Hidup dalam suatu kelompok, entah itu kelompok kecil maupun yang lebih luas, tidak terlepas dari berbagai macam dinamika.
Dinamika kehidupan berkembang dalam sebuah kelompok maupun antar kelompok.
Begitu juga dalam hubungan kekerabatan orang Kempo yang hidup berkelompok, tentu saja tidak luput dari berbagai macam permasalahan.
Berbagai macam persoalan yang dihadapi baik menyangkut urusan caka rang (mempertahankan harga diri /gengsi / wibawa), kawe mose (mencari nafkah), pande (perbuatan) maupun cengka reweng (tutur kata), menyebabkan persaingan dalam kelompok maupun antar kelompok.
Persaingan tersebut kadang melahirkan beberapa persoalan seperti lewang tau (adu mulut / perbedaan pendapat), rengo rangos (percecokan), pulang tau (perkelahian) hingga paki tau (saling membunuh).
Perselisihan yang terjadi, ada yang tingkatannya rendah dan ada pula yang sangat serius, hingga menembus hukum negara.
Masalah-masalah yang terjadi bisa bersifat horisontal maupun vertikal, baik itu dalam ruang lingkup kelompok kecil maupun antar kelompok yang lebih besar.
Dalam ruang lingkup yang paling kecil yaitu kilo (keluarga), perselisihan biasanya terjadi antara wina rona (suami istri) atau ata tua (orangtua) dan mantar (anak-anaknya). Permasalahan keluarga sebenarnya menjadi urusan tua kilo (kepala keluarga), namun ketika terjadi sesuatu yang mengganggu kehidupan Ase-Kae (persaudaraan) maka permasalahan tersebut menjadi urusan keluarga yang lebih luas yaitu Batu (klan).
Permasalahan tersebut antara lain yaitu suami yang sering baka wina (memukul istri), suami yang sering dadu (bermain judi), istri yang kawe rona peang (selingkuh), istri yang suka butel (mengomel), suami yang kawe wela peang (selingkuh) maupun anak yang toe senget jaong data tua (tidak patuh pada orang tua).
Jika tidak ada titik penyelesaiannya, keluarga besar dalam hal ini Ase-Kae (saudara) maupun Tua Batu (pemimpin klan) segera turun tangan.
Jika di tingkat ini, belum juga ada titik temu, maka pihak Iname (Orangtua dari pihak Ibu) akan didatangkan.
Pada tingkat ini, masalah yang dihadapi sudah serius, dan untuk penyegaran dan pelurusan kembali kehidupan keluarganya, kedua belah pihak Iname dan Woe akan memberikan beberapa tuing (petuah).
Jika suami istri tidak juga rukun, langkah selanjutnya adalah tidak saja melibatkan Iname dan Woe tetapi juga melibatkan komong iko (warga kampung) yaitu Tua Golo (Kepala kampung) dan tetua adat lainnya.
Keputusan yang diambil akan diketahui oleh para tetua adat dan wajib dilaksanakan oleh Tua Kilo (Kepala Keluarga) dibawah pengawasan Tua Batu (Kepala Klan).
Keputusan yang diambil biasanya berupa bowo (denda) dan peringatan keras kepada suami istri yang bermasalah. Namun bila tidak diindahkan maka tindakan tegas pun diambil yaitu pihak Iname akan hati kole (mengambil kembali) anaknya (istri) jika dalam hal ini yang jadi penyebabnya adalah suami, dan pihak Woe akan padong kole (memulangkan istri) jika yang menjadi penyebabnya adalah istri, dan Tua Golo akan menjadi saksi. Di jaman dulu, hal ini pernah terjadi karena campur tangan orang tua dalam kehidupan keluarga anak-anaknya masih sangat dominan.
Namun di jaman modern seperti sekarang, pihak lain hanya menyarankan saja dan selanjutnya hukum negaralah yang akan bertindak.
Begitu juga masalah yang terjadi di dalam Batu (klan), yaitu masalah kedalam dan keluar.
Masalah kedalam yaitu baik itu antara sesama ngasang haju ame (tingkat sejajar Ayah), masalah Ame-Empo (Ayah dan Kakek), maupun dengan tingkat di bawahnya yaitu masalah Ame agu Mantar (Ayah dan Anak).
Yang termasuk haju ame adalah Ame/Ine (Ayah/Ibu), Mentua/Intua (Bapak Tua/Mama Tua), Mengkoe/Ingko (Paman/Bibi).
Sedangkan yang termasuk Empo adalah Empo ata rona (Kakek), Empo Ingwai (Nenek) maupun Ayah dari Paman atau Ayah dari Bapa tua dalam satu klan.
Sementara yang termasuk haju anak yaitu Ase (Adik) dan Kae (Kakak) baik yang sudah berkeluarga maupun yang masih muda.
Sedangkan untuk Weta (Saudara perempuan) hanya terbatas pada Weta yang masih bujang.
Permasalahan ke dalam biasanya seputar pati tana, ma'ang, dan sekang kaeng (pembagian warisan yang kurang adil berupa tanah, rumah maupun warisan lain). Atau permasalahan dibidang adat, yaitu kumpul warang Ase-Kae (sejumlah uang atau barang yang dibebankan kepada setiap Tua Kilo) yang tidak diikuti oleh salah satu atau lebih anggota keluarga dalam klan.
Atau bisa juga karena calang cengka jaong (salah bertutur kata), calang pande (salah bertindak), dan juga toe bae le ru (tidak tahu menempatkan diri) kepada orang tua.
Penyelesaian masalah hanya di tingkat klan saja dengan mendengar tuing (nasihat) orang tua, dan segera hambor (berdamai) berupa manuk (ayam) atau lipa (sarung), tergantung besar kecilnya kesalahan yang telah dilakukan.
Sedangkan untuk permasalahan keluarnya yaitu baik dengan kelompok sosial yang lebih besar yaitu Beo (Kampung) dan masalah di bidang adat yaitu jaong Weta-Nara atau Iname-Woe (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan).
Masalah Weta-Nara biasanya karena Woe (pihak suami/keluarga dari saudara perempuan) toe senget werong (tidak ikut menyumbang kepada Iname untuk keperluan adat) yang diminta oleh pihak Nara (saudara laki-laki Ibu/Istri). Masalah lain juga berupa toe mai laat (tidak datang berkunjung) atau toe solek lambu (tidak sering membantu) sehingga terjadi kerenggangan hubungan anak wai (anak perempuan yang telah bersuami) dan Ine/Ame atau Nara (Ayah/Ibu atau saudara Laki-laki). Penyelesaiannya bisa dilakukan baik oleh pihak Woe dengan mendatangi keluarga Iname dengan membawa sesuatu yang menjadi hasil dari usaha mereka seperti dea (beras), nakeng (ikan) atau latung (jagung).
Sedangkan bila pihak Iname yang mendatangi Woe, maka Iname akan membawa manuk (ayam), loce (tikar) dan tuak yang akan di biling (dibayar sebagai uang pengganti) oleh Woe.
Jika tidak ada pihak yang mau mengalah dan mengunjungi satu sama lain, maka hubungan Iname-Woe tersebut berada di ujung pemutusan hubungan atau akan segera berakhir.
Masalah yang terjadi dalam satu Beo atau dengan klan lain biasanya karena neceng ni'i (perebutan batas lahan garapan), masalah kaka piara (ternak) dan weri (tanaman), masalah pergaulan anak hingga masalah umum dalam berinteraksi dengan orang lain.
Penyelesaian masalah keluar biasanya bisa diatasi di tingkat Batu (klan) saja yaitu pemimpin kedua Batu segera mengajak anggota keluarganya untuk hambor (berdamai), dengan beberapa nasehat dan wejangan.
Atau jika masalahnya cukup meluas, maka penyelesaiannya di tingkat Tua Golo dengan menghadirkan semua tetua adat dalam satu kampung. Biasanya ada bowo (denda) yang akan ditanggung oleh yang melakukan kesalahan. Sementara untuk menetralkan kembali hubungan antar orang atau pihak yang bermasalah akan dilakukan hambor (berdamai).
