Translate

Senin, 29 Juli 2013

Fungsi Bagian-bagian Sekang Kaeng Data Kempo

(Fungsi dan Makna Bagian-bagian Rumah Tinggal Orang Kempo)

Sekang Kaeng atau Sekang adalah sebutan untuk rumah sebagai tempat tinggal bagi orang Kempo. Sekang memiliki beberapa bagian yang merupakan satu kesatuan yang membentuk rumah itu sendiri. Tidak hanya sekedar tempat tinggal, sekang memiliki arti penting dalam siklus hidup seseorang dari sebelum lahir hingga setelah meninggal. Lebih dari itu, sekang merupakan bagian dari lingkup kehidupan manusia. Hal ini biasanya diucapkan dalam penggambaran hidup manusia, yaitu ''wa tana eta sekang" (di dalam dan luar rumah)
Fungsi dan makna bagian-bagian sekang kaeng kaeng data Kempo antara lain ;

1. Rede (Tangga)


Pada masa lalu, rumah orang Kempo berupa sekang tenda (rumah panggung), maka untuk menghubungkan tanah dan tenda rumah dibutuhkan sebuah rede (tangga).
Fungsi rede sebagai media untuk menghubungkan tanah dan tenda rumah.
Ada beberapa upacara atau ritual adat tertentu, juga beberapa larangan seperti berikut: 
  1. Tempat wedi ruha (injak telur) bagi pengantin baru.Pada pu'u rede / wai rede (alas / pangkal tangga) diletakkan batu lempeng sebagai tempat pijak atau sekedar untuk menggosok kaki dari lumpur / debu yang lengket di kaki.
    Dalam upacara perkawinan, pu'u rede merupakan pintu gerbang bagi seorang wanita untuk memasuki rumah dan menjadi bagian keluarga atau kehidupan pria yang menjadi suaminya.
    Disana dilakukan rentetan tradisi menyambut pengantin baru, yaitu ndeng (berhenti sejenak), wecak dea (menyiram beras), dan wedi ruha (injak telur).Wedi ruha merupakan lambang kesucian / kemurnian hati seorang perempuan memasuki tempat tinggal yang baru. 
    wedi ruha (injak telur) 
     
  2. Dalam ritual cebong lasa (tolak bala), biasanya dilakukan di wai rede, tujuannya untuk membuang semua kesialan atau menyembuhkan segala jenis penyakit yang berhubungan dengan keselamatan jiwa, sesuai dengan permintaan seorang Mbeko (dukun).
  3. Untuk sekang yang tenda rumahnya agak tinggi, sekitar diatas satu meter, biasanya disamping tangga di pasang haju tercau (kayu pegangan) yaitu sebuah batang bambu yang berdiri mengikuti kemiringan tangga, tempat pegangan ketika hendak naik atau pun turun dari rumah. 
  4. Bagi seorang tamu jika ingin naik ke atas rumah, segala perlengkapan dan barang bawaan yang besar diletakkan di dekat tangga, seperti tampar (payung tradisional dari daun jenis palem atau cowang), kurung (tombak), wosa (kurungan ayam) dan lain sebagainya. 
  5. Selebihnya, larangan tidak boleh duduk-duduk di tangga agar tidak menghalangi orang naik atau turun dari rumah. Juga larangan bagi anak-anak untuk tidak bermain di tangga, agar tidak terjatuh.
Namun karena bentuk rumah Orang Kempo telah berubah menjadi sekang wa / sekang tana, semua hal diatas tadi bergeser ke arah para (pintu) dan ada beberapa diantaranya tidak digunakan lagi seperti rede itu sendiri dan haju tercau. Dan sangat jarang sekali kita jumpai lagi rumah panggung di masa sekarang, terkecuali untuk bonggok.


