Sebuah kampung bagi Ata Kempo (Orang Kempo) dibangun dengan sebuah
sistem pendukung yang menjamin kelangsungan kehidupan pada kampung tersebut.
Kampung tidak dapat berdiri sendiri, juga tidak muncul begitu saja.
Semua sistem pendukung tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain yang membentuk kehidupan itu sendiri.
Kampung tidak dapat berdiri sendiri, juga tidak muncul begitu saja.
Semua sistem pendukung tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain yang membentuk kehidupan itu sendiri.
Ada beberapa hal yang menjadi faktor utama, yaitu Sekang bate kaeng
(rumah tempat tinggal), Natas bate labar (halaman tempat bermain), Wae bate
tiku (mata air tempat menimba air), Salang bate lako (jalan yang pernah di setapak), Uma
bate duat (kebun untuk bekerja). Ada juga beberapa hal yang tak kalah penting keberadaannya, namun tidak sering
dibicarakan.
Faktor pendukung tersebut antara lain ;
Faktor pendukung tersebut antara lain ;
A. Sekang (Rumah)
Sekang adalah tempat untuk kaeng (tinggal), melindungi diri dari
kondisi alam maupun dari serangan binatang buas.
Tempat latang tau toko (tidur / membaringkan kepala), terbenam dalam
mimpi-mimpi, kesep ciang tana (sebelum esok kembali lagi).
Rumah adalah tempat anak istri menunggu, tersenyum penuh harap apa yang didapat dari seorang laki-laki sejak
pagi hari tinggalkan rumah.
Rumah adalah tempat anak-anak bermain dan menunggu Ayah-Ibunya pulang dari bekerja.
Rumah adalah tempat anak-anak bermain dan menunggu Ayah-Ibunya pulang dari bekerja.
Rumah adalah tempat berbagi cerita, tertawa lepas dalam
kebahagian yang terbatas alam, atau terisak bersama kebekuan alam.
Rumah adalah tempat memulai hari dan mengakhiri hari, banyak kisah yang terbangun diantara ruang, cerita yang terekam dalam waktu dan jejak-jejak yang membekas dalam perjalanan hidup.
Rumah adalah tempat memulai hari dan mengakhiri hari, banyak kisah yang terbangun diantara ruang, cerita yang terekam dalam waktu dan jejak-jejak yang membekas dalam perjalanan hidup.
Sekang adalah area privasi sebuah keluarga dalam satu kampung, para lewangn olo, congkorn musi (dari pintu gerbang sampai halaman belakang) adalah hak kepemilikan data ngara sekang (pemilik rumah) yang diakui oleh komong iko (seluruh penghuni kampung).
Tidak ada seorang pun yang boleh melakukan aktivitas
sembarangan tanpa ijin pemilik rumah. Juga tidak ada yang sesuka hati
mengklaim kepemilikan atas rumah dan tanah yang ditempati oleh sebuah keluarga.
Meski rumah adalah area privasi sebuah keluarga atau ata
ngara sekang (pemilik rumah), namun tetap memperhitungkan kenyamanan dan
keteraturan bersama.
Lelo hae cupu / baling mai (sesuaikan diri dengan orang yang berada disekitar) terutama dalam hal kenyamanan lingkungan. Misalnya, tidak boleh seenaknya teriak dan tertawa hingga larut malam, jika tidak ada yang perlu dikerjakan.
Pembangunan rumah dan pemanfaatan lahan disekitar rumah harus memperhatikan ketentuan umum, seperti ni'i (batas samping). Tidak boleh menanam pohon besar di dekat rumah orang yang berada di sebelah nya.
Lelo hae cupu / baling mai (sesuaikan diri dengan orang yang berada disekitar) terutama dalam hal kenyamanan lingkungan. Misalnya, tidak boleh seenaknya teriak dan tertawa hingga larut malam, jika tidak ada yang perlu dikerjakan.
Pembangunan rumah dan pemanfaatan lahan disekitar rumah harus memperhatikan ketentuan umum, seperti ni'i (batas samping). Tidak boleh menanam pohon besar di dekat rumah orang yang berada di sebelah nya.
Setiap orang mempunyai hak membangun rumahnya, di tanah yang menjadi miliknya, dengan model dan tipe apapun sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga dengan ritual dan upacara yang dilaksanakan ketika membangun rumah, menjadi urusan pemilik rumah.
Jika pemilik rumah berbaik hati, pada acara titi sekang (memulai pembangunan rumah) atau tuke sekang (menempati rumah baru), ia akan mengundang orang untuk berdoa bersama atas pembangunan rumah tersebut. Di masa sekarang, sekang Data Kempo banyak yang telah berubah bentuk dan fungsinya. Sekang tenda eta (rumah panggung) dan sekang wunut / ri'i (rumah beratap ijuk / alang-alang) jarang ditemukan lagi.
Jika pemilik rumah berbaik hati, pada acara titi sekang (memulai pembangunan rumah) atau tuke sekang (menempati rumah baru), ia akan mengundang orang untuk berdoa bersama atas pembangunan rumah tersebut. Di masa sekarang, sekang Data Kempo banyak yang telah berubah bentuk dan fungsinya. Sekang tenda eta (rumah panggung) dan sekang wunut / ri'i (rumah beratap ijuk / alang-alang) jarang ditemukan lagi.
Tidak hanya sebagai tempat tinggal, rumah juga sebagai
tempat melangsungkan berbagai upacara adat. Seperti lonto jaong Iname/Woe
(pembicaraan adat antara pihak laki-laki dan perempuan) dalam acara pernikahan,
lonto jaong coga seng werong Weta (pembicaraan adat dalam hal meminta bantuan
pihak saudara perempuan) serta beberapa acara lain seperti syukuran, pesta
maupun acara kelas (kenduri) dalam tata cara adat kematian.
Dalam hubungan sosial masyarakat, sekang digunakan
sebagai tempat untuk nempung (bermusyawarah) maupun tempat wali (membicarakan
sesuatu) yang berkaitan dengan hal-hal penting.
Ata Kempo bisanya jika ada yang ingin disampaikan atau dibicarakan dengan seseorang, tidak etis kalau hanya disampaikan di jalan atau saat ketemu dimana saja. Biasanya selalu buat janji terlebih dahulu untuk kaping sekang (bertamu ke rumah).
Maupun jika kewit/siro (mengundang) orang, sebaiknya langsung ke rumah orang bersangkutan.
Ata Kempo bisanya jika ada yang ingin disampaikan atau dibicarakan dengan seseorang, tidak etis kalau hanya disampaikan di jalan atau saat ketemu dimana saja. Biasanya selalu buat janji terlebih dahulu untuk kaping sekang (bertamu ke rumah).
Maupun jika kewit/siro (mengundang) orang, sebaiknya langsung ke rumah orang bersangkutan.
Dalam pergaulan di masa sekarang, kadang banyak pende dise Empo, tuing dise Ame (hal-hal yang telah diajarkan oleh pendahulu atau Nenek Moyang) tidak dihiraukan lagi.
Pada jaman dulu, segala sesuatu yang menyangkut acara
atau apa saja yang dilakukan di rumah, harus meminta persetujuan Orang Tua.
Karena rumah adalah milik orang tua, dan bertanggungjawab atas segala sesuatu
yang terjadi di dalamnya.
Bahkan jika terjadi wendo (membawa lari anak gadis orang) seorang laki-laki tidak akan masuk ke rumah orang tua gadis tersebut. Begitu juga jika sudah sampai di rumah orang tua si pemuda, seorang perempuan tidak boleh masuk ke rumah sebelum ada persetujuan orang tua, atau paling tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu, sehingga beberapa proses adat dapat segera dilakukan.
Bahkan jika terjadi wendo (membawa lari anak gadis orang) seorang laki-laki tidak akan masuk ke rumah orang tua gadis tersebut. Begitu juga jika sudah sampai di rumah orang tua si pemuda, seorang perempuan tidak boleh masuk ke rumah sebelum ada persetujuan orang tua, atau paling tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu, sehingga beberapa proses adat dapat segera dilakukan.
Namun pada masa kini, beberapa hal diantaranya telah
dilanggar, misalnya anak tak lagi meminta persetujuan orang tua, untuk
melakukan apa saja didalamnya. Tiba-tiba saja, seorang gadis atau pemuda muncul
di rumah, tanpa pemberitahuan kepada orang tua.
Bahkan ada yang menjadikan rumah sebagai tempat untuk
menyalurkan ekspresi ugal-ugalan untuk kesenangan mereka, tanpa menghiraukan
keadaan orang tua.
Semua hal tersebut terjadi karena kesalahan orang tua
yang tak sempat mengajarkan anak-anaknya, apa arti dan makna sebuah sekang
kaeng (rumah sebagai tempat tinggal).
Dalam tradisi ahli waris atas sebuah rumah, meski tidak secara tertulis, Ata Kempo pada jaman dulu sangat menghormatinya. Yang berhak untuk mewariskan rumah orang tua adalah anak laki-laki yang bungsu. Selain itu, semua anak laki-laki yang telah menikah harap segera wa'u one mai sekang (segera membuat rumah sendiri) dan akan dibagikan bagian lahan untuk membangun rumah.
Alasan pembagian warisan sekang kaeng kepada anak
laki-laki bungsu adalah karena dia yang paling kecil dan selanjutnya kabang agu
taing hang (menanggung kehidupan) orang tua di masa tuanya adalah anak bungsu
tersebut.
Pada dasarnya, Ata Kempo selalu menggambarkan atau mengkiaskan sesuatu dengan hal yang sederhana. Begitu pun pada sebuah rumah, istilah untuk menggantikan kata sekang adalah mbau / mbau haju (bayangan pohon), atau yang paling sederhana lagi adalah cewo (sarang; untuk binatang).
Kiasan nama tersebut sebagai gambaran fungsi rumah pada jaman dulu sebagai tempat berteduh atau melindungi diri dari keadaan alam, serta sebagai tempat untuk tidur.
Sedangkan cewo sendiri sebenarnya adalah gambaran untuk rumah yang keadaannya sangat berantakan atau tidak diurus.
B. Natas (Halaman)
Natas atau halaman adalah tempat bermain, bersosialisasi, dan bertemu baik ata ca Beo (sesama warga kampung), ata burut (orang yang lewat), maupun ata lambu (orang
yang berkunjung).
Natas adalah tempat latang tau labar (tempat bermain),
sebagaimana halnya anak-anak, masa kecilnya banyak dihabiskan untuk bermain.
Proses belajar tingkat kedua dari seorang anak setelah landong adalah natas, dimana dia akan bertemu dan bermain dengan anak-anak lain dengan berbagai ruku (karakter).
Tak akan pernah terlupakan selama hidupnya, tentang segala keceriaan bermain di natas, kemana pun seseorang pergi setelah dewasa nanti.
Proses belajar tingkat kedua dari seorang anak setelah landong adalah natas, dimana dia akan bertemu dan bermain dengan anak-anak lain dengan berbagai ruku (karakter).
Tak akan pernah terlupakan selama hidupnya, tentang segala keceriaan bermain di natas, kemana pun seseorang pergi setelah dewasa nanti.
Tidak hanya ata Koe (anak-anak), ata Reba (para pemuda) maupun ata Tua (orang dewasa) seringkali menggunakan natas sebagai tempat
berkumpul sekedar nunduk-nunduk agu jambor (bercerita atau bersenda gurau).
Natas sebagai tempat sosialisasi dan pengawasan setiap wa
lusi weki (tingkah laku), holes weki (sikap) dan cengka jaong (tutur kata)
diantara sesama warga kampung.
Tidak ada yang luput dari pantauan sesama, oleh karena itu setiap orang akan lelo (melihat), senget (mendengar), rupa (memperhatikan), tui / tuing (memberitahu/mengajarkan) dan pande laing (berbuat) apa yang menjadi hal baik dari yang dipahaminya dari proses belajar tersebut. Sikap hormat-menghormati, tata kerama dan sopan santun selalu diterapkan, tidak hanya untuk cama ru (sesama warga kampung) tetapi juga dengan ata bana (orang lain) atau ata meka (tamu / pendatang). Atas prinsip tiba dia (terima dengan baik) layaknya cama ru. Dan berusaha untuk menghindari melakukan kesalahan dan neka pande cenger (jangan membuat malu) agu neka pande pa'u Beo (dan jangan menjatuhkan harga diri kampung).
Jika kita menganggap pendatang seperti saudara kita, dengan demikian jika suatu saat kita berkunjung ke kampung lain, orang pun memperlakukan kita seperti saudaranya.
Begitu juga jika kita menjadi pendatang, dia-dia holes weki, hese eta, lonto wa (harus bisa menyesuaikan diri, menjaga sikap, perilaku, tutur kata dan kebiasaan) di lingkungan baru.
Tidak ada yang luput dari pantauan sesama, oleh karena itu setiap orang akan lelo (melihat), senget (mendengar), rupa (memperhatikan), tui / tuing (memberitahu/mengajarkan) dan pande laing (berbuat) apa yang menjadi hal baik dari yang dipahaminya dari proses belajar tersebut. Sikap hormat-menghormati, tata kerama dan sopan santun selalu diterapkan, tidak hanya untuk cama ru (sesama warga kampung) tetapi juga dengan ata bana (orang lain) atau ata meka (tamu / pendatang). Atas prinsip tiba dia (terima dengan baik) layaknya cama ru. Dan berusaha untuk menghindari melakukan kesalahan dan neka pande cenger (jangan membuat malu) agu neka pande pa'u Beo (dan jangan menjatuhkan harga diri kampung).
Jika kita menganggap pendatang seperti saudara kita, dengan demikian jika suatu saat kita berkunjung ke kampung lain, orang pun memperlakukan kita seperti saudaranya.
Begitu juga jika kita menjadi pendatang, dia-dia holes weki, hese eta, lonto wa (harus bisa menyesuaikan diri, menjaga sikap, perilaku, tutur kata dan kebiasaan) di lingkungan baru.
Agar tidak terjadi calang duing (kesalahpahaman), hendaklah kiranya neka mese nai (jangan sombong), neka toto na e (jangan menunjukan sesuatu secara berlebihan), agu neka cermemuk (jangan gegabah).
Orang tua selalu berpesan, neka corok na bowo, ome ngae molorn mongkos (jangan sampai terjadi denda, jika masih bisa bersikap sewajarnya). Kadang, baik buruknya perilaku seseorang berpengaruh pada moral sebuah kampung.
Ca ata / cengata ge ata calang, wau bo data ca Beo (satu orang yang berbuat salah, akan ditanggung oleh satu kampung dampak buruknya).
Oleh karena itu, setiap penyimpangan atau sekecil apapun calang (kesalahan) tidak akan dibiarkan berlarut menjadi hal besar.
Hukuman terhadap sebuah kesalahan dapat berupa hukuman ringan yaitu ri'ing (teguran), dan hukuman berat yang menyebabkan mbotek (pengaduan) kepada Tua Golo (Kepala Kampung), yang berujung pada keputusan hukum adat bowo (denda). Denda biasanya berupa tuak, lipa (sarung), loce matang (tikar berlapis) atau berupa hewan seperti manuk (ayam), bembe (kambing), kaba (kerbau), tergantung kesalahan yang dibuat seseorang.
Bentuk pengawasan lain juga adalah ondang (membiarkan), undang/siro (memanggil), indang (mengatur).
Peranan warga kampung sangat berpengaruh dan melengkapi
tuing data tua (ajaran orang tua) terhadap kepribadian seseorang.
Beberapa tindakan kekerasan yang terjadi di masyarakat
sekarang ini, seperti wajo tau / pulang tau (perkelahian), baka tau (pemukulan) maupun langu (mabuk-mabukkan) sebenarnya
adalah kegagalan sistem pengawasan oleh Beo.
Rasa momang cama tau (saling menyayangi), cau cama tau
(saling merangkul) maupun ngara cama laing (saling memiliki) telah pudar dan
menipis, sehingga calang cekoe (sedikit saja kesalahan) langsung baka roweng
(menepuk dada), toto gelu (menunjukan kepalan) dan titi harat (mengacungkan
benda tajam).
Selain sebagai tempat bersosialisasi, natas juga sebagai tempat melangsungkan upacara-upacara adat besar, seperti randang (pesta syukuran kampung / kebun), wagal (pesta pernikahan), ataupun tempat cumang cama laki (adu ketangkasan) dan toto ombeng (beradu karya seni) dalam pentas Tarian Caci (tarian tradisional Adat Manggarai).
Pada jaman sekarang, karena adanya penataan kampung
secara lebih modern, natas banyak dipakai sebagai jalan. Ada yang berstatus
menjadi jalan negara, jalan daerah, jalan desa maupun jalan lingkungan.
Tapi seperti kebanyakan kebiasaan masyarakat tradisional
di negeri ini, masih banyak orang yang belum rela natasnya dijadikan fasilitas
umum. Mengklaim bahwa natas atau jalan di depan rumahnya adalah masih milik
nenek moyangnya. Hal tersebut, kadang menimbulkan bentrok dan mengganggu kenyamanan bersama.
C. Compang (Mesba penyembahan di tengah kampung)
Compang adalah pusat kehidupan sebuah Beo / kampung. Pada Beo Pu'u atau kampung tua yang polanya linear atau liup (mengelilingi), compang biasanya berada di tengah. Ini adalah sistem kepercayaan Ata Kempo atau Ata Manggarai secara keseluruhan, yaitu berpusat pada satu titik lalu menyebar ke arah luar.
Sistem berpusat pada satu titik seperti ini juga terdapat pada sekang (rumah) ada siri reha (tiang tengah), juga dalam uma (kebun) ada lodok (pusat kebun).
Sistem berpusat pada satu titik seperti ini juga terdapat pada sekang (rumah) ada siri reha (tiang tengah), juga dalam uma (kebun) ada lodok (pusat kebun).
Ke tiga bentuk keyakinan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga sangat
sulit untuk menentukan, yang mana sebenarnya duluan ada, apakah sekang, beo atau uma ? (...akan di dalami lebih lanjut)
Ketiga tempat tersebut memiliki fungsinya sama yaitu sebagai tempat penyembahan / pemujaan kepada roh dari tiap tempat tersebut
Compang adalah tempat penyembahan kepada roh yang berada
di tengah beo.
Dalam ritual adat tertentu, seperti randang beo (syukuran kampung), akan dilaksanakan beberapa upacara adat pada sebuah compang. Misalnya menyembelih hewan kurban sebagai tanda persembahan kepada roh, agar sebuah kampung terbebas dari pengaruh jahat atau pembersihan kampung atas sesuatu malapetaka yang pernah terjadi.
Dalam ritual adat tertentu, seperti randang beo (syukuran kampung), akan dilaksanakan beberapa upacara adat pada sebuah compang. Misalnya menyembelih hewan kurban sebagai tanda persembahan kepada roh, agar sebuah kampung terbebas dari pengaruh jahat atau pembersihan kampung atas sesuatu malapetaka yang pernah terjadi.
Struktur compang terdiri dari onggokan batu yang disusun melingkar dan terdapat sebuah batu yang ada di tengahnya, atau sebuah pohon yang tumbuh di tengahnya.
Biasanya susunan batu tersebut disusun lebih rapi dan lebih tinggi dari keadaan tanah di sekitarnya. Hal ini untuk membedakan sebuah compang dengan onggokan batu biasa.
Pada jaman sekarang, karena struktur beo berubah menjadi lebih modern,
dengan jalan yang berada di tengah kampung, compang tak lagi berada di tengah
rumah-rumah penduduk, kadang berada di sisi jalan.
Untuk kampung-kampung pemekaran baru, compang jarang di temukan lagi. Bahkan setelah masuknya pengaruh ajaran agama, compang telah ditinggalkan dan tak dianggap sebagai tempat yang memiliki nilai magis lagi. Hanya pada kampung-kampung tua saja, compang masih tertata rapi dan masih menjalankan ritual-ritual adat.
Hal tersebut dikarenakan peran Tua Golo (kepala kampung) yang tidak lagi dijalankan semestinya, bahkan Tua Golo sebagai kepala kampung tidak memiliki kekuasaan lagi, karena sistem pemerintahan yang terlalu mendominasi.
D. Pa'ang (Pintu Gerbang Kampung)
Pa'ang adalah pintu gerbang sebuah kampung. Biasanya
berupa tanah yang cukup lapang dan berada di bagian depan pintu masuk kampung.
Pemilihan tempat yang lapang lebih kepada untuk penggunaan tempat tersebut yang
melibatkan orang banyak.
Dalam hubungan sosial antar warga kampung, pa'ang
digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan umum. Kegiatan-kegiatan
tersebut biasanya berupa realisasi dari apa yang telah diputuskan dalam rapat
sebelumnya dibawah kendali Tua Golo.
Misalnya ketika ada rombongan tamu yang hendak
mengunjungi kampung, maka seluruh warga kampung curu (menyambut) mereka di
pa'ang. Berbagai tradisi dan ritual biasanya disertakan dalam acara penyambutan
ini, seperti tuak curu (sebotol tuak untuk penyambutan).
Acara seperti ini masih bertahan sampai sekarang, jika
ada kunjungan dari pemerintah atau orang-orang yang datang untuk membantu
perubahan pada kampung.
Ndeng langat Pa'ang |
Dalam acara adat pernikahan, pa'ang digunakan sebagai tempat
curu (penyambutan) rombongan Iname (pihak keluarga perempuan) yang datang
padong (menghantar) anak gadisnya yang telah menikah ke kampung suaminya.
Curu pengantin baru, tidak hanya dilakukan oleh Woe (pihak
keluarga laki-laki), tetapi juga melibatkan komong iko (mulut sampai ekor;
seluruh warga kampung). Inilah inti kebersamaan warga kampung dalam berbagi
kebahagiaan, menyambut penghuni baru.
Tebang Gong dan Gendang |
Rangkaian tradisi pernikahan dalam curu di pa'ang pun
dijalankan, mulai dari ris (memberi salam), pa'u tuak (memberi minum), dan
beberapa tawar menawar uang pengganti lelah dalam perjalanan. Setelah semuanya
selesai, kedua pengantin pun selek (didandani) untuk segera menuju rumah pengantin
laki-laki yang diiringi seluruh warga kampung.
Curu biasanya dilakukan saat sore menjelang malam, suatu kebiasaan atau karena kondisi jaman dulu yang rata-rata berjalan kaki, sehingga sore hari baru tiba. (..masih dipelajari)
Pada beberapa ritual tertentu, pa'ang dipakai sebagai tempat untuk melakukan upacara taing hang helang (memberi makan arwah). Upacara ini adalah bagian dari upacara menghormati arwah orang yang meninggal dalam pesta kenduri.
Pada beberapa ritual tertentu, pa'ang dipakai sebagai tempat untuk melakukan upacara taing hang helang (memberi makan arwah). Upacara ini adalah bagian dari upacara menghormati arwah orang yang meninggal dalam pesta kenduri.
Tidak hanya dalam upacara menghormati arwah, taing hang
helang juga dimaksudkan sebagai upacara tolak bala atau membuang sial. Seiring
perkembangan jaman, upacara ini mungkin jarang dilakukan.
Di masa sekarang, pada kampung-kampung tua, pa'ang banyak dipakai sebagai ruang rekreasi atau tempat berolahraga. Karena ukurannya cukup luas dan lapang, pada saat tak digunakan sebagai tempat upacara adat, pa'ang difungsikan sebagai lapangan olahraga. Misalnya lapangan bola voli atau lapangan bermain anak-anak.
E. Wae Tiku (Mata Air)
Wae tiku atau tempat air minum merupakan faktor pendukung
yang vital untuk sebuah Beo. Bahkan jauh sebelum mendirikan kampung, dalam
perencanaan untuk mendirikan sebuah kampung, wae tiku telah diperhitungkan.
Perhitungannya sederhana, semua makhluk hidup membutuhkan
air.
Pada Beo Pu'u (kampung tua), wae tiku biasanya berupa mata wae (sumber mata air) langsung yang berada tidak jauh dari kampung.
Baik yang debit airnya cukup besar yang dapat dibuatkan cancor (pancuran) maupun mata air yang debit airnya kecil yang dibuatkan bungki (kolam penampungan langsung pada mata air). Sementara untuk mata air yang letaknya cukup jauh, biasanya dibuatkan pipa dari bambu untuk disalurkan menuju kampung. Hal ini tergantung dari posisi mata air dengan posisi kampung.
Baik yang debit airnya cukup besar yang dapat dibuatkan cancor (pancuran) maupun mata air yang debit airnya kecil yang dibuatkan bungki (kolam penampungan langsung pada mata air). Sementara untuk mata air yang letaknya cukup jauh, biasanya dibuatkan pipa dari bambu untuk disalurkan menuju kampung. Hal ini tergantung dari posisi mata air dengan posisi kampung.
Mata air sangat dibutuhkan baik sebagai sumber air minum
maupun untuk mandi dan cuci.
Wae Pu'u (mata air) yang dipilih biasanya yang tidak
mengering bila musim kemarau tiba. Oleh karena itu, hutan disekitar mata air
menjadi milik bersama dan dijaga kelestariannya. Tapi pada masa sekarang, sangat
sulit menjaga mata air karena banyaknya ternak yang tidak dibuatkan kandang,
juga karena ada yang sengaja merusak hutan disekitar mata air. Maka tak heran,
jika musim kemarau tiba, warga kampung akan kesulitan dengan air bersih.
Wae tiku Data Kondas |
Kalaupun tidak ada jawaban, berhentilah sejenak baru melangkah lagi, agar roh penunggu mata air tersebut tidak marah, yang membuat kita cumang (sakit perut atau muntah-muntah).
Tempat pemandian biasanya dipisahkan antara Ata Rona (laki-laki) dan Ata Ingwai (perempuan). Seorang laki-laki ketika melewati tempat pemandian perempuan (tentunya didahului kepok; ''cebong'' dan telah dipersilahkan lewat, dia tidak boleh melihat ke arah perempuan apalagi mengajak bicara perempuan tersebut, karena hal itu dianggap sebagai pelanggaran.
Sementara bagi perempuan, jika melewati tempat pemandian laki-laki, harus mengatakan neka rabo ce'e mai cekoen (permisi saya mau lewat).
Pada Beo weru (kampung pemekaran), kebanyakan sumber air minum bergantung pada kali atau sungai. Namun karena, kali atau sungai juga dipakai sebagai tempat pene kaba (tempat berendam kerbau), juga karena kemajuan teknologi di bidang pertanian terutama pemanfaatan pestisida, air sungai yang dijadikan sumber air minum menjadi tercemar.
Sampai pada masa sekarang pun, air minum bersih masih menjadi kendala di bidang kesehatan masyarakat. Ditambah lagi dengan pemanfaatan lahan di sekitar mata air yang tidak sesuai peruntukannya. Hal ini akan sulit teratasi karena budaya bahwa tugas perempuanlah untuk menimba air, memasak dan mencuci. Sehingga kaum pria seolah tidak merasakan bagaimana sulitnya menimba, mencuci, dan lelahnya berebut air dengan perempuan lain di wae tiku.
Meskipun upaya pemerintah sedikit memberi kelegaan
sementara, namun terasa tidak membantu, karena masyarakat sendiri tidak
disiapkan untuk hal tersebut. Belum lagi adanya politisasi proyek air minum bersih, sehingga keadaannya semakin parah.
Acara Wa'u Wae |
F. Uma / Galung (Kebun / Sawah)
Sebuah Beo atau kampung tidak terlepas dengan uma duat
(kebun sebagai sumber makanan). Sebelum mengenal pertanian sawah, Ata Kempo mengolah
pertanian lahan kering yang disebut uma.
Lahan garapan baru atau uma rana biasanya melalui beberapa tahapan dalam pengerjaannya. Mulai dari nempung cama (kesepakatan bersama) dibawah kendali Tua Golo (Kepala Kampung) dengan pertimbangan Penggawa (pembantu Dalu).
Lahan garapan baru atau uma rana biasanya melalui beberapa tahapan dalam pengerjaannya. Mulai dari nempung cama (kesepakatan bersama) dibawah kendali Tua Golo (Kepala Kampung) dengan pertimbangan Penggawa (pembantu Dalu).
Setelah disepakati dalam nempung cama, ritual selanjutnya adalah tente lodok
(menentukan titik pusat) dari lahan baru yang akan dijadikan uma rana nanti.
Proses ini melibatkan seorang Mbeko (dukun) yang memahami kekuatan supranatural, untuk memastikan apakah Empo Tana (roh penjaga bumi) menyetujui pembukaan lahan baru tersebut, dan apa yang dimintanya sebagai tebusan. Jika hal tersebut dapat terpenuhi, maka dilakukan pati (pembagian), poka puar (mulai dibersihkan), tapa uma (pembakaran lahan), hupi (pembersihan), pacek (menanam), kena (membuat pagar), rimu (menyiangi rumput) hingga ako (panen) selesai.
Proses ini melibatkan seorang Mbeko (dukun) yang memahami kekuatan supranatural, untuk memastikan apakah Empo Tana (roh penjaga bumi) menyetujui pembukaan lahan baru tersebut, dan apa yang dimintanya sebagai tebusan. Jika hal tersebut dapat terpenuhi, maka dilakukan pati (pembagian), poka puar (mulai dibersihkan), tapa uma (pembakaran lahan), hupi (pembersihan), pacek (menanam), kena (membuat pagar), rimu (menyiangi rumput) hingga ako (panen) selesai.
Pembagian uma dimulai pada lodok (titik pusat), lalu keluar ke arah cicing (batas luar), menyerupai jaring laba-laba. Setiap bagian uma memiliki ni'i (batas) kiri kanannya, yang ditandai dengan lance (bambu yang dibelah). Meski ada juga sistem lain yaitu lapat (pembagian sejajar). Pembagian di lodok (titik pusat) berdasarkan jumlah Batu (klan), berapa Tua Batu (kepala klan), biasanya bagiannya Tua Golo lebih besar, lalu setiap Batu dibagi lagi ke setiap Kope (kepala keluarga) dengan bagian Tua Batu biasanya lebih besar.
Sebagai pusat dari uma, lodok dianggap sebagai tempat roh penjaga bumi bertahta, sehingga terdapat banyak upacara yang dilakukan di lodok, selama kebun tersebut masih digarap.
Seperti halnya Sekang (rumah) memiliki Siri reha (tiang
tengah), pada Beo (kampung) memiliki Comapang (mesba penyembahan) demikian pun
pada uma (kebun) memiliki Lodok. Fungsi dan tujuan dari ritual yang dilakukan di lodok adalah untuk memuja sang Empo ngara tana (roh penjaga bumi), agar diberikan hasil panen yang berlimpah.
Uma masa (Kebun lahan kering) |
Kesemua tanaman tersebut merupakan bahan pangan yang
menunjang kelangsungan hidup penduduk kampung. Jika musim panen hasilnya berlimpah akan dilakukan randang (syukuran) dengan berbagai kegiatan di dalamnya.
Setelah selesai panen pada ladang berpindah, uma rana lalu
ditinggalkan dan membuka lahan baru lagi untuk digarap.
Dulu sistem uma Data Kempo, selalu berpindah-pindah dan hanya sekali digarap. Namun karena dirasa suatu uma adalah lahan subur, maka uma tersebut digarap dua kali yang disebut uma lokang. Ketika dirasa cukup subur, uma rana yang telah dipanen, di cua (dibersihkan) lagi untuk mempersiapkan musim tanam berikutnya.
Setelah adanya perubahan pola pikir, dan pembukaan lahan
baru yang terasa semakin berat, kemudian dikenalnya sistem kepemilikan lahan setelah jaman
kemerdekaan, penduduk kampung mulai menanami uma dengan tanaman berumur panjang
seperti kupi (kopi) dan welu (kemiri). Dan belakangan tanaman perdagangan lain pun seperti cengkeh, coklat, vanili, merica, kelapa, serta pohon buah-buahan
seperti nangka, mangga, rambutan, alpukat dll, mulai ditanam dan diusahakan.
Galung (sawah) |
Disamping itu, kebanyakan sawah dengan pengairan reguler baru muncul belakangan, itupun atas usaha sendiri. Karena di awal pengenalan sistem pertanian sawah, masih banyak orang yang ragu akan keberhasilannya, sehingga tetap bertahan dengan pertanian lahan kering.
Hal ini karena Ata Kempo dulu meyakini bahwa bajak
(rawa-rawa / lahan basah) merupakan tanah rinting (dihuni oleh makhluk halus atau
jin). Mengganggu mereka berarti mencari mati.
Padahal kalau ditelusuri, bajak merupakan sarang
nyamuk, sehingga bisa terserang malaria dan menyebabkan kematian.
Dalam adat pernikahan, pasangan suami istri yang telah
memulai kehidupan rumah tangga, akan dibagikan bagian lahan sebagai warisan
orang tuanya. Berupa uma masa (lahan kering) dan galung (sawah). Uma duat tersebut sebagai tempat mereka mengusahakan sesuatu
untuk membangun keluarganya. Tidak hanya uma dan galung pekarangan
lain seperti po'ong (kebun sayur-sayuran) pun, dibagi sesuai dengan pembagian adil dari orang tua, serta diketahui oleh
saudara-saudaranya.
G. Salang (Jalan)
Salang watu (jalan bebatuan) |
Walau fungsi salang hanyalah tempat untuk berjalan untuk menuju
suatu tempat, namun keberadaannya tak terlepas dari kehidupan penduduk kampung.
Meski kondisinya berupa salang lako wai (setapak), salang watu pongkor (jalan dengan tebaran bebatuan), salang pumpuk (jalan diatas rumput), atau salang pitak (jalan berlumpur yang pekat). Namun salang menjadi saksi bisu setiap pergerakan manusia. Salang mengajarkan bagaimana alam diperlakukan, memberitahukan siapa kita diantara rimbunnya pepohonan, siapa kita diantara setiap makhluk alam yang kita temui tiap hari.
Meski kondisinya berupa salang lako wai (setapak), salang watu pongkor (jalan dengan tebaran bebatuan), salang pumpuk (jalan diatas rumput), atau salang pitak (jalan berlumpur yang pekat). Namun salang menjadi saksi bisu setiap pergerakan manusia. Salang mengajarkan bagaimana alam diperlakukan, memberitahukan siapa kita diantara rimbunnya pepohonan, siapa kita diantara setiap makhluk alam yang kita temui tiap hari.
Dalam kehidupan biasa, salang adalah bagian alam luar yang perlu untuk kita menyesuaikan diri dengan keadaannya. Setiap orang bebas untuk melewatinya, sekali atau seringkali, sebentar atau lama.
Namun dibalik kebebasan tersebut terselip aturan yang tak
pernah tertulis dengan bahasa manusia. Kita hanya perlu lelo (melihat), senget (mendengar), duing (merasakan) dan nuing (meresapi) setiap lekuk liku jalan tersebut.
Salang bukanlah tempat untuk mengekspresikan sisi liar
kehidupan manusia, tetapi sebaliknya salang adalah sisi liar alam yang perlu
kita pahami.
Salang lako wai (jalan setapak) |
Baik yang disepakati bersama di tempat yang jadi milik
umum maupun inisiatif sendiri di tanah yang jadi miliknya.
Berbagi dan menempatkan diri pada keadaan orang lain,
itulah alasan sederhananya.
Jika sebuah salang melewati tanah, uma, galung, racap
sekang yang menjadi milik orang lain, kita harus menjaga sikap, prilaku, dan kata-kata.
Jika ingin memakai salang yang dibuat atas inisiatif sendiri pemilik tanah, harus atas kesepakatan pemilik tanah tersebut. Begitu pun jika membuat salang yang melewati tanah yang menjadi milik orang, harus dibicarakan dulu sebelumnya.
Jika ingin memakai salang yang dibuat atas inisiatif sendiri pemilik tanah, harus atas kesepakatan pemilik tanah tersebut. Begitu pun jika membuat salang yang melewati tanah yang menjadi milik orang, harus dibicarakan dulu sebelumnya.
Hingga semuanya tak ada yang keberatan, tidak ada
penghadangan, tidak ada konflik, dan menelusuri jalan terasa santai.
G. Boa (Kuburan)
Semua manusia pasti mati, hanya saja waktu dan tempatnya
berbeda tiap orang, dan kapan saatnya itu tiba, itulah yang menjadi misteri.
Sadar akan hal tersebut, dalam penataan Beo data Kempo,
dibuatkan sebuah tempat pemakaman atau kuburan yang di sebut Boa.
Jika Beo adalah tempat yang didiami oleh orang yang masih
hidup, maka tempat yang didiami oleh arwah orang mati dinamakan Boa.
Boa adalah tempat dimana seseorang yang telah mati di
boak (dikuburkan), dan di sanalah jasadnya dikuburkan dan wakar (arwahnya) diyakini
masih menjaga sanak saudaranya yang masih hidup. Meski di satu sisi, Ata Kempo percaya bahwa kematian seseorang terjadi karena benta Le Muri (telah dipanggil oleh Sang Pencipta / tuhan).
Letak Boa biasanya tidak boleh berada di sebelah atas beo, karena beo berada di lereng maka boa harus berada di bagian bawahnya lagi. Atau jika beo berada di par leso (arah matahari terbit) sebelah timur, maka boa berada di nucep (arah matahari terbenam) sebelah barat.
***********************************
http://adatbudaya-kempo.blogspot.com/2013/08/faktor-pendukung-beo-data-kempo.html
Cttn: Neka rabo (maaf) mungkin belum terlalu lengkap, karena keterbatasan waktu untuk melakukan pengenalan yang mendalam. Mungkin masih banyak kekurangan dalam uraian diatas, masukan akan sangat berarti untuk melengkapinya.
Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.
Sekiranya masukan menjadi hal yang berharga untuk kita diskusikan…
Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.
Sekiranya masukan menjadi hal yang berharga untuk kita diskusikan…
1 komentar:
Tksh.banyak ite,untuk kita saling membagi,ceritra tentang budaya adat istiadat tutur kata bahasa Manggarai Kempo yang Asli,Semoga kita Mewaris kan kepada anak anak kita,neka hemong jaong kempo,terutama bagi kita yang merantau.Tabe ite dan tksh.banyak....🤝🙏🙏🙏
Posting Komentar