Kedua belah pihak yang bermasalah akan menanggung segala keperluan pada saat hambor, misalnya manuk (ayam), tuak, loce (tikar) maupun segala sesuatu yang menyangkut konsumsinya.
Untuk masalah yang lebih besar atau konflik horisontal yang melibatkan satu kampung dengan kampung lain, itu akan sangat rumit manakala kedua kubu tidak ada yang mau mengalah.
Masalah yang sering muncul biasanya neceng tana (perebutan lahan dan batas wilayah) yang menjadi hak ulayat sebuah kampung.
Bahkan ada masalah lahan dan batas wilayah yang diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini belum juga dapat diselesaikan.
Untuk permasalahan ini, sebenarnya bukan tidak ada jalan keluarnya. Terlalu banyak cara ditempuh, asalkan ada pihak yang mengalah untuk menang.
Namun kenyataannya, hukum negara sekalipun tak mampu menyelesaikan persoalan seperti ini. Hingga tak cukup ruang untuk menulisnya, mungkin akan dibahas di topik tersendiri nantinya.
Sedangkan untuk masalah sosial lainnya seperti kenakalan ata koe (remaja) dan ata Reba-Molas (pemuda dan pemudi) yang menyebabkan perkelahian antar kampung, menjadi tanggungjawab tetua adat di kedua kampung tersebut.
Banyak cara untuk mengurangi bentrokan, dan kalaupun tak dapat terhindarkan, peran Orang tua, Tetua adat dan Tua Golo sangat penting artinya.
Apalagi di jaman modern seperti sekarang, tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku orang Kempo, baik yang dapat membantu menjaga kerukunan maupun yang dapat merusak keteraturan.
Begitulah hidup di berbagai sudut dan cekungan bumi ini, kadang hal yang ideal sering diperdengarkan, namun hal yang tak diinginkan pun tetap terus terjadi, semoga saja tidak terlalu sering terjadi.
Dalam ruang lingkup yang paling kecil yaitu kilo (keluarga), perselisihan biasanya terjadi antara wina rona (suami istri) atau ata tua (orangtua) dan mantar (anak-anaknya). Permasalahan keluarga sebenarnya menjadi urusan tua kilo (kepala keluarga), namun ketika terjadi sesuatu yang mengganggu kehidupan Ase-Kae (persaudaraan) maka permasalahan tersebut menjadi urusan keluarga yang lebih luas yaitu Batu (klan).
Permasalahan tersebut antara lain yaitu suami yang sering baka wina (memukul istri), suami yang sering dadu (bermain judi), istri yang kawe rona peang (selingkuh), istri yang suka butel (mengomel), suami yang kawe wela peang (selingkuh) maupun anak yang toe senget jaong data tua (tidak patuh pada orang tua).
Jika tidak ada titik penyelesaiannya, keluarga besar dalam hal ini Ase-Kae (saudara) maupun Tua Batu (pemimpin klan) segera turun tangan.
Jika di tingkat ini, belum juga ada titik temu, maka pihak Iname (Orangtua dari pihak Ibu) akan didatangkan.
Pada tingkat ini, masalah yang dihadapi sudah serius, dan untuk penyegaran dan pelurusan kembali kehidupan keluarganya, kedua belah pihak Iname dan Woe akan memberikan beberapa tuing (petuah).
Jika suami istri tidak juga rukun, langkah selanjutnya adalah tidak saja melibatkan Iname dan Woe tetapi juga melibatkan komong iko (warga kampung) yaitu Tua Golo (Kepala kampung) dan tetua adat lainnya.
Keputusan yang diambil akan diketahui oleh para tetua adat dan wajib dilaksanakan oleh Tua Kilo (Kepala Keluarga) dibawah pengawasan Tua Batu (Kepala Klan).
Keputusan yang diambil biasanya berupa bowo (denda) dan peringatan keras kepada suami istri yang bermasalah. Namun bila tidak diindahkan maka tindakan tegas pun diambil yaitu pihak Iname akan hati kole (mengambil kembali) anaknya (istri) jika dalam hal ini yang jadi penyebabnya adalah suami, dan pihak Woe akan padong kole (memulangkan istri) jika yang menjadi penyebabnya adalah istri, dan Tua Golo akan menjadi saksi. Di jaman dulu, hal ini pernah terjadi karena campur tangan orang tua dalam kehidupan keluarga anak-anaknya masih sangat dominan.
Namun di jaman modern seperti sekarang, pihak lain hanya menyarankan saja dan selanjutnya hukum negaralah yang akan bertindak.
Begitu juga masalah yang terjadi di dalam Batu (klan), yaitu masalah kedalam dan keluar.
Masalah kedalam yaitu baik itu antara sesama ngasang haju ame (tingkat sejajar Ayah), masalah Ame-Empo (Ayah dan Kakek), maupun dengan tingkat di bawahnya yaitu masalah Ame agu Mantar (Ayah dan Anak).
Yang termasuk haju ame adalah Ame/Ine (Ayah/Ibu), Mentua/Intua (Bapak Tua/Mama Tua), Mengkoe/Ingko (Paman/Bibi).
Sedangkan yang termasuk Empo adalah Empo ata rona (Kakek), Empo Ingwai (Nenek) maupun Ayah dari Paman atau Ayah dari Bapa tua dalam satu klan.
Sementara yang termasuk haju anak yaitu Ase (Adik) dan Kae (Kakak) baik yang sudah berkeluarga maupun yang masih muda.
Sedangkan untuk Weta (Saudara perempuan) hanya terbatas pada Weta yang masih bujang.
Permasalahan ke dalam biasanya seputar pati tana, ma'ang, dan sekang kaeng (pembagian warisan yang kurang adil berupa tanah, rumah maupun warisan lain). Atau permasalahan dibidang adat, yaitu kumpul warang Ase-Kae (sejumlah uang atau barang yang dibebankan kepada setiap Tua Kilo) yang tidak diikuti oleh salah satu atau lebih anggota keluarga dalam klan.
Atau bisa juga karena calang cengka jaong (salah bertutur kata), calang pande (salah bertindak), dan juga toe bae le ru (tidak tahu menempatkan diri) kepada orang tua.
Penyelesaian masalah hanya di tingkat klan saja dengan mendengar tuing (nasihat) orang tua, dan segera hambor (berdamai) berupa manuk (ayam) atau lipa (sarung), tergantung besar kecilnya kesalahan yang telah dilakukan.
Sedangkan untuk permasalahan keluarnya yaitu baik dengan kelompok sosial yang lebih besar yaitu Beo (Kampung) dan masalah di bidang adat yaitu jaong Weta-Nara atau Iname-Woe (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan).
Masalah Weta-Nara biasanya karena Woe (pihak suami/keluarga dari saudara perempuan) toe senget werong (tidak ikut menyumbang kepada Iname untuk keperluan adat) yang diminta oleh pihak Nara (saudara laki-laki Ibu/Istri). Masalah lain juga berupa toe mai laat (tidak datang berkunjung) atau toe solek lambu (tidak sering membantu) sehingga terjadi kerenggangan hubungan anak wai (anak perempuan yang telah bersuami) dan Ine/Ame atau Nara (Ayah/Ibu atau saudara Laki-laki). Penyelesaiannya bisa dilakukan baik oleh pihak Woe dengan mendatangi keluarga Iname dengan membawa sesuatu yang menjadi hasil dari usaha mereka seperti dea (beras), nakeng (ikan) atau latung (jagung).
Sedangkan bila pihak Iname yang mendatangi Woe, maka Iname akan membawa manuk (ayam), loce (tikar) dan tuak yang akan di biling (dibayar sebagai uang pengganti) oleh Woe.
Jika tidak ada pihak yang mau mengalah dan mengunjungi satu sama lain, maka hubungan Iname-Woe tersebut berada di ujung pemutusan hubungan atau akan segera berakhir.
Masalah yang terjadi dalam satu Beo atau dengan klan lain biasanya karena neceng ni'i (perebutan batas lahan garapan), masalah kaka piara (ternak) dan weri (tanaman), masalah pergaulan anak hingga masalah umum dalam berinteraksi dengan orang lain.
Penyelesaian masalah keluar biasanya bisa diatasi di tingkat Batu (klan) saja yaitu pemimpin kedua Batu segera mengajak anggota keluarganya untuk hambor (berdamai), dengan beberapa nasehat dan wejangan.
Atau jika masalahnya cukup meluas, maka penyelesaiannya di tingkat Tua Golo dengan menghadirkan semua tetua adat dalam satu kampung. Biasanya ada bowo (denda) yang akan ditanggung oleh yang melakukan kesalahan. Sementara untuk menetralkan kembali hubungan antar orang atau pihak yang bermasalah akan dilakukan hambor (berdamai).
Kedua belah pihak yang bermasalah akan menanggung segala keperluan pada saat hambor, misalnya manuk (ayam), tuak, loce (tikar) maupun segala sesuatu yang menyangkut konsumsinya.
Untuk masalah yang lebih besar atau konflik horisontal yang melibatkan satu kampung dengan kampung lain, itu akan sangat rumit manakala kedua kubu tidak ada yang mau mengalah.
Masalah yang sering muncul biasanya neceng tana (perebutan lahan dan batas wilayah) yang menjadi hak ulayat sebuah kampung.
Bahkan ada masalah lahan dan batas wilayah yang diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini belum juga dapat diselesaikan.
Untuk permasalahan ini, sebenarnya bukan tidak ada jalan keluarnya. Terlalu banyak cara ditempuh, asalkan ada pihak yang mengalah untuk menang.
Namun kenyataannya, hukum negara sekalipun tak mampu menyelesaikan persoalan seperti ini. Hingga tak cukup ruang untuk menulisnya, mungkin akan dibahas di topik tersendiri nantinya.
Sedangkan untuk masalah sosial lainnya seperti kenakalan ata koe (remaja) dan ata Reba-Molas (pemuda dan pemudi) yang menyebabkan perkelahian antar kampung, menjadi tanggungjawab tetua adat di kedua kampung tersebut.
Banyak cara untuk mengurangi bentrokan, dan kalaupun tak dapat terhindarkan, peran Orang tua, Tetua adat dan Tua Golo sangat penting artinya.
Apalagi di jaman modern seperti sekarang, tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku orang Kempo, baik yang dapat membantu menjaga kerukunan maupun yang dapat merusak keteraturan.
Begitulah hidup di berbagai sudut dan cekungan bumi ini, kadang hal yang ideal sering diperdengarkan, namun hal yang tak diinginkan pun tetap terus terjadi, semoga saja tidak terlalu sering terjadi.
****************************
http://adatbudaya-kempo.blogspot.com/2013/11/permasalahan-dalam-hubungan-kekerabatan.html
Cttn: Neka rabo (maaf) mungkin belum terlalu lengkap, karena keterbatasan waktu untuk melakukan pengenalan yang mendalam. Mungkin masih banyak kekurangan dalam uraian diatas, masukan akan sangat berarti untuk melengkapinya.
Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.
Sekiranya masukan menjadi hal yang berharga untuk kita diskusikan…
http://adatbudaya-kempo.blogspot.com/2013/11/permasalahan-dalam-hubungan-kekerabatan.html
Cttn: Neka rabo (maaf) mungkin belum terlalu lengkap, karena keterbatasan waktu untuk melakukan pengenalan yang mendalam. Mungkin masih banyak kekurangan dalam uraian diatas, masukan akan sangat berarti untuk melengkapinya.
Jika ada kekeliruan penuturan maupun penamaan, sepenuhnya adalah kekurangan penulis, dan tidak bertujuan merendahkan atau melecehkan.
Sekiranya masukan menjadi hal yang berharga untuk kita diskusikan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar