanya lebih besar. 
Sebagai pusat dari uma, lodok dianggap sebagai tempat roh penjaga bumi bertahta, sehingga terdapat banyak upacara yang dilakukan di lodok, selama kebun tersebut masih digarap.
Seperti halnya Sekang (rumah) memiliki Siri reha (tiang tengah), pada Beo (kampung) memiliki Comapang (mesba penyembahan) demikian pun pada uma (kebun) memiliki Lodok. Fungsi dan tujuan dari ritual yang dilakukan di lodok adalah untuk memuja sang Empo ngara tana (roh penjaga bumi), agar diberikan hasil panen yang berlimpah.

Uma masa (Kebun lahan kering)
Uma biasanya ditanami tanaman pangan seperti mawo golo (padi lahan kering), latung (jagung), tete wogor (ubi kayu), tete wase (ubi jalar), teko (ubi talas), ngang, tese, juga kacang-kacangan seperti wue (kacang panjang), leba (kecapir), celok, juga sayur dan buah-buahan seperti ndisi (labu siam), timung (ketimun), kelas (sejenis labu), rewas (sejenis labu), kaung (pepaya), muku (pisang) dll.
Kesemua tanaman tersebut merupakan bahan pangan yang menunjang kelangsungan hidup penduduk kampung. Jika musim panen hasilnya berlimpah akan dilakukan randang (syukuran) dengan berbagai kegiatan di dalamnya.
Setelah selesai panen pada ladang berpindah, uma rana lalu ditinggalkan dan membuka lahan baru lagi untuk digarap.

Dulu sistem uma Data Kempo, selalu berpindah-pindah dan hanya sekali digarap. Namun karena dirasa suatu uma adalah lahan subur, maka uma tersebut digarap dua kali yang disebut uma lokangKetika dirasa cukup subur, uma rana yang telah dipanen, di cua (dibersihkan) lagi untuk mempersiapkan musim tanam berikutnya.
Setelah adanya perubahan pola pikir, dan pembukaan lahan baru yang terasa semakin berat, kemudian dikenalnya sistem kepemilikan lahan setelah jaman kemerdekaan, penduduk kampung mulai menanami uma dengan tanaman berumur panjang seperti kupi (kopi) dan welu (kemiri). Dan belakangan tanaman perdagangan lain pun seperti cengkeh, coklat, vanili, merica, kelapa, serta pohon buah-buahan seperti nangka, mangga, rambutan, alpukat dll, mulai ditanam dan diusahakan.

Galung (sawah)
Setelah jaman kemerdekaan, sistem pertanian sawah mulai diperkenalkan. Karena sebelumnya, hanya pertanian lahan kering yang biasa diusahakan, sehingga pembagian bajak (lahan basah) juga mengikuti pembagian lahan kering. Namun tidak banyak sawah yang dibagi dengan sistem lodok, kebanyakan memakai sistem lapat (berjajar).
Disamping itu, kebanyakan sawah dengan pengairan reguler baru muncul belakangan, itupun atas usaha sendiri. Karena di awal pengenalan sistem pertanian sawah, masih banyak orang yang ragu akan keberhasilannya, sehingga tetap bertahan dengan pertanian lahan kering.
Hal ini karena Ata Kempo dulu meyakini bahwa bajak (rawa-rawa / lahan basah) merupakan tanah rinting (dihuni oleh makhluk halus atau jin). Mengganggu mereka berarti mencari mati.
Padahal kalau ditelusuri, bajak merupakan sarang nyamuk, sehingga bisa terserang malaria dan menyebabkan kematian.

Dalam adat pernikahan, pasangan suami istri yang telah memulai kehidupan rumah tangga, akan dibagikan bagian lahan sebagai warisan orang tuanya. Berupa uma masa (lahan kering) dan galung (sawah). Uma duat tersebut sebagai tempat mereka mengusahakan sesuatu untuk membangun keluarganya. Tidak hanya uma dan galung pekarangan lain seperti po'ong (kebun sayur-sayuran) pun, dibagi sesuai dengan pembagian adil dari orang tua, serta diketahui oleh saudara-saudaranya.

G. Salang (Jalan)


Salang watu (jalan bebatuan)
Salang atau jalan adalah faktor penting untuk menghubungkan tempat yang satu dengan yang lainnya. Salang menghubungkan kampung satu dengan kampung lain, salang menghubungkan Beo dan uma duat, menghubungkan Sekang dan Wae tiku, dll.
Walau fungsi salang hanyalah tempat untuk berjalan untuk menuju suatu tempat, namun keberadaannya tak terlepas dari kehidupan penduduk kampung. 
Meski kondisinya berupa salang lako wai (setapak), salang watu pongkor (jalan dengan tebaran bebatuan), salang pumpuk (jalan diatas rumput), atau salang pitak (jalan berlumpur yang pekat). Namun salang menjadi saksi bisu setiap pergerakan manusia. Salang mengajarkan bagaimana alam diperlakukan, memberitahukan siapa kita diantara rimbunnya pepohonan, siapa kita diantara setiap makhluk alam yang kita temui tiap hari.

 Dalam kehidupan biasa, salang adalah bagian alam luar yang perlu untuk kita  menyesuaikan diri dengan keadaannya. Setiap orang bebas untuk melewatinya, sekali atau seringkali, sebentar atau lama.
Namun dibalik kebebasan tersebut terselip aturan yang tak pernah tertulis dengan bahasa manusia. Kita hanya perlu lelo (melihat), senget (mendengar), duing (merasakan) dan nuing (meresapi) setiap lekuk liku jalan tersebut.
Salang bukanlah tempat untuk mengekspresikan sisi liar kehidupan manusia, tetapi sebaliknya salang adalah sisi liar alam yang perlu kita pahami.


Salang lako wai (jalan setapak)
Bagi Ata Kempo pada jaman dulu, salang adalah milik bersama, baik seluas padang rumput maupun hanya melewati celah bebatuan.
Baik yang disepakati bersama di tempat yang jadi milik umum maupun inisiatif sendiri di tanah yang jadi miliknya.
Berbagi dan menempatkan diri pada keadaan orang lain, itulah alasan sederhananya.
Jika sebuah salang melewati tanah, uma, galung, racap sekang yang menjadi milik orang lain, kita harus menjaga sikap, prilaku, dan kata-kata.
Jika ingin memakai salang yang dibuat atas inisiatif sendiri pemilik tanah, harus atas kesepakatan pemilik tanah tersebut. Begitu pun jika membuat salang yang melewati tanah yang menjadi milik orang, harus dibicarakan dulu sebelumnya.
Hingga semuanya tak ada yang keberatan, tidak ada penghadangan, tidak ada konflik, dan menelusuri jalan terasa santai.

G. Boa (Kuburan)


Semua manusia pasti mati, hanya saja waktu dan tempatnya berbeda tiap orang, dan kapan saatnya itu tiba, itulah yang menjadi misteri.
Sadar akan hal tersebut, dalam penataan Beo data Kempo, dibuatkan sebuah tempat pemakaman atau kuburan yang di sebut Boa.
Jika Beo adalah tempat yang didiami oleh orang yang masih hidup, maka tempat yang didiami oleh arwah orang mati dinamakan Boa.
Boa adalah tempat dimana seseorang yang telah mati di boak (dikuburkan), dan di sanalah jasadnya dikuburkan dan wakar (arwahnya) diyakini masih menjaga sanak saudaranya yang masih hidup. Meski di satu sisi, Ata Kempo percaya bahwa kematian seseorang terjadi karena benta Le Muri (telah dipanggil oleh Sang Pencipta / tuhan).

Letak Boa biasanya tidak boleh berada di sebelah atas beo, karena beo berada di lereng maka boa harus berada di bagian bawahnya lagi. Atau jika beo berada di par leso (arah matahari terbit) sebelah timur, maka boa berada di nucep (arah matahari terbenam) sebelah barat.

                                               ***********************************

http://adatbudaya-kempo.blogspot.com/2013/08/faktor-pendukung-beo-data-kempo.html

Cttn: Neka rabo (maaf) mungkin belum terlalu lengkap, karena keterbatasan waktu untuk melakukan pengenalan yang mendalam. Mungkin masih banyak kekurangan dalam uraian diatas, masukan akan sangat berarti untuk melengkapinya.
Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.
Sekiranya masukan menjadi hal yang berharga untuk kita diskusikan…

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tksh.banyak ite,untuk kita saling membagi,ceritra tentang budaya adat istiadat tutur kata bahasa Manggarai Kempo yang Asli,Semoga kita Mewaris kan kepada anak anak kita,neka hemong jaong kempo,terutama bagi kita yang merantau.Tabe ite dan tksh.banyak....🤝🙏🙏🙏