2. Para, Para Tongang / Pertongang (Pintu)


Para adalah tempat keluar dan masuk ke dalam bangunan rumah. Sebagai penghubung rumah bagian dalam dengan alam luar.
Dalam hal ini, segala sesuatu yang menyangkut masuk atau menghadap ke dalam diartikan sebagai bentuk kehidupan. Sedangkan segala sesuatu yang menyangkut keluar atau menghadap keluar diartikan sebagai hal tentang kematian atau segala sesuatu yang misteri, karena berhubungan dengan alam luar.
Berkaitan dengan itu ada beberapa ritual adat, keyakinan, imbauan dan larangan umum yang tidak boleh dilakukan oleh Orang Kempo di pintu, antara lain;

Ritual adat dan keyakinan Orang Kempo yang dilakukan di pintu;

  1. Ketika sekang tenda (rumah panggung) telah berubah menjadi sekang wa (rumah pondasi), rentetan proses adat pernikahan seperti ndeng, wedi ruha dan wecak dea bagi Ata weru (pengantin baru), dilakukan di depan dan di pintu rumah.
  2. Dalam upacara krenda  (tolak bala*) ada upacara taing hang sili para (sesajen yang diletakkan di depan pintu*) atau cebong lasa  (upacara pembersihan diri dari sakit atau penyakit) dilakukan di depan pintu. Karena diyakini bahwa segala jenis sakit dan penyakit datangnya dari alam luar dan segera dilepas ke alam juga.
  3. Dalam upacara kematian, biasanya seseorang yang telah meninggal akan dibaringkan tepat di dekat pintu dengan posisi kaki menghadap pintu. Suatu pertanda bahwa dia akan segera meninggalkan rumah untuk di boak (dikuburkan), dia telah lako olo (mendahului) kita benta le Muri (dipanggil Sang Pencipta).
  4. Juga setelah sesorang telah meninggal, upacara paki manuk lamba (memotong ayam sebagai tanda pemisah roh orang hidup dan roh orang mati*). Acara ini dilakukan saat kelas (pesta kenduri*), ayam cepang (ayam yang berbulu merah, biru tua kehitaman*) dipotong di depan pintu.

Sedangkan imbauan dan larangan yang tidak boleh di lakukan di pintu adalah;

  1.  Haju kinang (balok rangka penyangga atap) tidak boleh tegak lurus dengan pintu, tapi diusahakan merapat ke satu sisi pintu. Jika melanggar hal ini, diyakini mendatangkan sial, tinggal menunggu antara ata kaeng (seseorang penghuni rumah) atau ata pande / tukang (orang yang membuatnya) yang akan mati. Tergantung siap yang mince dara weki (jiwa yang lemah).
  2. Setiap meka (tamu) atau orang yang hendak berkunjung, terlebih dahulu tor para mengetuk pintu atau kepok/benta (memanggil). Jika ada jawaban dari dalam mai ga (ayo masuk) barulah masuk dan mengucap salam kepada penghuni rumah dengan salam khas Data Kempo ''tabe o ite''*. Seseorang tamu tidak boleh nggonos (selonong) saja masuk ke dalam rumah. Bila seseorang masuk tanpa mengucapkan salam, dan kedapatan oleh ata ngara sekang (pemilik rumah), ia akan diusir karena tidak sopan dan patut dicurigai sebagai maling.
  3. Seorang molas (anak gadis) tidak boleh jojop (berdiri atau duduk berdiam diri) di pintu, karena hal itu dinilai sama saja dengan dangis (memamerkan diri) sebagai Ingwai kawe rona (wanita penggoda).
  4. Tidak boleh membawa makanan atau makan di depan pintu, agar tobo / kokong (roh jahat) yang berada di luar rumah tidak lait (menjilat) makanan tersebut yang membuat orang tersebut mengalami beti tuka (sakit perut) dan do'ok (muntah-muntah).
    Sebenarnya hal ini adalah cara orang tua melarang anak-anak agar tidak masuk angin.
  5. Ketika ragi regem (sore menjelang malam) pintu harus segera di tutup dan semua penghuni puci one mai sekang (segera masuk rumah), agar roh jahat yang berkeliaran di luar tidak ikutan masuk dan kateng (mengganggu) penghuni rumah.
Pada masa sekarang, banyak larangan-larangan yang tidak lagi di pedulikan oleh generasi, terutama anak muda. Mungkin dianggap terlalu menghalangi kebebasan untuk bergaul. Namun pada kenyataannya dulu ketika larangan tersebut sangat dihormati oleh Orang Kempo, tidak banyak hal-hal atau kejadian yang merugikan diri mereka sendiri. Sistem pengawasan orang tua sangat ketat demi menjaga kehormatan keluarga besar.  


3. Lutur (Ruang Tamu)


Lutur adalah ruangan paling depan dari rumah berada dekat pintu masuk. 
Beberapa makna lutur dalam kehidupan orang Kempo;
  1. Dalam kehidupan sehari-hari, lutur digunakan sebagai tempat untuk tiba meka  (menerima tamu). Pada rumah panggung jaman dulu, ruang tamu hanya berisi bantal duduk (tange lonto) atau beberapa lembar tikar (loce). Namun jika tamu memilih untuk menginap, baru dipasangi kasur tradisional (kapal) dan dibentangi tikar (wisi loce). Antara lutur dan landong, biasanya dibuat sekat sebagai pembatas ruang tamu dan ruang keluarga.
  2. Dalam urusan adat pernikahan atau dalam hal pesta kenduri (jaong adak Weta/Nara), lutur digunakan sebagai tempat menerima tamu (tiba meka), menyambut dan memeberi salam (ris), dan selanjutnya segala hal mengenai negosiasi anatara pihak perempuan (Ine-Ame/Iname) dengan pihak laki-laki (Woe) dilakukan di lutur.
  3. Dalam hal mengurusi orang yang meninggal, lutur digunakan sebagai tempat untuk membaringkan jenasah, menunggu sanak keluarga melayat sebelum dikuburkan.
  4. Untuk urusan kehidupan bermasyarakat (komong-iko), baik itu nempung (rapat), maupun mengurusi suatu masalah (caca jaong), dilakukan di lutur. Hal ini biasanya jika si pemilik rumah adalah seorang kepala kampung (Tua Golo).


4. Landong (Paviliun).


Lebih dari sekedar runga kelurga, landong merupakan simbol kerukunan dan kedekatan antar sesama penghuni rumah.
  1. Landong merupakan tempat sosialisasi pertama dari salah seorang penghuni rumah, karena landong merupakan wilayah bermain pertama seorang anak, dengan beberapa anak lain dalam rumah. Juga dengan beberapa anggota keluarga yang ada dalam rumah.
  2.  Landong adalah tempat bermusyawarah dalam mengambil keputusan atau dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi penghuni rumah. Juga segala pembicaraan menyangkut rencana dan langkah kerja yang melibatkan seluruh keluarga penghuni rumah.
  3. Landong adalah tempat untuk rekreasi dan duduk-duduk, disana terdapat kapal lejong (tempat duduk dan baring di depan kamar). Bagi Ata Kempo, sangat jarang penghuni rumah duduk-duduk di lutur (ruang tamu), hal ini yang menyebabkan tamu yang ada di depan pintu harus kepok (memanggil) jika ingin masuk rumah.
  4. Dalam urusan adat perkawinan, tetua adat atau orang tua dari pihak perempuan, mengambil tempat di landong. Tetua adat (ata gereng wali) mengutus dan mendengarkan kembali juru bicara(pateng), mengenai hasil negosiasi di lutur (ruang tamu) untuk mencari jalan keluarnya.
  5. Begitupun dalam acara adat setelah menikah, beberapa rangkaian jaong adat (pembicaraan adat) dilakukan di landong. Misalnya dalam acara paki manuk wina rona (pemotongan ayam sebagai lambang telah memulai kehidupan sebagai suami istri), acara tuing (wejangan) maupun karong (pemberitahuan), dan berbagai macam acara lainya.
  6. Dalam kehidupan sehari-hari, jika ada sesorang yang membutuhkan pertolongan penghuni rumah. Meskipun awalnya diterima di lutur, setelah mengutarakan niatnya, maka pembicaraan selanjutnya dilakukan di landong. Dalam hal ini, landong identik dengan tempat pembicaraan yang penuh kekeluargaan (Ame-Anak) dan persaudaraan (Ase-Kae). Tidak ada tempat di dunia ini seperti landong, segala persoalan pasti ada jalan keluarnya, bahkan sebuah keputusan yang diambil, kadang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat. Landong adalah tempat meleburnya segala rasa menjadi penuh kedamaian.


5. Siri Reha (Tiang Tengah).


Kepercayaan Ata Kempo pada jaman dulu adalah animisme dan dinamisme. Beberapa hal dapat digambarkan sebagai berikut;
  1. Ata Kempo percaya akan adanya Muri Agu Ngara (Kekuasaan Tertinggi yang menciptakan dan menjadikan alam semesta serta isinya termasuk manusia). Hubungan Sang Pencipta dengan makhluk ciptaannya, digambar vertikal seperti siri reha (tiang tengah). Orang yang di-tua-kan dalam rumah, jika duduk menyandar pada siri reha, dia di posisikan sebagai orang yang menentukan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Sehingga orang yang di-tua-kan tersebut seringkali disebut siri bit (tiang sandaran) bagi orang lain. Siri reha bisa disebut sebagai tiang kebijaksanaan. Sehingga pada rumah orang Kempo, siri reha merupakan tiang lurus dan tidak disambung atau tidak bercabang. Dulu, untuk mencari pohon yang lurus dan kuat di hutan, yang akan dijadikan tiang tengah, dilakukan upacara adat khusus. Setelah didapat, pohon tersebut dipotong dengan serentetan ritual, lalu diukur panjangnya dan digotong beramai-ramai menuju kampung. Siri reha tidak ditancapkan kedalam tanah, seperti tiang lainya. Sebagai alasnya, sebuah batu lempeng yang diambil di dasar kolam. Logika sederhananya, batu tersebut belum pernah diinjak oleh manusia. Dalam mendirikan rumah, tiang tengah inilah yang pertama ditegakkan, baru kemudian tiang-tiang sudut. Setiap balok yang bersinggungan dengan siri reha, hanya diikatkan dengan tali, seperti leba ngaung (penyangga lantai) dan leba cao (penyangga atap). Namun pada rumah modern, tiang tengah tidak lagi harus berdiri diatas tanah, seperti kebanyakan tiang nok yang berdiri diatas coran beton atau diatas kusen lainnya.
  2. Orang kempo juga percaya akan rapu  (roh / arwah orang yang telah meninggal). Diyakini roh orang yang meninggal masih selalu dekat dan bersama orang yang hidup. Roh-roh tersebut selalu caka (menjaga) orang yang masih hidup dari ancaman roh jahat. Roh orang mati diyakini masih menjaga rumah yang telah dibangunnya, dan di siri reha lah mereka tetap berada.
  3. Ata Kempo juga percaya akan benda-benda yang memiliki kekuatan gaib. Seperti pada siri reha, tepat di bawah penyangga atap, dipasang sebuah lempar (semacam mesba, yang terbuat dari anyaman bambu) untuk meletakkan sesajian. Lempar adalah tempat persembahan kepada Muri Agu Ngara juga sebagai media penghubung dengan roh-roh orang yang telah mati.
  4. Ata Kempo juga percaya pada kekuatan alam lain. Kekuatan tersebut, ada yang baik dan ada yang jahat. Untuk yang baik, biasanya menjaga hubungan baik dengan memberikan sesajen, tetapi tidak secara intens, tergantung kebutuhan. Sementara yang jahat, biasanya berusaha untuk menghindar dan tidak saling mengganggu. Jika terjadi senggolan atau tabrakan, maka dilakukan ritual untuk mengusirnya. Atau meminta bantuan Muri Agu Ngara serta roh orang mati yang ada di lempar untuk mengusirnya.
  5. Dalam ritual tertentu, hewan kurban berupa ayam biasanya disembelih di siri reha, dan darahnya ditumpahkan di siri reha. Semacam memberi minum kepada roh yang ada pada siri reha.


6. Lo'ang (Kamar)


Loang (kamar) orang Kempo, merupakan nama untuk menyebutkan kamar / bilik secara umum. Karena penghuni rumah biasanya lebih dari satu keluarga, maka di dalam rumah dibuatkan kamar-kamar, sesuai jumlah keluarga dan orang yang tinggal dalam rumah.
  1. Lo'ang toko/kepet (Kamar tidur)
    biasanya dibatasi dinding/sekat, baik sekat samping yang berbatasan dengan lo'ang sebelah maupun sekat depan yang berbatasan dengan landong (paviliun). 
    Lo'ang yang memiliki dinding tertutup biasanya hanya diperuntukkan bagi penghuni yang telah berkeluarga atau sudah kawin. Sehingga dalam prosesi adat perkawinan, terdapat acara karong lo'ang (menunjuk dan memberikan kamar tidur) bagi pengantin baru.
    Loang/kepet adalah area privasi sebuah keluarga dalam rumah. Kepet tidak hanya sebagai tempat untuk tidur suami-istri tetapi juga anak-anaknya, yang belum remaja. Jika telah menginjak remaja, biasanya anak memilih tidur dengan anak-anak lain yang seusia yang biasanya di landong. 
    Segala keperluan yang menyangkut kehidupan rumahtangga di taruh di dalam kepet, baik ne'eng  (pakaian) maupun entau  (baranga-barang lain). Istilah kepet sendiri jarang sekali digunakan, karena kepet adalah bahasa halus untuk menunjukan kamar orang lain atau rumah tangga orang.
    Kepet sendiri artinya tutup / menutup, atau area yang ditutup. Karena Ata Kempo, menghormati kehidupan keluarga orang lain dan tidak suka mencampurinya, sehingga kadang istilah kepet digunakan untuk menyebutkan kata hamil atau telah hamil.
  2. Lo'ang juga memiliki area privasi yaitu kilo (tempat tidur keluarga). Tempat tidur berisi loce toko (tikar alas tidur) sepasang (suami-istri). Untuk suami biasanya memiliki corak dan hiasan pinggir yang khas, sementara untuk istri loce kalas  (modelnya biasa saja). Susunan loce toko suami adalah; tange sai (bantal alas kepala), loce tulis (tikar bermotif) dan alasnya loce tora (tikar polos), kapal (kasur tradisional), lalu tange wai (bantal alas kaki). Loce toko tidak boleh ditiduri oleh orang lain, selain pasangan yang sah. Baik saudara/i maupun anak, kecuali masih bayi. Apalagi loce toko dan tange sai milik suami, tidak boleh diinjak atau pun dilangkahi baik oleh istri maupun anak-anak.
    Inewai / ingwai (perempuan) Kempo sangat menghargai derajat suami, sekalipun di tempat yang tidak dilihat oleh orang lain. Jika istri melanggar hal ini, sesuatu yang buruk akan menimpanya, dan ia harus mengakui dan meminta maaf pada suaminya. Itulah alasan mengapa biasanya loce toko suami selalu dobel, yang atas akan di lunggap (lipat) jika sudah bangun, sehingga hanya terlihat alasnya saja (tora) dan tange wai digunakan sebagai tempat untuk duduk sebelum tidur.
  3. Karena kilo menunjuk pada area privasi suami istri, kadang istilah kilo digunakan untuk menyebutkan hae kilo (pasangan suami / istri).


7. Sapo / Likang (Tempat Perapian / Dapur)


Sapo adalah tempat perapian atau dapur untuk memasak. Di tengah sapo terdapat likang (tungku), yang terdiri dari 3 buah batu, sebagai tempat tatakan panci.
  1. Pada jaman dulu, ata Kempo percayaa bahwa sapo di diami oleh Ine de lengi / Inlengi (roh seorang perempuan tua). Roh tersebut menjaga likang tetap hangat, karena perapian Orang Kempo jarang dimatikan apinya, hal tersebut karena belum ada korek api. Tapi api yang ada di tungku yang tidak dimatikan tersebut jarang sekali menimbulkan kebakaran.
  2. Teneng (memasak) merupakan tugas utama perempuan / istri orang Kempo. Setiap hari kewajiban seorang perempuan adalah nuntung (menyiapkan dan menghidangkan) nasi dan sayur, juga merebus air minum maupun untuk menyeduh minuman seperti kopi. Seorang perempuan harus tahu menggunakan setiap peralatan dapur sesuai fungsinya, seperti lewing tana (panci), cewe (wajani), sempe (kendi).
    Bahkan anak perempuan, sejak kecil akan dilatih dan diajarkan memasak dan menyiapkan makanan. Hal ini sebagai hakekatnya, juga sebagai masa persiapan untuk menjadi seorang istri atau seorang ibu kelak.
  3. Karena sapo / likang identik dengan perempuan, terkadang istilah ata lami sapo/likang (pelayan di dapur), bisa juga ata nuntung (orang yang menyediakan makanan) dipakai sebagai kata kiasan untuk menyebutkan seorang perempuan.


8. Natas (Halaman)


Natas adalah halaman bagian depan dari rumah orang Kempo. Tempat bersosialisasi dengan tetangga dan sesama warga kampung.
  1. Natas adalah ruang yang lebih bebas, tapi kebebasan tersebut selalu ada batasannya. Orang Kempo biasanya lebih suka menengur dirinya sendiri, bae le ru (tahu diri) ketimbang menanggung malu jika ditegur oleh orang lain atas sebuah kekeliruan nya. Sebuah pengendali perilaku, yang berpatokan pada pemahaman jika saya berada di posisi orang lain.
  2. Meski natas biasanya digunakan sebagai tempat bermain, namun yang lebih sering bermain dan berada di natas hanyalah kaum pria.  Natas lebih tepatnya sebagai area bermain nya kaum pria, misalnya sekedar untuk berkumpul dan berbincang. Atau juga bermain ala pria seperti paki mangka (main gasing), teka raga (sepak takraw), gena (bermain biji kemiri) dan lain-lain.
  3. Kaum perempuan hanya pada saat tertentu saja berada di natas, misalnya ketika menjemur hasil kebun, menjaga padi yang di jemur dari gangguan kerbau atau ayam, setelah itu masuk ke dalam rumah atau berada disekitar rumah saja. Sedangkan area bermain kaum perempuan adalah racap sekang (samping rumah), selebihnya di dalam rumah. Jika perempuan melanggar hal itu, seorang perempuan dianggap menjatuhkan harga diri keluarga. Kesalahan seorang perempuan dalam satu keluarga akan dihitung sebagai kesalahan semua perempuan dalam keluarga. Dan kesalahan semua perempuan dalam satu keluarga akan dihitung sebagai kesalahan laki-laki dari keluarga tersebut. Atas kesalahannya, ia akan menerima hukuman ditegur keras atau bahkan dicambuk oleh ayah atau oleh laki-laki dari pihak ayah.
    S
    eorang perempuan tidak boleh tentas (terlalu sering memperlihatkan diri) di natas, apalagi seorang anak gadis, begitu pun seorang ibu. Kalaupun berada di natas, biasanya tidak sendirian atau bergerombol sedang melakukan sesuatu pekerjaan.
    Seorang perempuan tidak boleh sembarangan imus (senyum) atau langat (menyapa) lelaki yang lewat di natas, kecuali benar-benar perlu. 
  4. Natas diyakini sebagai tempat lalu-lalang nya roh jahat, apalagi ketika roang manuk (Ayam telah naik ke pohon) menjelang malam. Makanya disarankan, ketika ayam telah naik ke pohon, manusia pun juga harus masuk ke dalam rumah. Agar tidak diganggu oleh roh jahat yang berkeliaran di natas.
  5. Pada upacara perkawinan, jika orang tua pihak perempuan sanggup untuk melaksanakan wagal mantar (pesta perkawinan) maka akan dibuatkan ndi (kemah) di natas. Setelah remtama (pesta) dilaksanakan pentas Tarian Caci.
    Caci sendiri tidak hanya dilaksanakan ketika wagal mantar saja, tetap saat randang uma (pesta setelah panen) atau randang beo (pesta syukuran kampung). Beberapa tarian tradisional juga ikut dipentaskan seperti, sanda, tetek alu, korong dan lain-lain.  
  6. Pada masa kepemilikan atas tanah, natas menjadi bagian privasi dari sebuah rumah yang disebut taman pada masa sekarang. Natasn olo, congkorn musi (dari halaman depan sampai halaman belakang) yang pada jaman sekarang disebut pekarangan rumah, dengan batas-batas yang jelas, baik nderek olo mai (pagar indah),  cupu ni'i  (samping kiri kanan) sampai cicing (batas belakang).


9. Para lewang (Pintu Gerbang)


Pada masa kepemilikan atas tanah untuk perumahan, natas yang dulu berupa tanah lapang di depan rumah, yang menyambung dengan natas rumah dari seberang, kini memiliki pembatas. Karena bentuk kampung pada jaman dulu melingkar atau linear dengan compang (mesbah penyembahan) berada di tengah.
Batas antara rumah yang berhadapan ditandai dengan adanya jalan yang berada di tengah. Antara tepi jalan dengan batas natas dibuatlah pagar pembatas berupa nderek (pagar indah).
Di pagar indah inilah dibuatkan sebuah lewang (pintu gerbang) untuk masuk ke halaman rumah.
Meski para lewang munculnya belakangan, tapi fungsi dan maknanya tetap bertahan hingga kini.
  1. Pada masa sekarang, para lewang merupakan akses keluar masuk ke halaman rumah. Tak jauh beda dengan fungsi pintu gerbang di masa modern.
  2. Selain itu, para lewang maupun pagar indah (pagar depan) menjadi pembatas pekarangan rumah di bagian depan yang langsung berbatasan dengan parit yang ada di tepi jalan. Wilayah privasi sebuah rumah pun semakin luas, dari yang dulu hanya sampai di wai rede (kaki tangga) kini bergeser ke depan sampai para lewang. Yang mempunyai hak untuk melakukan sesuatu diatas tanah di depan rumah, tidak lagi semua orang kampung, tapi hanya khusus oleh pemilik rumah. Tentunya tetap memperhitungkan aturan umum yang berlaku dari komongn olo ikon musi (sistem aturan yang berlaku sama dari ujung ke ujung yang lain dalam satu kampung).
  3. Pada adat perkawinan Data Kempo, di pintu gerbang biasanya dilakukan ndeng (berhenti sejenak yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan, yang bertujuan untuk meminta uang kepada pihak laki-laki). Dari logika penulis, bermula dari tradisi adat ndeng inilah makanya para lewang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Orang Kempo (akan kita bahas di topik lain).
  4. Pada ritual tertentu, yang berkaitan dengan kekuatan ghaib, biasanya dilakukan di para lewang. Karena natas yang dulu dihitung sebagai alam luar, kini bergeser ke salang lako (jalan).

Dari uraian diatas, tentang fungsi dan makna beberapa bagian rumah Data Kempo.
Ada beberapa hal yang telah dikurangi, karena sudah tidak ditemukan lagi, atau berubah fungsinya. Seperti dengan hilangnya rumah panggung, otomatis ngaung (kolong rumah) pun sudah tidak ada lagi. Demikian juga dengan congkor (halaman belakang) atau racap sekang (samping rumah) telah berubah menjadi pekarangan atau kebun.
Dan mungkin masih ada yang belum dijelaskan dengan lengkap atau masih ada yang kurang. Untuk beberapa hal, akan dibahas dalam topik berbeda yang masih ada kaitannya dengan semua ini.

* akan di bahas di topik berbeda.

Tidak ada komentar: