Translate

Kamis, 29 Agustus 2013

Hubungan Kekerabatan Dan Klasifikasi Masyarakat Data Kempo - Manggarai Barat

Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Kempo, sangatlah kental dan masih terus dipertahankan hingga kini. Hubungan kekerabatan, tidak saja mengikat seseorang dengan orang lain atas dasar garis keturunan dan perkawinan tetapi juga mencakup wilayah dan tempat tinggal.
Hubungan kekerabatan itu dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu;

A. Hubungan kekerabatan berdasarkan hubungan darah / genealogi


Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Kempo mempunyai keterkaitan dengan konsep keyakinan dan struktur fisik seperti Sekang (rumah), Beo (kampung), Compang (mesbah penyembahan), dan lodok uma (pusat kebun).
Hubungan kekeluargaan dimulai dari lingkup terkecil, hingga yang terbesar.

Tata urutan klasifikasi hubungan tersebut sebagai berikut;
  1. Ata / ca ata / cengata (Orang / Seorang)

    Orang atau perseorangan dalam bahasa Kempo disebut ata / ca ata / cengata (satu orang). 
    Penyebutan untuk seseorang yang biasa digunakan dalam masyarakat Kempo adalah cengata (seseorang)Cengata adalah pribadi tunggal yang bebas dari ikatan apapun. Cengata bisa Ata Rona (laki-laki), Ata Inewai / Ingwai (perempuan), Ata Koe (anak kecil), Ata Reba / Molas (Pemuda / Gadis), dan Ata Tua (orang tua).

  2. Kope / Ca kope / Kilo (Kepala Keluarga dan Keluarga)

    Kope dalam bahasa Kempo diartikan sebagai parang atau pedang.
    Kope adalah lambang rani (keberanian), lambang gesing (kekuatan / keperkasaan), lambang guri / gejur (kesanggupan / tanggungjawab) dan lambang laki (kejantanan)
    Dalam adat istiadat dan budaya, kope melambangkan tanggungjawab dan kesanggupan seorang laki-laki untuk kawe hang (mencari nafkah) dan kabang (memberi makan) kepada wina agu mantar (istri dan anak-anaknya)Seseorang laki-laki yang telah menikah atau telah berkeluarga, dan telah menyelesaikan segala urusannya mengenai tata cara perkawinan adat Kempo, baik dengan pihak Iname (pihak keluarga perempuan), dengan Ase-Kae (sanak-saudara), maupun dengan komong-iko (warga kampung) akan dihitung sebagai ca kope (laki-laki yang telah menjadi kepala keluarga).

    Dalam struktur masyarakat adat, ca kope dapat berarti sebuah keluarga.
    Keluarga kecil yang terdiri dari Rona / Ame (suami / ayah), Wina / Ine (Istri / Ibu), mantar (anak). 
    Anak-anak dalam hal ini, hanya sebatas anak-anak yang belum menikah. Dan ketika telah menikah, bagi anak laki-laki akan di hitung sebagi ca kope lagi, dan bagi anak perempuan, akan jadi bagian kope dari suaminya. Sementara bagi pasangan suami / istri, batas waktu sebagai ca kope akan berakhir, ketika sudah lanjut usia dan tidak dapat bekerja untuk menghasilkan sesuatu. Sebagai penggantinya adalah anak laki-laki bungsu atau anak laki-laki yang menanggung hidup masa tuanya.
    Untuk urusan rumahtangga keluar, dalam ruang lingkup suatu kelompok, ca kope adalah keluarga utuh yang memiliki hak untuk mengusahakan sesuatu demi kelangsungan hidup anggotanya. Mencakup kebutuhan kabang weki / hang (pangan), tadu weki / ne'eng / entau (pakaiyan), mbau /bone weki / sekang kaeng (rumah untuk tempat tinggal), ditambah pendidikan di jaman sekarang.
    Sebagai makhluk sosial, sebagian hal tersebut tidak terlepas dari keberadaan orang lain. Kope memiliki beban tanggungjawab kepada Batu (klan) dan Beo (kampung), sebagai anggota kelompok.

    Sementara untuk urusan rumahtangga ke dalam, yaitu melanjutkan keturunan, ca kope menjadi lebih privasi lagi yaitu kilo. Kilo adalah hubungan sebagai suami istri yang diikat dalam tali perkawinan atas dasar rasa cinta, kasih sayang, kerelaan, pengabdian dan pengorbanan yang hanya dipisahkan oleh maut. 
    Sebagai catatan; dalam tradisi adat perkawinan lama, Ata Kempo tidak mengenal cengga (cerai), hanya ada orang tertentu yang wina sua / telu (poligami).
    Jika terjadi hal demikian, laki-laki tersebut akan dihitung kope sua (dua / dobel ) tanggung jawab. Kope sua juga terjadi pada laki-laki yang kawe kilo weru (menikah lagi), dan masih bertanggungjawab atas pernikahannya yang pertama.

  3.  Ca Ame / Ame (Satu Ayah)

    Garis keturunan Data Kempo atau Data Manggarai umumnya, adalah patrilinear, yaitu mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki / ayah. 
    Ca Ame adalah lingkup sosial kecil yang terdiri dari ayah dan anak-anaknya, baik yang telah na'ang weki (sudah menikah) maupun yang belum. Garis hirarki keluarga dipimpin oleh Ame (Ayah) lalu ngaso (anak sulung) dan seterusnya hingga ceko (anak bungsu). Meski anak laki-laki telah memiliki hae kilo (istri) dan membentuk keluarga baru, namun hubungan vertikal Ame-Anak (Ayah-Anak) dan hubungan horisontal Ase-Kae (Kakak beradik) tidak akan terpisahkan. Bahkan hal tersebut adalah suatu kepatutan dan keteladanan untuk terus saling rangkom (menyatukan) anggota keluarga. Ame sebagai pemimpin keluarga bertanggungjawab atas kerukunan seluruh anggota keluarga dan segala urusannya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing.

    Kewajiban Orang Tua dihitung sebagai hak setiap anak yaitu perlakuan yang sama atas kasih sayang orang tua, dan pembagian yang adil atas warisan orang tua.
    Jika Ayah telah tiada, tanggungjawab tersebut jatuh pada mantar ngaso (anak sulung) dengan pertimbangan Ine (Ibu) dan diketahui Ase Kae (kerabat lain) yang masih punya hubungan dekat.

  4. Ca Empo / Empo (Satu Kakek)

    Ca Empo
    adalah garis keturunan dari Kakek yang sama. 
    Jika kehidupan Ca Ame bisa tetap dipertahankan dari bike (perpecahan) karena adanya lewang tau (percecokan) dan pulang tau (pertengkaran) maka ruang lingkup keluarga menjadi lebih luas. Ca Empo terdiri dari beberapa Ame, lalu dibagi lagi dalam tiap Kope, kemudian tiap Kope dibagi atas jumlah Mantar dan di tingkat mantar mereka disebut empo (cucu). Garis hirarki keluarga dipimpin oleh seorang Empo Ata Rona (Kakek). 
    Dalam hal mengambil keputusan, yang berkaitan dengan anggotanya, pertimbangan sang Kakek sangat diperhatikan. Kakek berkuasa menunjuk atau memberi tugas kepada setiap Ame dalam pelaksanaan tiap keputusan, baik untuk urusan ke dalam maupun urusan keluar. Dan setelah memberi tugas, seorang Kakek akan menerima laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas tersebut. Hal inilah yang membuat mereka sering disebut ata lami loce (orang yang duduk menunggu di atas bentangan tikar) atau ata gereng wali (orang yang menunggu laporan).
    Jika Empo sudah tidak ada atau telah meninggal, peran tersebut akan digantikan oleh Ame Ngaso (Ayah Sulung).

  5. Ca Batu / Batu (Klan)

    Ca Batu
    adalah hubungan kekerabatan yang lebih luas, terdiri dari keturunan dari beberapa Empo (Kakek), dari tiap Empo di bagi dalam tiap Ame (Ayah), dari Ame dibagi lagi dalam tiap Kope (Kepala Keluarga).
    Ca Batu lebih bersifat keluarga yang luas yang masih ada hubungan kekeluargaan dari keturunan yang sama. 
    Batu dapat terbentuk hanya dari Ca Empo (satu Kakek), yang berhasil menjaga hubungan baik dan jalinan kekeluargaan yang erat. 
    Batu dipimpin oleh Tua Batu (kepala klan) yaitu seorang Empo Ata Rona (Kakek), atau seorang Ame Ngaso (Ayah Sulung) yang memiliki pengetahuan lebih tentang prosesi adat serta aturan kelengkapannya. Tua Batu bertanggungjawab atas segala urusan anggota keluarga, baik menyangkut urusan perkawinan, kematian, juga memastikan Ame melaksanakan tugas pembagian warisan kepada tiap anaknya. Untuk urusan keluar, yang berkaitan dengan hubungan sosial masyarakat Tua Batu menjadi orang kepercayaan untuk mewakili setiap Batu dalam perumusan dan pengambilan kesepakatan yang dibuat oleh Tua Golo (Kepala Kampung).

    Tidak hanya Ca Empo, Batu juga dapat terbentuk dari gabungan beberapa Empo yang masih memiliki hubungan keluarga di tingkat Empo Tae (Kakek Buyut).
    Atas kesepakatan bersama dan karena banyak kesamaan pemahaman dan pandangan, mereka bergabung untuk menjadi Ca Batu.
    Selain itu, anggota batu juga kadang bukan berasal dari satu garis keturunan yang sama, tetapi orang dari Empo berbeda yang tegi hese cama (meminta untuk bergabung). Proses terjadinya hal demikian, bisa karena diminta oleh orang lain, bisa juga karena nuhung / nongkong (dipungut; semacam di adopsi) karena rasa belaskasihan dari Tua Batu bagi orang yang tidak memiliki keluarga dekat lagi. Atau bisa juga karena pada jaman dulu masih nggali ata (kekurangan orang) sebagai anggota klan, latang campe (untuk membantu) memudahkan berbagai jenis kegiatan dan pekerjaan.

B. Hubungan kekerabatan berdasarkan wilayah dan tempat tinggal.


  1. Ca Sekang (Satu Rumah)

    Sekang
    Data Kempo pada jaman dulu, tidak hanya terdiri dari Ca Kilo (satu keluarga), melainkan beberapa keluarga, baik yang masih memiliki hubungan Ame-Anak dari satu Kakek, juga ditambah lagi dengan ata tegi kaeng (orang yang menumpang).
    Orang yang menumpang di rumah keluarga lain, biasanya ata lalo (orang yang tidak lagi memiliki keluarga yang lebih dekat), atau orang yang tidak sanggup untuk membangun rumah sendiri, sehingga meminta bantuan kepada orang lain untuk menumpang sementara. 
    Namun karena sudah lama kaeng cama (tinggal bersama) dan terjalin hubungan yang sangat baik, orang yang tinggal menumpang kemudian dianggap sebagai Ase-Kae (Saudara) dan menjadi bagian dari keluarga dalam Ca Batu (satu klan).

  2. Ca Warang (Satu kesepakatan)

    Warang
    adalah kewajiban dari setiap anggota untuk menyumbangkan sejumlah barang atau barang pengganti yaitu berupa uang, sebagai modal untuk melaksanakan sebuah acara adat. Misalnya warang laki (pengumpulan uang untuk keperluan nikah), warang mata (pengumpulan uang untuk keperluan acara kelas (kenduri). 

    Warang
    dibebankan kepada tiap Kope yang menjadi anggota dari Ca Batu (satu klan). 
    Namun karena adanya minak tawa (hubungan baik) dengan orang yang berasal dari lain Empo (Kakek), bahkan dari lain Beo (kampung), orang tersebut juga dibebankan warangHubungan baik tersebut bisa karena letak uma (ladang) yang berdekatan, atau juga karena Hae Reba (pertemanan). Dalam hal ini biasanya hubungan baik tersebut hanya sebatas warang saja, sementara untuk hal-hal lain, seseorang tersebut tidak ikut campur, sehingga orang tersebut disebut kope kilat (keluarga sementara).

  3. Ca / Cama Beo (Satu Kampung)

    Hubungan yang lebih luas dari orang Kempo adalah Ca Beo
    Di tingkat ini, sistem aturan diterapkan dan berlaku sama neteng weki (setiap orang). Ca Beo dipimpin oleh seorang Tua Golo (Kepala kampung), sehingga Ca Beo kadang juga disebut Ca GoloTua Golo memiliki kekuasaan tertinggi, yang diwarisi secara turun temurun dari Empo (Kakek), ke Ame (Ayah) lalu ke Mantar (Anak), dan seterusnya kepada keturunan yang sama.
    Biasanya yang dipercaya jadi Tua Golo dari keturunannya adalah Mantar Ngaso (Anak sulung) atau Ngaso ata Rona (anak laki-laki yang sulung). Jika anak laki-laki belum cukup umur ata tidak ada anak laki-laki dari tingkat yang sama, maka yang ditunjuk adalah Ame Koe / Mengkoe (Paman). 


    Delegasi wewenang dari Tua Golo adalah Tua Batu, dari Tua Batu lalu ke Tua Kilo / Kope. Jika ada sesuatu masalah yang dihadapi oleh ca kope (kepala keluarga) dalam satu kampung, jalur penyelesaiannya akan disampaikan terlebih dahulu kepada Tua Batu, jika bisa diselesaikan oleh Tua Batu, maka tidak akan berlanjut. Tapi jika tidak dapat diselesaikan oleh Tua Batu, maka bersama Tua Batu, masalah tersebut akan mbotek (di adukan) ke Tua Golo. Maka Tua Golo siro (mengundang) semua Tua Batu, untuk membicarakan dan menyelesaikannya.
    Begitu juga jika ada pelanggaran yang dilakukan seseorang, maka pertama kali dilaporkan ke Tua Batu. Lalu Tua Batu memanggil anggota keluarganya untuk menasihati dan menjatuhkan sanksi atas pelanggarannya, jika tidak dapat diselesaikan di Tua Batu baru di adukan ke Tua Golo. 


    Begitu pun dalam penyelesaian masalah tanah, batas tanah, klaim kepemilikan dan pemanfaatan atas tanah. Oleh karena itu, seorang Tua Golo harus memiliki pengetahuan yang cukup atas sejarah lingko (hak ulayat kampung) dan setiap batas tanah yang termasuk dalam wilayah yang dipimpinnya. Pengetahuan tersebut biasanya didapat secara turun-temurun, atau berdasarkan pengalaman. 
    Untuk urusan antar sesama warga kampung, Tua Golo berhak menentukan apa yang baik untuk dilakukan, dengan atau tanpa pertimbangan Tua Batu. Biasanya untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan dan keselamatan warga Beo.

    Dalam urusan suka duka, Tua Golo memastikan setiap Tua Batu untuk saling membantu untuk meringankan dan melancarkan setiap urusan yang dihadapi oleh ca kope (seorang warga) atau sebuah Batu
    Dalam acara pernikahan, warga Beo dilibatkan misalnya curu ata weru (menyambut pengantin baru) yang laksanakan di Pa'ang, tiba le Golo / Beo (disambut oleh seluruh warga Beo / Kampung) dan ada kewajiban warang kampong (sumbangan dari tiap Kope) yang telah ditetapkan besarnya. Begitu juga dalam urusan kematian, seluruh warga kampung ikut berduka dan membantu melancarkan segala urusan, serta ikut menyumbangkan warang kampong

    Tidak hanya untuk urusan ke dalam, Tua Golo juga bertanggungjawab atas Ata ca Beo (warga sekampung). Baik mengenai pembelaan, pelurusan dan penyelesaian konflik dengan Ata Beo bana (warga kampung lain). Begitu pun jika ada warga Beo yang melakukan pelanggaran di kampung lain, maka pengaduannya akan diterima oleh Tua Golo.

    Urusan Tua Golo juga menyangkut rang (harga diri) kampung, sehingga jika ada yang mengusik ketenangan dan ketentraman kampung, maka Tua Golo berhak mengambil tindakan tegas. 
    Tidak hanya mengenai urusan sebuah masalah, dalam urusan duka atau kematian di Beo tetangga, Tua Golo juga akan menyampaikan ucapan duka dan menyumbang, yang dibebankan ke setiap Batu.

C. Hubungan Kekerabatan Karena Ikatan Perkawinan


Ikatan perkawinan sangat penting artinya bagi hubungan kekerabatan diantara lapisan sosial masyarakat.
Hubungan yang dibangun bisa sangat lama dan mengikat semua orang-orang yang memiliki keterkaitan hubungan keluarga.
Karena pada dasarnya, perkawinan adat orang Kempo dan orang Manggarai umumnya, mengikat hubungan dengan keluarga luas. Tidak hanya sebatas orang tua pihak laki-laki atau perempuan, tetapi juga sanak keluarga dari kedua belah pihak.

  1. Ine-ame / Iname (Pihak keluarga perempuan)

    Iname
    adalah orang tua atau keluarga dari pihak perempuan dalam perkawinan adat Data Kempo. 
    Iname meliputi keluarga Ca Ame juga Ca Batu dari orang tua perempuan.Dalam perkawinan adat Data Kempo, Iname sangat dihormati dan dihargai karena merekalah ata ngara mantar (yang melahirkan dan membesarkan si gadis). Sehingga balas jasa pengasuhan atau pengganti air susu ibu, dalam perkawinan adat, pihak Iname membebankan paca (belis / mahar / mas kawin) kepada pihak laki-laki.

    Dalam adat Data Kempo, sejumlah paca atau mas kawin bukanlah harga seorang wanita, tetapi balas jasa kepada orang tua, karena jaong adak (pembicaraan adat) kembali kepada Weta - Nara (Saudara perempuan dan saudara laki-laki). Dalam hal ini, Weta adalah ibu dari si laki-laki, dan Nara adalah Ayah dari si perempuan.
    Sehingga paca tidak dipatok atau dipaksakan jumlahnya, capa ngance kawe dise Weta (seberapa kemampuan si Weta). Meskipun dalam renta (besaran nilai atau angka yang harus dilunasi) oleh Kraeng Dading (pihak Iname), tidaklah benar-benar harus dilunaskan oleh si Weta (pihak Laki-laki). Berbagai pertimbangan di dalamnya, sehingga untuk menutupi kekurangan tersebut, hubungan karena ikatan perkawinan tersebut dinamakan wae tiku tedeng (seperti jalan ke tempat mata air yang tidak mengering), bukanlah salang tuak (jalan ke tempat penyadapan nira, yang akan dilepas jika airnya telah mengering). Maka pengalihan paca yang belum tuntas tadi, akan ditagih dalam werong laki nara (sejumlah nilai / angka yang dibebankan kepada Weta (pihak laki-laki untuk upacara pernikahan saudara laki-laki di pihak Iname) dan werong mata (sejumlah nilai / angka yang dibebankan kepada Weta dalam hal mengurusi upacara kematian di pihak Iname).
    Manakala dalam jaong adak Weta-Nara, pihak Weta (keluarga laki-laki) tidak berkordinasi baik atau berkelit-kelit mengenai setiap liku adat, pihak Iname akan mempertegas paca menjadi paka / paka manga(keharusan / harus ada). Keharusan yang dimaksud adalah akumulasi kekurangan paca lalu dikonversi dalam hitungan baru, kemudian diharuskan untuk dipenuhi oleh pihak laki-laki agar pihak Iname tidak merugi atas acara yang terlaksana. Tapi jika pihak laki-laki tidak juga menyanggupinya, pihak Iname akan menanggung sendiri kerugian tersebut, itu menjadi bagian suka duka wai anak (menikahkan anak). Untuk memperdalam soal paca akan dibahas di topik baru.


  2. Iname Rabeng (Kakek-Nenek dari pihak perempuan)

    Ikatan perkawinan yang terjadi, juga mengikat pihak keluarga Kakek-Nenek dari pihak perempuan. Mereka akan disebut Iname rabeng (Ayah-Ibu dari Ibu si pengantin perempuan / Kakek-Nenek dari pihak Ibu si gadis). Meski dalam pembicaraan adat, Iname rabeng tidak secara langsung berhadapan dengan pihak laki-laki, tetapi melalui perantara Iname.
    Adapun keikutsertaan pihak laki-laki kepada Iname rabeng dinamakan icing kandi (ikut membantu). Ini juga merupakan penjabaran dari paca sebagai wae tiku tedeng, yaitu pihak laki-laki membantu Iname atas sejumlah nilai yang dibebankan oleh Iname rabeng.

    Hubungan kekeluargaan atas dasar ikatan perkawinan, tidak ada batasan resmi mengenai kapan berakhirnya hubungan tersebut. 
    Jika terjadi tungku (perkawinan silang) maka hubungan tersebut akan diperpanjang lagi. Namun jika pihak Iname naik ke tingkat Iname rabeng, tetapi tidak terjadi tungku, dan ketika Iname rabeng masih membebankan Werong, tetapi Woe tidak merespon lagi, itu pertanda bahwa hubungan tersebut akan segera berakhir.

  3. Woe (Pihak laki-laki)

    Woe adalah pihak laki-laki / keluarga laki-laki dalam perkawinan adat Data Kempo. Woe adalah ata latang tau kawe (pihak yang mencari / membayar) sejumlah nilai yang diminta oleh Iname. Dalam hal ini sebagai Weta (Saudara perempuan dari ayah si gadis), sesek sapu selek kope (mempersiapkan segala sesuatu), wa langkas agu tenteng mese (membawa sejumlah barang dan sejumlah nilai) yang telah disepakati
    kaping sekang de Nara (menuju rumah saudara laki-laki, ayah si gadis). Woe adalah ata lemba tuak (pihak yang dimintai bantuan), Woe adalah ata campe (pihak yang membantu) segala urusan dan pekerjaan pihak Iname, sebagai penjabaran dari wae tiku tedeng.
    Dalam hal perkawinan saudara dari gadis (saudara laki-laki dari ibu), woe akan dimintai Werong laki.
    Sedangkan dalam hal urusan kematian atau kelas (kenduri), Woe akan dibebankan Werong mata. Semua hal tersebut adalah penjabaran dari wae tiku tedeng, juga merupakan ikatan kekeluargaan Ame - Anak.Woe adalah pihak yang biling (membayar) sejumlah pedeng (pemberian) Iname, berupa loce (tikar), tuak/mbako/cepa (tuak/tembakau/sirih pinang), manuk (ayam).

  4. Bangkong

    Bangkong adalah pihak laki-laki/suami dari saudara perempuan Ayah. Bangkong adalah Woe yang telah naik satu tingkat diatas Woe.
    Dalam hal dimintai bantuan atau Werong, Bangkong akan menghitungnya sebagai Werong Wote. Keterlibatan Bangkong dalam segala urusan di pihak Iname, tidak sepenuhnya sama dengan Woe. Pihak Iname juga memaklumi dan menyerahkan sepenuhnya atas ketulusan Bangkong dalam membantu.
    Seperti pada Iname Rabeng, hubungan kekeluargaan akan berakhir jika, tulak salang (memperbaharui ikatan berdasarkan perkawinan nenek) tidak direspon oleh Iname. Atau ketika pihak Iname membebankan Werong, tetapi Bangkong tidak menerimanya lagi, itu pertanda hubungan tersebut akan segera berakhir.

Dalam perkawinan adat data Kempo, sebuah keluarga atau kope bisa menjadi salah satu atau bergantian menduduki posisi tersebut. Artinya, jika disatu sisi seseorang / sebuah keluarga menjadi Iname, maka di sisi lain dia juga adalah Woe dari orang lain, begitu juga Iname rabeng maupun Bangkong. Itulah yang menyebabkan dalam pembicaraan adat, tidak ada paksaan atau keharusan untuk menggenapi segala bentuk tanggungjawab dalam hal paca maupun werong. Cama laing (keikutsertaan), manga ranga (kehadiran) maupun reweng (komunikasi) sangatlah penting artinya daripada sejumlah nilai barang atau nominal dari angka-angka.

                                              **************************************



    Cttn: Neka rabo (maaf) mungkin belum terlalu lengkap, karena keterbatasan waktu untuk melakukan pengenalan yang mendalam. Mungkin masih banyak kekurangan dalam uraian diatas, masukan akan sangat berarti untuk melengkapinya.
    Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.
    Sekiranya masukan menjadi hal yang berharga untuk kita diskusikan…


    http://adatbudaya-kempo.blogspot.com/2013/08/hubungan-kekerabatan-dan-klasifikasi.html

    Tidak ada komentar: